Peran Media Sosial dalam Membendung Isu Radikalisme Agama di Kalangan Mahasiswa

Minggu, 01 Mei 2022 12:20 WIB

Penulis:redaksi

penulis opini.JPG
Maria Putri Ninji dan Maria Albina Nefri. (Dokpri)

BANGSA Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk. Kemajemukan ini ditandai dengan keberagaman yang ada, baik itu suku, ras, etnis, budaya, dan agama. Kemajemukan ini merupakan suatu kekayaan bangsa Indonesia. Kekayaan bangsa Indonesia terbentuk karena adanya keragaman dan kemajemukan tersebut.

Para pendiri bangsa (founding fathers) melihat dan menyadari bahwa keragaman yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan kekayaan dan realitas yang harus dijaga eksistensinya agar Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap bertahan menjadi negara yang majemuk. 

Akan tetapi akhir-akhir ini kemajemukan itu tidak lagi dilihat sebagai berkat dan kekayaan tetapi sebagai ancaman dan bencana. Hal ini terjadi karena adanya upaya dari kelompok tertentu yang ingin menjadikan ajaran dan doktrin agamanya sebagai dasar negara. Semangat eksklusivisme dan formalisme agama semakin gencar dan terus bertumbuh di negara ini. Konsekuensi dari eksklusivisme dan formalisme agama adalah pengabaian hak-hak kelompok minoritas.

Sikap eksklusivisme dan formalisme agama atau sering kita sebut sikap radikalisme ditunjukan dalam aksi kekerasan dan tindakan rasisme yang mengatasnamakan agama. Masing-masing agama “mengklaim diri sebagai agama yang paling benar dan agama lain adalah agama kafir”. 

Tidak jarang kita mendengar adanya kerusuhan, bom yang memporak-porandakan rumah-rumah ibadah misalnya pemboman Gereja Katedral Makasar beberapa tahun lalu, larangan membangun rumah ibadah, melakukan orasi yang memojokan bahkan mengatakan agama lain sebagai agama kafir. 

Sikap radikal ini terus menggeliat dan sudah merangsek ke dalam dunia kampus, bahkan menyebar dengan sangat cepat. Mahasiswa saat ini menjadi sasaran empuk penyebaran radikalisme. 

Pasalnya paham ini dapat menyebar dengan cepat melalui media sosial. Dan kita tahu bahwa saat ini mahasiswa sangat akrab dengan media sosial. Mahasiswa saat ini sangat akrab dengan berbagai macam teknologi dan sangat update di media sosial. Idi Subandy Ibrahim, dalam bukunya Budaya Populer Sebagai Komunikasi: Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia Kontemporer menulis bahwa, media sosial telah membentuk sebuah generasi dan dunianya sendiri, bahkan Tapscott menyebutkan bahwa kemajuan teknologi informasi telah melahirkan ‘media-literate kids’, anak-anak yang melek media. Melalui media-media inilah paham radikalisme itu dengan mudah menyebar di kalangan mahasiswa. 

Berangkat dari kenyataan ini, penulis berusaha melihat peran media sosial dalam membendung isu radikalisme di kalangan mahasiswa. Sebabnya media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan kaum muda. 

Media sosial menjadi ikon terpopuler dari teknologi digital. Dan media sosial juga merupakan evolusi teranyar teknologi digital saat ini. Bermunculan berbagai macam jenis media sosial seperti Facebook, Twitter, Google, Instagram, WhatsApp, Youtube, Tiktok, Line, Reddit, dan masih banyak lagi. Media-media ini semakin hari semakin berkembang dan terus berinovasi.

Radikalisme 
Mendefenisikan istilah radikalisme sebagai suatu konsep yang pakem sangatlah tidak mudah karena kosakata ini memiliki makna yang beragam sesuai dengan konteks dan waktu. 

Radikalisme berasal dari kata bahasa Latin yaitu “radical” dan “radix” yang berarti akar atau memiliki akar, suatu konsep yang menginginkan perubahan yang signifikan. Ahmad Zamzamy, dalam bukunya ‘Menyoal Radikalisme di Media Digital’, menguraikan bahwa radikalisme dapat dipahami sebagai suatu sikap atau posisi yang mendambakan perubahan status quo dengan jalan menghacurkannya secara total dan menggantinya dengan sesuatu yang baru, yang sama sekali berbeda. 

Sementara menurut KBBI (online) istilah radikalisme ini merujuk pada tiga pengertian yaitu pertama, suatu paham atau aliran yang radikal dalam bidang politik. Kedua, suatu paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan dan drastis. Ketiga, sikap ekstrim dalam aliran politik. Paham-paham radikal ini dapat berkembang dengan cepat melalui media sosial sebab kehidupan manusia (mahasiswa) tak terlepas darinya. 

Meredam radikalisme melalui media sosial:
- Virtual Community

Virtual comuminity adalah  sekumpulan pengguna internet yang membentuk hubungan atau menjalin relasi personal. Adapun konsep virtual tersebut dikarenakan adanya ‘bandwidth’ sebagaimana penanda utama untuk terkoneksi dengan dunia virtual. 

Mereka membangun suatu komunitas dalam dunia virtual dan menjalin relasi di dalamnya. Pengekspresian pun berbeda, di mana dalam komunitas virtual pengkespresian komunikasi menggunakan emoticon sebagai pengganti komunikasi gestural. 

Penulis dalam membahas tema ini tidak banyak menjelaskan mengenai pengertian dari virtual community, maupun berbagai karakternya. Tetapi fokus perhatian penulis pada bagian ini adalah virtual community menjadi medium penanaman nilai nasionalis, sebagai upaya meredam penyebaran ajaran radikalisme. 

Melihat realitas yang menggambarkan keakraban mahasiswa dengan dunia digital dalam hal ini media sosial, maka Kampus hendaknya memanfatkan media itu sebagai sarana penanaman nilai-nilai kebangsaan (menanamkan rasa nasionalisme) dalam diri mahasiswa. 

Salah satunya misalnya membentuk “komunitas pelajar” dalam dunia virtual. Bagi penulis pembentukan komunitas virtual ini dapat membendung isu radikalisme yang disebarkan oleh sekelompok orang. 

Dengan membentuk komunitas pelajar dalam dunia virtual, Kampus dapat melakukan pertemuan secara rutin dan memberikan materi-materi yang berkaitan dengan paham tentang keberagaman, tentang Pancasila dan lain sebagainya. 

Kampus hendaknya secara kontinu memberikan materi-materi dan juga melakukan sharing hal-hal akademik yang berkaitan dengan Negara kesatuan Republik Indonesia. 

- Website

Pembentukan komunitas pelajar secara virtual tidaklah cukup untuk meredam tersebarnya isu radikalisme dalam kalangan mahasiswa. Saat ini para penganut paham radikalisme menggunakan internet untuk menyerukan paham atau ajarannya. 

Kelompok radikal menggunakan internet sebagai salah satu alternatif utuk membangun sebuah jaringan komunikasi untuk menyebarkan ajaran dan propaganda. Aktor radikalis memanfatkan internet sebagai wadah dalam menyebarkan paham radikalisme supaya orang, terutama mahasiswa mudah terpengaruh dan menganut ajaran mereka. 

Berkaca pada realitas ini, penulis berargumentasi bahwa Kampus juga sebaiknya mengambil langkah primer dan sudah seharusnya menggunakan media yang sama (membuat website) dengan mengangkat tema-tema yang bertolakbelakang dengan tema-tema yang ditawarkan oleh kelompok radikal, yaitu memuat tulisan-tulisan yang logis, kritis dan menarik tentang kebaikan, tentang indahnya hidup bersama. 

Website yang digunakan memuat isu-isu kedamaian, mengenai toleransi dan juga memberi pemahaman kepada mahasiswa bahwa sikap radikal sangatlah tidak manusiawi, tindakan kekerasan menentang martabat manusia yang adalah baik. 

Perlu diingat bahwa ulasan yang ditayangkan dalam website tersebut harus bersifat akademik dan bahasa yang digunakan juga harus simpatik. Hal ini bertujuan untuk memikat banyak orang terutama dalam kalangan mahasiswa agar mereka lebih tertarik pada hal yang baik dan akademis daripada hal-hal yang berbau radikal. 

Isu radikalisme yang berkembang melalui media sosial di kalangan mahasiswa bisa di atasi jika kedua hal di atas bisa di realisasikan. Selain itu, mahasiswa harus bijak dalam menggunakan media sosial supaya meredam berkembangnya isu radikalisme. 

Bijak menggunakan media sosial dalam konteks ini ialah upaya mahasiswa untuk memfilter setiap informasi yang tersebar dalam media sosial dan berusaha untuk mencari tahu kebenarannya. Hal ini sejalan dengan hakikat manusia yang selalu terarah pada kebenaran.

Penulis: Maria Putri Ninji dan Maria Albina Nefri. Keduanya adalah Mahasiswi Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (SD) pada Universitas Katolik Indonesia St. Paulus Ruteng . 

Catatan: Keseluruhan artikel ini menjadi tanggung jawab dari penulis sendiri***