Tuhan
Jumat, 26 November 2021 19:36 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
RONA bahagia "terpancar jelas" dari wajah para guru yang merayakan "Hari Jadi Mereka", Hari Guru Nasional (HGN), Kamis, 25 November 2021. Kesan itu, setidaknya kita tangkap dari "foto-foto" yang memotret aneka fragmen perayaan HGN yang tersebar di jagat maya.
Berbagai ekspresi kebahagiaan itu memperlihatkan tingkat penerimaan mereka atas profesi itu. Mereka puas dan bangga dengan "apa yang mereka peroleh dan rasakan" ketika menjalani profesi itu. Sebuah pengungkapan rasa yang sangat wajar dan normal.
Untuk melengkapi "perayaan itu", tidak salah kalau kita menoleh sejenak tentang "jejak" metodis yang dipakai oleh guru dalam "mendidik seorang anak manusia". Refleksi ini membawa saya berkelana ke masa lalu. Wajah para guru SD dan SMP begitu "terang" dalam lensa permenungan ini.
Kepribadian saya sebagiannya "terformat" dalam iklim pendidikan yang bersifat asertif (tegas dan keras). Pola pengasuhan dan pembinaan yang bersifat otoriter dan represif begitu dipuja saat itu. Memukul, menjewer, menendang, mencubit, berlutut, menghina (mengolok) menjadi hal lumrah dan diterima begitu saja.
Asumsi yang melatari penggunaan "metode kekerasan" itu adalah anak "harus diformat" sesuai selera guru. Filosofi yang dipegang adalah ada emas di ujung rotan. Hukuman fisik itu dianggap "sarana" mengalirkan "emas kebaikan" kepada siswa.
Saya kira, mayoritas guru saat ini merupakan produk dari kultur pedagogis yang berwatak keras tersebut. Apakah "emas kebaikan" yang kita kecap saat ini merupakan buah dari penggunaan rotan/kayu yang kerap dipakai oleh para pendidik kita dahulu?
Tanpa mengurangi 'respek' terhadap para guru tempo dulu itu, saya berpikir, tidak salah juga jika kita coba membuat semacam plus dan minus dari metode yang mengandalkan 'rotan' itu. Apakah metode itu masih relevan atau selaras dengan perkembangan zaman di mana unsur martabat manusia begitu diagungkan saat ini?
Benar bahwa keberhasilan yang kita 'tuai' saat ini, sebagiannya merupakan buah dari penggunaan rotan secara konsisten dari para guru itu. Tetapi, tidak dengan itu, kita menerima begitu saja 'cara merotani' itu, dan mewariskannya atau menerapkannya dalam 'mendidik' anak zaman now.
Perlu disadari bahwa manusia bukan makhluk infra-human (hewan dan tumbuhan). Mendidik manusia, dengan demikian tak sama dengan "menggembleng" hewan. Karena itu, sanksi fisik yang menjurus ke actus penganiayaan tak bisa dibenarkan.
Memberi hukuman fisik kepada siswa dengan motif dan intensi mulia sekalipun, hemat saya tidak untuk menghilangkan dimensi "keburukan" (malum) dalam aksi tersebut.
Jadi, jika diteropong dari dampak perkembangan psikologis anak, merotani siswa sama sekali tak 'menghadirkan emas kebaikan' bagi anak. Justru, pada ujung rotan itu, neraka kebencian menyala terang. Ujung rotan berpotensi menghadirkan trauma psikologis yang sulit disembuhkan.
Pada sisi yang lain, pertanyaannya adalah apakah tindakan memukul siswa merupakan salah satu elemen substansial dalam kurikulum formasi personalitas manusia? Apakah aksi pemukulan itu merupakan sarana yang efektif dalam mengubah karakter siswa?
Saya pikir, sebagai seorang manusia plus guru profesional kita tak mengalami defisit stok cara mendidik yang kreatif dan produktif.
Kita mengasuh dan mendidik manusia dengan "hati", bukan emosi. Jika aspek emosionalitas sangat dominan maka, aspek edukatif akan ternoda sebab kita menabur kebencian dalam diri siswa. Padahal, pendidikan merupakan investasi manusiawi yang sarat dengan nilai-nilai positif.
Kita memang tak menampik bahwa guru juga manusia. Namun, status kemanusiaan itu tidak bisa dijadikan alibi dan justifikasi atas cara-cara kontraproduktif yang kita terapkan dalam proses pembelajaran.
Justru sebaliknya, predikat manusia itu membuat kita berpikir elaboratif dan reflektif sehingga tidak terjebak dalam arus emosi yang dangkal dan sesaat.
Pedagogi kontemporer sangat optimis dengan kapasitas manusiawi yang dipunyai oleh para siswa. Bahwasannya dalam diri peserta didik terdapat potensi atau bakat untuk menjadi manusia. Tugas guru adalah mengarahkan bakat tersebut secara reguler dan teratur.
Kita tidak sedang menilai guru secara kolektif. Sudah jamak dipahami bahwa profesi guru itu sangat mulia. Namun, kemuliaan profesi itu tidak membuat profesi ini imun atau steril dari kritik publik.
Oleh karena itu, kasus ini menjadi pelajaran berharga agar para guru tidak tergoda untuk menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyalurkan maksud dan motivasi yang mulia dalam benak para guru. Intensi dan motivasi yang suci, jika menggunakan cara yang kotor, tak banyak membantu untuk perwujudan niat tersebut.
*Sil Jon adalah warga Mabar. Tinggal di Watu Langkas.