Penanganan Hukum Kasus TPPO di Ngada Belum Tuntas: Publik Sorot Dalang Besar yang Masih Bebas

Rabu, 10 September 2025 22:04 WIB

Penulis:redaksi

gabi.jpg
Gabriel Goa, Ketua Dewan Pembina PADMA Indonesia (Dokpri)

JAKARTA (Floresku.com)  –  Kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Kabupaten Ngada kembali menyisakan tanda tanya besar. 

Hingga kini, aparat penegak hukum baru mampu menyeret perekrut lapangan ke kursi pesakitan, sementara aktor utama di balik jaringan perdagangan manusia masih bebas berkeliaran.

Sebagaimana diberitakan media, pada November 2024 lalu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Ngada menjatuhkan hukuman enam tahun penjara kepada Maria Since, perekrut lapangan dalam kasus ini. 

Selain hukuman badan, Maria juga diwajibkan membayar denda Rp120 juta dan restitusi Rp3,3 juta kepada korban Yuliana Dopo. 

Putusan ini semestinya memberi angin segar bagi penegakan hukum, namun justru menimbulkan kekecewaan karena dinilai hanya menyentuh “pion kecil”.

“Sejak awal yang diproses hanya perekrut lapangan. Jaringan utama sampai hari ini belum tersentuh. Ini jelas tidak adil,” kritik seorang aktivis hukum di Bajawa.

Nada yang sama disampaikan Gabriel Goa, Ketua Dewan Pembina PADMA Indonesia. 

Ia menegaskan bahwa penanganan setengah hati justru memperpanjang rantai kejahatan. “Stop bajual orang! Jangan jadikan perekrut sebagai kambing hitam, sementara mafia besar menikmati hasil. Negara tidak boleh kalah dari jaringan ini,” tegasnya.

PADMA Indonesia juga memberikan apresiasi kepada berbagai pihak yang mendampingi korban, termasuk Keuskupan Agung Medan, Talithakum, LPSK, IOM, hingga jaringan anti-TPPO nasional. 

Namun apresiasi itu dibarengi seruan keras kepada Polres Ngada, Kapolda NTT, hingga Kapolri untuk segera membongkar aktor utama.

Fakta di lapangan menunjukkan NTT adalah salah satu kantong terbesar korban perdagangan orang di Indonesia. Setiap tahun, ratusan warga miskin dijerat janji pekerjaan dan berakhir sebagai korban eksploitasi. 

Tanpa langkah tegas memburu otak di balik jaringan, vonis enam tahun bagi perekrut hanyalah “hiasan hukum” yang gagal memutus rantai perdagangan manusia.

Kini publik menunggu: beranikah aparat memburu mafia yang bersembunyi di balik layar, atau justru membiarkan praktik perbudakan modern ini terus berlangsung? 

Jawaban atas pertanyaan ini akan menjadi penentu: apakah negara benar-benar berdiri di sisi rakyat kecil, atau tunduk pada mafia perdagangan manusia. (Mike). ***