Perang Teks Tanpa Fakta, Mengapa Kita Gagal Menemukan Mafia?

Jumat, 12 Desember 2025 21:43 WIB

Penulis:redaksi

abr.jpg
(null)

Oleh: Abraham Runga Mali 

HURU-hara polemik tentang dugaan adanya “mafia” dalam proyek pembangunan di Nagekeo, yang  berawal dari opini Pater Steph Tupeng Witin, SVD, belakangan ini bergerak menjauh dari isu utamanya. 

Alih-alih memperkaya ruang publik, perdebatan yang terjadi justru berubah menjadi ajang serangan personal, adu gengsi intelektual, dan pertarungan argumentasi yang tidak relevan dengan kepentingan masyarakat.

Fenomena ini menunjukkan satu persoalan mendasar: kita masih sering salah paham tentang bagaimana ekosistem media bekerja, terutama perbedaan antara opini dan liputan investigasi.

Opini Bukan Fakta, Tapi Ia Penting

Dalam teori agenda-setting, McCombs dan Shaw menjelaskan bahwa media — termasuk tulisan opini — memiliki kekuatan untuk membuat suatu isu menjadi penting di mata publik.

 Dalam konteks ini, tulisan Pater Steph menjalankan fungsinya: menyalakan alarm awal agar masyarakat memperhatikan indikasi masalah dalam pengelolaan pembangunan. Tapi,  tolong diinga, opini itu bukan fakta.

Namun, yang terjadi kemudian di Nagekeo adalah kekeliruan massal: opini itu diperlakukan seolah-olah laporan investigasi yang harus diuji secara hukum. 

Para penanggap sibuk membantah, membongkar riwayat personal penulis, bahkan menyerang karakter—sebuah praktik yang dalam logika argumentasi dikenal sebagai ad hominem, dan dalam teori ruang publik Habermas, dianggap sebagai bentuk distorsi komunikasi yang merusak diskursus rasional.

Padahal yang dibutuhkan terhadap sebuah opini sangat sederhana: menilai apakah argumen yang diajukan didukung data yang memadai, bukan mengadili kehidupannya. Juga kian  menyedihkan kalau penulis opini semakin menyakini kalau apa yang ditulis sebagai pengungkapan fakta kebenaran. 

Investigasi sebagai Alat untuk Mengungkap, Bukan Opini

Kita lupa bahwa opini dan investigasi memiliki fungsi berbeda, meski sama-sama penting. Opini menawarkan sikap moral, memberikan interpretasi, dan mendorong kesadaran publik.

Sementara investigasi adalah kerja jurnalistik yang bertumpu pada: verifikasi dan pengecekan silang, dokumen dan data material, wawancara banyak pihak, dan tanggung jawab etis untuk menyajikan fakta yang lengkap.

Gaye Tuchman menyebut investigasi sebagai upaya membangun “fakta yang terinstitusionalisasi”—fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara publik. Inilah yang tidak bisa dilakukan oleh opini.

Karena itu, jika publik ingin mengetahui apakah benar ada mafia dalam pembangunan Nagekeo, jawabannya hanya satu: media lokal harus melakukan liputan investigasi yang serius.

Polemik Ini  Cenderung Menyesatkan Publik

Jauh dari upaya memperjelas persoalan, polemik yang terjadi justru memperlihatkan gejala yang digambarkan oleh Walter Lippmann hampir seabad lalu: publik sering terjebak dalam pseudo-environment, yakni realitas bayangan yang diciptakan oleh persepsi, bukan oleh fakta.

Ketika para penanggap sibuk membantah personal dan bukan membantah substansi, publik justru semakin jauh dari isu inti: apakah ada penyalahgunaan kekuasaan, aliran uang, atau kepentingan gelap dalam pembangunan di Nagekeo?

Polemik itu akhirnya lebih tampak sebagai pertarungan ego daripada upaya mencari kebenaran.

Sudah saatnya energi publik dialihkan kembali pada hal yang lebih berguna: mendorong jurnalisme investigasi. Opini telah menyalakan nyala awal. Tetapi tanpa liputan yang mendalam dan terukur, nyala itu hanya menjadi asap yang mengaburkan pandangan.

Investigasi diperlukan untuk menjawab: jika ada mafia, siapa aktornya? Bagaimana modusnya? Siapa yang diuntungkan? Dan apa kerugian masyarakat?

Sementara opini tetap memiliki perannya: memberi arah moral, menafsirkan konteks, dan menjaga agar isu ini tidak hilang ditelan kepentingan politik jangka pendek.

Menjaga Ruang Publik yang Sehat

Ruang publik kita akan terus rapuh jika debat publik hanya berputar pada serangan personal. Kita perlu membangun kedewasaan baru dalam berkomunikasi. Untuk mencapai kedewasaan itu, kita harus nembedakan opini dan fakta, mengutamakan argumen, bukan serangan personal, mendorong media untuk melakukan tugas investigatifnya, dan emastikan publik tetap fokus pada isu yang menyangkut kepentingan bersama.

Jika dugaan mafia memang ada, publik berhak tahu kebenarannya. Jika tidak ada, publik berhak mendapatkan klarifikasi berdasarkan bukti—notasi, bukan asumsi. 

Pembuat opini jangan berambisi seolah-olah mengungkap fakta mafia melalui tulisannya, dan para penanggap tak perlu berkecil hati karena dugaan-dugaan itu bukanlah fakta. 

Kalau pun mau direspon cukup dijawab dengan satu kalimat: “Ah itu ‘kan hanya opinimu, jangan lebay”. 

Respon yang belebihan terkadang menyulut kecurigaan yang tidak penting. 

Sekali lagi diingatkan, dalam eksostem media, opini itu ibarat menggedor pintu, sementara investigasi akan menembus dinding. 

Keduanya mesti berjalan beriringan jika kita  ingin membangun ruang publik Ngekeo yang sehat dan demokratis, serta memastikan pembangunan berjalan bersih, transparan, dan berpihak pada masyarakat.*

*Penulis adalah Pemimpin Umum, Floresku.com.***