Ekonomi Indonesia
Kamis, 17 Februari 2022 19:58 WIB
Penulis:redaksi
PEMBICARAAN seputar urgensi pendidikan terus menjadi salah satu persoalan yang tidak pernah tuntas dibahas. Pasalnya, setiap peradaban yang berkembang, selalu mengandaikan nilai pendidikan yang bertumbuh di dalamnya. Dengan kata lain, antara pendidikan dan peradaban, keduanya dapat dilihat sebagai hubungan integral yang saling mengandaikan dan tidak dapat dipisahkan.
Pendidikan secara substansial dapat dimengerti sebagai suatu proses yang terarah pada transformasi diri dan dunia. Melalui pendidikan, setiap pribadi dididik serta dibina melalui forrmat pembinaan yang tepat dan sesuai dengan konteks zaman, sehingga dapat melahirkan generasi yang berkualitas, berkompeten serta bertanggungjawab dalam memajukan peradaban bangsa dan negara .
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, nilai-nilai dalam pendidikan perlu diarahkan pada misi emansipatoris atau pembebasan dari berbagi intervensi sektor-sektor yang bersifat destruktif.
Di tengah perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi serta gempuran arus globalisasi dewasa ini, urgensi pendidikan menjadi suatu gugatan serius yang memaksa semua pihak untuk terus menemukan format pendidikan baru, yang transformatif dan kontekstual. Pendidikan yang transformatif dan kontekstual tersebut pada akhirnya diharapkan dapat membawa pembebasan atau kemerdekaan dalam belajar serta melahirkan masyarakat yang merdeka dan beradab.
Membongkar cacat pendidikan kita
Upaya untuk mencapai inovasi-inovasi dalam bidang pendididikan dan keluhuran peradaban manusia tentu saja menjadi suatu tanggungjawab kita bersama. Untuk itu, kita perlu melihat belenggu-belenggu dan fakta yang terjadi di dalam dunia pendidikan, baik itu secara eksternal maupun internal.
Berdasarkan laporan dari Program for International Students Assesement (PISA) pada tahun 2019 lalu, menyatakan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia pada rangking yang rendah.
Hasil survei menyebutkan bahwa Negara Indonesia berada pada posisi 74 dari 79 negara yang disurvei, dengan kategori berupa kemampuan membaca, sains, dan matematika (Kompas.com, diakses pada 5 Februari 2022).
Selain minimnya kemampuan kognitif, hal lain yang turut memperparah lambannya perkembangan kualitas pendidikan di Indonesia ialah belum meratanya pembangunan infrastruktur sekolah serta jaringan internet. Sebagai misal, untuk konteks NTT, tercatat 11 persen sekolah tidak layak atau rusak, serta kurangnya akses internet terhadap masyarakat.
Sebab-sebab tersebut kemudian menimbulkan akibat ganda, yakni rendahnya mutu pendidikan masyarakat NTT di mata provinsi lainnya dan sebagai biang kerok rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Persoalan tersebut tentu menjadi tanggungjawab pemerintah daerah maupun pusat untuk secara adaptif dapat menangani persoalan yang terjaadi dalam pendidikan kita.
Bagi penulis, sejatinya nilai pendidikan selalu bermuara pada perkembangan peradaban dan keluhuran manusia. Nilai-nilai serta kebaikan yang lahir dari dunia pendidikan semestinya terarah pada peradaban manusia yang baik dan beradab pula. Untuk itu, penulis hendak menelaah beberapa poin substansial yang selama ini masih membelenggu dunia pendidikan kita.
Pertama, pendidikan kita gagal dalam menangkap kekeliruan dan kelemahan setiap teori ataupun bentuk pengayaan pembelajaran.
Salah satu kenyataan yang paling sering dilakukan oleh pendidikan kita di Indonesia ialah sedapat dan sebisa mungkin menjejalkan ribuan teori atau rumus, konsep ke dalam kepala peserta didik tanpa diselidiki kepincangan cara berpikir setiap teori atau pengetahuan yang diterapkan.
Ini merupakan suatu anomali yang sering terjadi, namun tidak pernah disadari oleh sebagian besar pemerintah, tenaga pengajar maupun masyarakat kita.
Pendidikan kita suka mengimitasi segala bentuk pengetahuan, tanpa dilakukan verifikasi serta difalsifikasi terlebih dahulu, sehingga berimbas pada tumpulnya nalar kritis masyarakat dan membaptis generasi muda menjadi manusia jiplakan. Selain itu, minimnya model pengayaan dalam proses pembelajaran juga menjadi suatu kendala utama.
Kedua, pendidikan kita telah mengamputasi segi proses dan mereduksinya kepada hasil semata. Ambisi kepada prestasi akademik turut membantu menyuburkan mentalitas instan dalam pendidikan kita (Peter Than, dalam Majalah Vox, 2013).
Survei-survei yang dilakukan oleh Program for International Students Assesement (PISA) ataupun studi tentang pendidikan yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merupakan gejala yang memproyeksi substansi pendidikan hanya pada hasil ketimbang proses. Walhasil, pendidikan kita tidak mampu melahirkan genarasi yang kritis dan inovatif, karena terbelenggu kompetisi dan standarisasi.
Ketiga, kedua cacat pendidikan tersebut lalu memicu matinya masyarakat kritis dan mundurnya peradaban. Arogansi pendidikan yang memusatkan perhatian pada pengetahuan akademis tanpa diimbangi pemahaman aspek proses, moral dan etis pada akhirnya bermuara pada minimnya daya kritis pelajar dan matinya masyarakat ilmiah. Lemahnya sikap kritis tersebut lalu memunculkan terjadinya degradasi moral serta sentimen primordial yang yang berujung pada sikap eksklusivisme dan anarkisme.
Prioritas pada nilai akademik dalam dunia pendidikan pada akhirnya hanya melihat sejauh mana generasi kita mengetahui sesuatu. Padahal yang lebih utama dalam pendidikan bukan hanya soal sejauh mana kita mengetahui, tetapi bagaimana kita dapat memahami realitas secara mendalam. Dengan memahami, kita tidak hanya diajak untuk melihat suatu realitas hanya dalam lingkup epistemologi (pengetahuan), tetapi juga melibatkan aspek moral dan etis yang merupakan bagian integral dari pendidikan itu sendiri.
Arah pendidikan kita: Dari belenggu akademik menuju masyarakat merdeka
Pada dasarnya, ikhtiar dari suatu pendidikan ialah kemanusiaan sejati dan keluhuran peradaban. Untuk itu pendidikan harusnya hidup dalam suasana kebebasan, tanpa adanya intervensi dari sektor lain.
Sikap kritis serta otonomi pendidikan menjadi kunci utama suksesnya pencapaian pembebeasan. Pendidikan harus berani bongkar belenggu sektor lain, yang memanfaatkan pendidikan sebagai jalan untuk memenangkan pertarungan di dalam masyarakat.
Kualifikasi ataupun standarisasi dalam dunia pendidikan hanyalah faktor pendukung terwujudnya nilai utama dari pendidikan yaitu humanisasi diri dan dunia. Poin penting pendidikan itu ialah misi pembebasan manusia.
Untuk itu, pendidikan kita pertama-tama harus merdeka dari segala kepentingan, sehingga mampu melahirkan manusia yang merdeka dalam belajar dan belajar menjadi pribadi yang merdeka.
Itulah tujuan sejati dari pendidikan. Tanpa adanya pembebasan dalam pendidikan, manusia tidak akan mampu keluar dari lingkaran dogmatisme, yang selalu menjustifikasi nilai pendidikan hanya pada standarisasi-standarisasi dan prestasi.
Prestasi pendidikan tidak hanya pada perolehan nilai di atas kertas, tetapi juga mampu mengkritisi segala bentuk pengetahuan, sehingga dapat membawa misi pembebasan pada masyarakat serta meluhurkan peradaban manusia. Itulah praxis dalam pendidikan, sebagaimana diungkapkan oleh Paulo Freire, filsuf pendidikan modern (Made Pramono, 2009).
Dalam praxis pendidikan, terdapat dua dimensi yang tak dapat dipisahkan, yakni refleksi dan aksi. Refleksi menggugat kesadaran manusia untuk terus-menerus mempertanyakan dan mendalami realitas. Dalam usaha memahami realitas tersebut, sikap kritis, inovatif dan transformatif menjadi aspek penting dalam menemukan pelbagai kepincangan serta belenggu yang hidup di dalam masyarakat. Penemuan dan refleksi tersebut lalu dikonkretkan dalam bentuk aksi. Pada akhirnya, aksi tersebut kemudian diarahkan bagi humanisasi diri dan transformasi dunia.
Dalam kehidupan yang serba kompleks dewasa ini, kita tidak hanya mengharapkan pemerintah untuk segera menuntaskan persolan infrastruktur dalam dunia pendidikan, tetapi juga berupaya menemukan format pembelajaran serta pembinaan yang baru, yang kontekstual, adaptif lagi tranformatif.
Sudah saatnya pendidikan kita diarahkan pada misi pembebasan yaitu dari belenggu dogmatisme menuju masyarakat kritis, yang pada akhirnya mendorong terwujudnya kemanusiaan sejati dan keluhuran peradaban. ***
*Kornel Wuli, Presidium Riset dan Teknologi PMKRI Cabang Maumere St. Thomas Morus
18 hari yang lalu
24 hari yang lalu