flores
Jumat, 12 Mei 2023 13:37 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
ENDE (Floresku.com) – Flores adalah satu wilayah Indonesia yang memiliki sejarah penerapan teknologi media komunikasi, baik film maupun pers (media cetak) yang cukup tua.
Sejarah industri penerbitan dan pers di Flores bermula dari tahun1914, ketika para misionaris Societas Verbi Divini (SVD) menerima pelimpahan wewenang dari Takta Suci di Roma, untuk meneruskan karya misi yang sebelumnya dijalankan oleh para misionaris Societas Iesu (Jesuit).
SVD memang memiliki ‘talenta’ di bidang media komunikasi. Sejak awal berdirinya, 8 September 1895, serikat ini sudah menangkap peluang yang disediakan perkembangan media komunikasi. Para anggotanya sangat giat menggalang perhatian dan dana umat melalui produksi media, antara lain melalui penerbitan majalah dan pembuatan film.
Di Jerman popularitas media buatan SVD bahkan menghasilkan istilah plesetan kepanjangan nama serikat ini menjadi “Sie verkaufen Drucksachen” (mereka menjual barang cetakan, Red).
Majalah Katholieke Missiën terbitan SVD misalnya pernah mencapai oplah 100.000 eksemplar pada tahun 1920-an dan 1930-an.
Setelah 10 tahun menjejakkan kakinya di bumi Nusa Nipa, SVD yang punya tradisi kuat dalam pewartaan melalui media komunikasi, segera memanfaatkan 'media komunikasi' untuk mendukung karya misinya di Flores.
Awalnya adalah media film
SVD memang tidak tanggung-tangung dalam bidang yang satu ini. Ketika memulai misi di Nusa Bunga, Serikat yang didirikan Santo Arnodus Janssen dan berpusat di Steyl itu langsung mengadopsi teknologi media komunikasi paling canggih kala itu.
Sejarah mencatat, konsep film (foto bergerak) baru lahir pada 9 November 1876, ketika Wordsworth Donisthorpe, mengajukan permohonan paten atas "peralatan untuk mengambil dan memamerkan foto" yang mampu “memfasilitasi pengambilan gambar fotografi berturut-turut pada interval waktu yang sama, dan untuk merekam perubahan yang terjadi di atau gerakan objek yang difoto.”
Konsep film yang diproyeksikan baru diperkenalkan oleh Emile Reynaud di Perancis pada 1877, dan peralatannnya baru diperkenalkan pada 4 Juni 1880.
Selanjutnya, meski sejak 28 Oktober 1892 hingga Maret 1900, dengan peralatan proyekkor yang ditemukannya Reynaud mampu memberikan lebih dari 12.800 pertunjukan kepada lebih dari 500.000 pengunjung di Musée Grévin di Paris, film sebagai industri pertunjukan baru berkembang awal 1900-an.
Nah, saat industri film baru mulai mekar, SVD sudah melihatnya sebagai peluang untuk mendukung karya misi. Setelah menerapkannya untuk misi di Afrika, pada 1924 secara ‘tak terduga’ SVD justru menerapkannya di Flores, sebuah wilayah misi yang masuk kategori terisolir kala itu.
Awal cerita mengenai penerapan teknologi media film untuk misi di Flores datang dari Bruder Berchmas SVD, seorang berkebangsaan Belanda yang sangat terkesan dengan beberapa film untuk misi di Kongo dan Uganda.
Didukung oleh para petinggi SVD, Bruder Berchmans SVD kemudian melobi seorang pembuat film profesional berkebangsaan Jerman, Willy Rach. Waktu itu SVD bermaksud hendak membuat film non fiksi di Cina, salah satu wilayah misi SVD.
Namun, karena kondisi politis di Cina yang tak kondusif, Rach malah berbalik melobi SVD untuk mengajukan ijin pembuatan film di Hindia Belanda. Kebetulan, Uskup Sunda Kecil, Mgr. Arnold Vestraelen SVD, tertarik dengan gagasan tersebut.
Maka pada pertengahan1924, Rach berangkat ke Flores bersama beberapa misionaris SVD. Ia mendokumentasikan perjalanan panjang beberapa misionaris SVD mulai dari rumah induk di Steyl dan saat perpisahaan yang mengharukan dengan kaum keluarganya di Belanda hingga tiba di Ndona. Total dokumentasi Racht sepanjang 15.000 feet (setara dengan 4,57 km).
Sebelum itu, pada 1919, Simon Buis SVD yang kala itu masih sebagai frater, telah diutus ke Flores untuk menjadi guru sekolah, karena dia memiliki sertifikat mengajar.
Pda 1923, Frater Simor Buis SVD balik lagi ke Seminari di Steyl. Di sana Frater Simon Buis SVD merasa terkesan dengan dokumentasi yang telah dibuat Rach tersebut tentang perjalanan misionaris SVD ke tanah misi Flores. Ia sangat berminat meneruskan proses pengeditaan rekaman yang dibuat Racht tersebut.
Melihat minat Simon Buis SVD yang begitu besar atas film, SVD mengirim dia untuk melanjutkan studi teologi di Chicago, Amerika Serikat (AS). Maksudnya supaya dia juga sambil belajar tentang sinematografi, cara pembuatan film. Simon Buis SVD kemudian ditahbiskan menjadi imam di Chicago, AS pada 1925.
Setelah ditahbiskan dia kembali lagi ke Steyl dan bertugas di sana selama lima tahun. Pada tahun pertama, Pater Simon Buis SVD berusaha menuntaskan pengeditan rekaman yang dibuat Rach. Proses edit selesai dan film itu diberi judul 'Flores Film, Reis naar Insulinde en Missie op Flores Nederlands Oost-Indië (1925).
Itulah film pertama tentang misi SVD di Flores. Pater Simon Buis SVD kemudian melakukan promosi dan penayangan film tersebut di sejumlah bioskop di Belanda guna menghimpun dana untuk karya misi di Flores.
‘Flores-Film’ hasil editan Pater Simon Buis SVD berhasil menyedot perhatian ribuan penonton di Belanda. Saat diputar di ruang serbaguna Tivoli di Utrecht yang berkapasitas 2.000 kursi, film ini selalu penuh penonton selama seminggu dengan frekuensi pemutaran tiga kali sehari. Jadi, di serba guna Tivoli saja terdapat sekitar 42.000 orang menonton ‘Flores Film’. Mereka umumnya sangat terkean tentang ‘dunia baru’ yang diperkenalkan oleh para misionaris SVD.
Setelah sukses dengan ‘Flores Film’, Pater Simon Buis SVD ingin melanjutkannya dengan mengerjakan proyek film tentang misi di Flores berikutnya. Namun ia berencana mengedit rekaman film langsung di Flores. Menurut dia tidak efektif kalau harus bolak-balik mengirim hasil rekaman dari Flores ke laboratorium film di Belanda.
Supaya bisa mengedit film langsung di Flores, pada 1929 SVD kembali mengirim Pater Simon Buis SVD ke Chicago, AS. Kali ini dia ditemani Pater Piet Beltjens SVD.
Mereka berdua magang selama tiga bulan di laboratorium film di Chicago. Mereka belajar secara bersungguh-sunguh sampai mampu menemukan cara yang cocok untuk menghasilkan gambar di atas film nitrat di tengah daerah berhawa tropis.
Pada 1930, Pater Simon Buis SVD bersama rekannya Pater Piet Beltjens SVD, sudah tiba kembali di Ndona sambil membawa berbagai perlengkapan untuk pengambilan gambar dan perlatan laboratoriun pengeditan film. Sekarang mereka siap mengambil tanggung jawab untuk melanjutkan proyek pembuatan film, sebagai sebuat stragegi karya misi di Flores.
Mereka kemudian mendirikan laboratorium pengeditan film di Ndona, Flores. Selama tiga tahun (1930-1933) mereka memproduksi tiga judul film. Pertama Ria Rago (1930). "Ria Rago De Heldin Dan Het Ndona-Dal" (Ria Rago Pahlawan dari Lembah Ndona). Film ini mengisahkan romantisme seorang pria tua yang kaya raya yang ‘ngebet’ mengawini seorang gadis desa nan rupawan. Kisah ‘kawin paksa’ ala hikayat Siti Nurbaya ini menjadi fenomenal, karena justru berlawanan dengan gerakan emansipasi yang sedang hangat di Eropa.
Kedua, adalah Amorira (1932/3). Film ini merupakan reka-ulang suatu kejadian yang dicatat tahun 1917, yakni perang akibat cekcok antar desa soal perkawinan lazim terjadi di Flores pada masa itu.
Seorang gadis bernama Keli Kadoe yang sudah punya kekasih bernama Diroe Doka. Sayangnya Diroe berasal dari desa lain. Keli dijodohkan paksa dengan pemuda sekampungnya, Waroe Wesa. Penolakan Keli memicu perang antar desa sampai harus melibatkan campur-tangan militer. Sebagian dari film ini menggambarkan perintisan karya misi SVD di Flores.
Film ketiga Anak Woda (1933) menceritakan keberhasilan pembangunan komunitas yang dibantu oleh SVD.
Tampaknya, penggalangan dana lewat ‘Amorira’ dan ‘Anak Woda’ tidak segemilang dua film pertama, ‘Flores Film’ dan ‘Ria Rago’.
Catatan tertua yang tersedia mengenai pemutaran ‘Amorira’ berasal dari ‘De Indische courant’ tentang pertunjukan pada 11 Agustus 1932 di Katholieke Sociale Bond Surabaya.
Menurut laporan, film ini diputar untuk kalangan umat gereja dan cukup menarik perhatian walaupun tidak sampai menghadirkan penonton berjumlah besar.
Film ini lulus sensor dengan rekomendasi baik di Belanda pada akhir April 1933, akan tetapi hanya sedikit sekali kabar mengenainya yang muncul di surat kabar setempat. Beberapa iklan dan berita komunitas gereja mengenai pemutaran Amorira dapat ditemukan di koran lokal antara September 1936 hingga September 1937.
Uniknya, semua film karya SVD itu diproduksi oleh sebuah tim kerja campuran antara orang Eropa dan orang lokal (Flores). Bahkan, sebagian besar besar peran justru dimainkan oleh orang-orang Flores sendiri.
Menurut Murnau dan Flaherty (932) strategi tersebut bukan sekadar siasat penghematan biaya seperti yang lazim dilakukan oleh produser film komersial dalam pembuatan film-film fantasi eksotis seperti ‘Tabu’ di Jawa.
Namun, melalui cara itu SVD Flores justru sengaja mau menonjolkan keterlibatan pemain lokal. Hal tersebut dimaksudkan untuk menciptakan gambaran otentik mengenai kehidupan masyarakat lokal di wilayah misi SVD, Flores.
Media cetak (pers)
Sepak terjang misionaris SVD membumikan teknologi media komunikasi tidak berhenti di media film. Sejak 1926, SVD juga mulai melirik media cetak (pers).
Ceritanya berawal dari pesan kawat Pater Regional, Stenzel SVD, ke rumah pusat SVD Styel, pada 8 Januari 1926.
Waktu itu Pater Stenzel SVD meminta supaya mesin-mesin cetak yang ia pesan segera dikirim ke Flores (https://voxntt.com/2017/01/28/).
Tak sampai tiga bulan kemudian, sebuah kapal membongkar muatan sebanyak 50 peti di Pelabuhan Ende. Dua di antaranya adalah peti berukuran sangat besar, masing-masing seberat 800 Kg dan 500 kg.
“Mesin-mesin tua itu dibeli di Berlin-Jerman atas perintah dari Uskup Ende kedua, Mgr. Arnoldus Vestraelen,” demikian bunyi kalimat dalam buku kronik ‘Ambachtschool’ tentang peristiwa itu.
Kronik ‘Ambachtschool’ juga mencatat bahwa pada 21 Juni 1926 telah dicetak lembar pertama teks doa perambatan Injil berjudul ‘Sende Aus’, dalam bahasa Melayu. Teks doa tersebut digunakan dalam Upacara Ekaristi yang untuk pertama kalinya dipimpin oleh Pater Stenzel SVD di Kapel Rumah Biara Santo Josef, Ende.
“Sende Aus” yang berarti “Utuslah” itu kemudian dibabtis sebagai nama majalah yang terbit pada 26 Oktober 1926.
Edisi perdananya tampil dengan gambar sampul berjudul “Kristus Ratu Itang”, majalah dengan bentuk yang sederhana dan terdiri atas16 halaman saja.
Pater Frans Mertens SVD dipercaya memimpin majalah tersebut. Di tangan Pter Fraans Mertens SVD majalah itu bertumbuh pesat hingga mencapai tiras 3000 eksemplar dan dijual seharga 2 ½ sen per nomor.
Selain itu, mulai 1928 tim kerja yang dipimpin Pater Fries SVD, menerbitkan sebuah majalah bulanan lain lagi, bernama “Bintang Timoer”.
Majalah ini terbit di Ende pada 1926, dengan sub-judul: ‘Soerat Boelanan Katolik yang Bergambar’. Ukurannya 19 x 26,5 cm, tebal 16 halaman, bergambar dengan kulit khusus.
Menurut Pater Alex Beding SVD, penerbitan pers di Flores sejak 1926, sebenarnya sebuah keberanian yang luar biasa. Bahkan, boleh dibilang nekad, mengingat pada saat itu hanya segelintir orang NTT yang bisa membaca dan menulis.
Waktu itu hanya guru-guru sekolah rakyat (SR) dan murid-murid SR yang bisa membaca. Plus pegawai-pegawai pemerintah Hindia Belanda. Majalah Bintang Timoer menggunakan bahasa Melayu, karena bahasa Indonesia memang belum ada.
Pater Alex Beding SVD menambahkan, majalah tersebut mulanya dicetak di Percetakan Kanisius, Jogjakarta kemudia distribusinya di NTT, khususnya Flores. Jadi, bisa dibayangkan biaya distribusi dan lamanya perjalanan dengan kapal laut dari Jawa ke Flores.
Selanjutnya, sejak 1928 majalah tersebut dicetak di Percetakan Arnoldus Ende, milik SVD Ende. Namun, Sembilan tahun berikutnya, tepatnya sejak Juni 1937 majalah Bintang Timoer tidak terbit lagi. Selain, karena minat orang Flores untuk membaca sangat rendah, SVD sendiri mengalami masalah finansial.
Dari sisi konten, majalah ini memberitakan isu-isu keagamaan, masalah-masalah pertanian, pendidikan, keluarga, dan sebagainya. Juga berita-berita daerah dan internasional.
Alamat redaksinya: R.K. Missie, Lela-Maumere, di bawah pimpinan P. Fries, SVD, kemudian dilanjutkan oleh P. F. Cornelissen, SVD.
Bersamaan dengan terbitnya ‘Bintang Timoer’, pada 1926 terbit pula majalah bulanan ‘Kristus Ratu Itang’ dalam bahasa Sikka. Ukurannya, 21 x 14,8 cm. Isinya, soal-soal agama, pokok-pokok sosial ekonomi, pendidikan, budaya dan sebagainya, berita-berita daerah dan juga dunia internasional. Pada bulan Desember 1938, Kristus Ratu Itang tidak terbit lagi karena alasan yang tak jelas. Kemungkinan besar karena minat baca masyarakat yang kurang dan kondisi keuangan SVD yang terbatas.
Usai Perang Dunia II (1942-1945), tepatnya pada 1946, SVD kembali menerbitkan majalah. Kali ini dwimingguan, namaya Bentara. Majalah ini berukuran 25 x 32 cm, tebal 8 halaman, bergambar, tanpa kulit.
Secara garis besar isinya sama seperti Bintang Timoer. Namun, dalam perkembangannya muncul banyak tulisan mengenai perkembangan negara dan kehidupan masyarakat umum, di samping tulisan-tulisan bersifat agama (renungan-renungan).
Pada awalnya majalah ‘Bentara’ dipimpin oleh P. A. Conterius, SVD, kemudian oleh P. Markus Malar, SVD, dan akhirnya oleh Frans Tan.
Nama majalah ini sempat ‘viral’ karena mencapai oplah 3.300, Bentara terbit sampai 1959, tak lama setelah terbentuknya Propinsi NTT dan sejumlah kabupaten pada akhir 1958.
Sejalan dengan ‘Bentara’, SVD juga menerbitkan majalah bulanan untuk anak-anak, namanya Anak Bentara. Ukurannya, 21 x 14,8 cm, tebal 16 halaman, dihiasi gambar-gambar. Peredarannya mencakup seluruh Indonesia. Oplahnya sangat besar untuk ukuran kala itu, 35.000 eksemplar.
Yang banyak berjasa untuk ‘Anak Bentara’ adalah P. G. Kramer, SVD bersama para siswa Seminari Mataloko. Namun, sejak 1961 ‘Anak Bentara’ tidak terbit lagi. Lagi-lagi karena alasan keuangan.
Pada 1958, untuk para guru sekolah diterbitkan, SVD menerbitkan majalah ‘Pandoe Pendidikan’. Inisiatif ini dilakukan sejalan dengan sistem pendidikan Sekolah Pembangunan yang dicetuskan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu, Mashuri.
Pemimpin redaksinya berturut-turut, P. Cornelissen SVD, P. Swinkels SVD, P. Lambert Lame Uran SVD. Namun ‘Pandoe Pendidikan’ berumur pendek, hanya bertahan hidup hingga akhir tahun 1959.
Sebelum itu, menjelang pemberontakan Permesta pada tahun 1956/1957, di Ende pernah terbit sebuah majalah ‘Gelisah’. Majalah ini dicetak di Percetakan Arnoldus Ende juga. Bagaimana kelanjutannya dan kapan berakhirnya tidak diketahui secara pasti. Namun, yang jelas majalah ini tidak bertahan sampai 1960.
Pada 1960 terbit pula beberapa majalah yang berumur singkat: Ekonomi, Sebuk, Muda Katolik, Serbukin, Pemuda Penjaga (dari Manggarai). Untuk Flores, pemerintah daerah Flores menerbitkan Zaman Baru dan Sinar Sembilan.
Antara 1961-1965 Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui Comite Daerah Besar (CDB) menerbitkan Mingguan Pelopor di Kupang. Pelopor lahir mengikuti Instruksi Presiden ketika itu, supaya setiap partai politik memiliki terbitan sendiri. Mingguan Pelopor terbit dalam bentuk stensilan setebal 12 halaman, karena waktu itu belum ada percetakan di Kupang. Pelopor berhenti terbit pada akhir 1965, sejak penumpasan G30S/PKI.
Untuk mengimbangi Pelopor waktu itu, Petrus Kanisius Pari, aktivis Pemuda Katolik menerbitkan Mingguan Pos Kupang pada 1962. Kopnya dicetak di Percetakan Nusa Cendana, selebihnya dalam bentuk stensilan. Majalah ini hanya terbit selama beberapa bulan.
Selanjutnya, pada 1965, Kanis Pari menerbitkan Mingguan ‘Kompas’ dalam bentuk stensilan. Tapi, umurnya cuma tiga bulan karena tidak mengantongi surat izin terbit (SIT) sendiri. Dia hanya menggunakan izin terbit Harian Kompas Jakarta. Pada akhir 1965, Mingguan Kompas tidak terbit lagi.
Setelah vakum selama satu dekade, aktivitas para misionaris SVD memperkenalkan ‘media komunikasi modern' kembali muncul dengan penerbitan Majalah Dwi Mingguan ‘Dian’ pada 24 Oktober 1973. Pada waktu itu ‘Dian’ terbit dengan ukuran 21 X 29 cm, setebal 12 halaman dan oplah 6.000 eksemplar. Pemimpin umum/pemimpin redaksinya, adalah P. Alex Beding, SVD.
Dian diterbitkan oleh Yayasan St. Paulus di Ende, sebuah badan hukum milik SVD yang bergerak di berbagai bidang kerasulan, termasuk kerasulan komunikasi.
‘Dian’ menyandang motto ‘Membangun Manusia Pembangun’ denganT tagline promosinya, ‘Diam-Diam Baca Dian!
‘Dian’ menawarkan dirinya sebagai salah satu agen pembangunan sumber daya manusia dalam lingkup pembacanya, sekaligus agen menjadi pembangunan fisik dan sumber daya alam dalam lingkungan penyebarannya.
Sejak Januari 1987, Majalah Dua Mingguan Dian berubah menjadi ‘Surat Kabar Mingguan (SKM) Dian’ dalam bentuk tabloid berukuran 29,5 X 43 cm, setebal 12 halaman.
Sejak saat itu, ‘SKM Dian’ selalu terbit secara teratur sekali seminggu. Dalam setahun sesuai dengan jadwal, SKM Dian selalu berhasil terbit sebanyak 48 nomor (edisi).
Mulai pertengahan 1993, ‘SKM Dian’ terbit dengan tebal 16 halaman. Tetapi sejak minggu terakhir Juli 1995, akibat melonjaknya harga kertas, Dian kembali terbit dengan 12 halaman. Oplah Dian sempat mencapai 7500 eksemplar per edisinya.
Posisi Dian mulai tergeser sejak lembaga yang sama menerbitkan ‘Harian Flores Pos’ pada 9 September 1999, berdasarkan SIUPP No. 169/SK/Menpen/SIUPP/1999, tanggal 19 Agustus 1999.
Dian yang biasanya terbit pada setiap hari Jumat bergeser ke hari Minggu sampai sekarang. Penampilan dan penyajiannya pun banyak berubah, nyaris menjadi edisi Minggu-nya Harian Flores Pos. Yang membuatnya berbeda hanyalah kop ‘Dian’.
Terbitan lain milik SVD adalah Berita Regio Ende (BRE), Majalah Pastoralia dan Seri-Buku Vox (Seminari Tinggi Ledalero).
Pada 1973, Keuskupan Agung Ende juga menerbitkan Penyalur Berita Dioses. Sementara Keuskupan Larantuka menerbitkan Warta Dioses Larantuka.
Memasuki era Reformasi, orang Flores disuguhi dengan beragam terbitan, baik berupa tabloid, majalah dan surat kabar. Semenjak itu SVD tak lagi ‘memonopoli’ usaha penerbitan pers di Flores. Sebab, muncul sejumlah individu, kelompik usaha, partai politik, maupun Pemerintah Daerah yang ikut melahirkan media cetak.
Media baru
Memasuki dekade 2010-an, sejalan dengan kemajuan teknologi internet, orang Flores mulai mengakrabi media baru (new media) atau media online yang berbasiskan teknologi internet.
Semenjak itu, perlahan tapi pasti, media cetak milik SVD dan milik perorangan atau kelompok yang lain meredup. Sebaliknya yang marak muncul adalah media online.
Awalnya SVD mencoba menangkap peluang yang ditawarkan oleh teknologi media baru ini. Alm. Pater Fransiksus Xaverius Primus Djuki SVD alias Prisco Virgo yang Komisi Komunukasi SVD Ende misalnya pernah mendokumentasikan beberapa peristiwa religius dan budaya lokal melalui platform audio-visual.
Kemudian ia juga menayangkannya melalui kanal youtube. Upaya Prisco Virgo kemudian ‘tenggelam’ karena dia pindah ke Timor Leste, hingga akhirnya dipanggil Tuhan pada 2012.
Sementara itu, pengelola surat kabar Flores Pos berusaha mengadopsi teknologi baru dengan memperkenalkan versi online. Namun, versi online Flores Pos pun tenggelam bersama meredupnya Flores Pos versi cetak.
Belakangan muncul beberapa dua versi online Flores Pos, satunya bernama ‘florespos.co.id’ dan yang lain adalah ‘florespos.net’. Bahkan ada pula namanya yang mirip dengan dua media online sebelumnya yaitu ‘florespost.co’. Sayangnya kanal ‘Tentang Kami’ dari ketiga media tersebut tidak menyebutkan secara jelas apakah mereka adalah bagian dari Komis Komunikasi SVD Provinsi Ende atau tidak sama sekali.
Beberapa tahun lamanya, misi SVD seperti ‘menghilang' menyusul beberapa pentolannya yang sudah dikenal luas seperti Pater Charles Beraf SVD dan Frans Obon beralih ke tempat tugas yang lain.
Namun, Komisi Komunikasi SVD terus berusaha menemukan peluang agar bisa eksis di ruang digital yang semakin disesaki oleh pelbagai platform media online dan media sosial.
Sejak beberapa tahun lalu Komisi Komunikasi SVD Ende punya akun facebook sendiri. Kini akun Facebook tersebut sudah memiliki ‘teman’ berjumlah 4,9 ribu orang.
Komisi ini juga mengelola boXcafe studio yang mencoba menampung para talenta muda yang berminat di dunia akting.
Kemudian, sejak awal 2021 Koordinator Komisi Komunikasi (Komkom) SVD wilayah provinsi Ende Pater Lodivikus Yohan Wadu,SVD telah berinsiatif untuk berkolaborasi dengan RRI. Melalui RRI Ende, SVD hadir menyajikan renungan dengan gaya bahasa kaum milenial. Selain pesan agama, isi renungan juga memberikan motivasi kepada orang muda dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan mereka sehari-hari. (Bdk. rri.co.id/ende, 12 Maret 2021).
Kita berharap, melalui langkah-langkah inovatif seperti itu, SVD kembali tampil lagi sebagai serikat misioner yang unggul dalam karya misi melalui media Komunikasi .
Sebab, umat Katolik, terutama di Flores, tentunya tidak ingin peran SVD Ende di bidang media komunikasi menjadi seperti matahari di kala senja, 'memerah padam’, karena hendak ‘terbenam’. (Maxi Ali P) ***
12 hari yang lalu