Puisi
Minggu, 07 Agustus 2022 19:50 WIB
Penulis:redaksi
Engkau adalah gubuk reot yang dipaksa tegap berbedak putih dengan lipstik hijau
Dibesarkan dari lima biji sukun yang disusui Meja
Barisan rumput hijau di pekarangan seperti pagar ayu pasukan KNIL yang sedang menunggu giliran di rumah bordir
Mata-mata membuka hijau pintu setelah sekejap bersalaman di dua merah kelopak kamboja di sudut bibir pintu itu
Lalu tiba di ruang tamu disambut kursi perjuangan, tali sepatu yang penuh anyir darah dengan porselin senjata berkaos kaki perang
Paling hijau sebab paling putih
Tubu mbusu 77 tahun bangsa ini
Sumur yang menjadi lorong pembuka kelambu jendela putih kabut langit pertiwi
Aku terkesiap sesaat tak sengaja mengintip Das Kapital di peti jenggot sunnah tua Karl Max tersesat di Jantung di patung di dada mu sepert nisan yang terbuat dari keringat dingin pantai ria
Gadis-gadis berambut arus seperti tali BH kusut yang memasang sirine Ambulance di punggung resleting mu
Sebentar lagi kami akan merayakan kemerdekaan atas kemerdekaan
Menamcapkan bendera yang lalu dimainkan angin kefanaan dikerek jerit harga minyak goreng
Demi menghibunya
Rumah berpintu hijau itu ku bonceng dengan motor yang ku pinjam dari paman Roland Barthes
Ku ajak menyusuri Ende yang penuh dengan patung Garuda, Ya hanya patung
Patung-Patung tanpa Burung
Kejutnya tak tertolong
Terjun dari tiga jengkal jok hitam
Gundah setengah mati melihat pedal rem di injak kuat-kuat di warna merah Lampu Lalu Lintas
Terisak-isak menjumpai petinju yang di lempar handuk putih di balkon rumah Ferdinand De Saussure.
*Irfan Limbong atau Ahmad Irfan, Sarjana Sastra Inggris dari Universitas Putra Batm. Irfan berasal dari Ende, NTT, tinggal di Mataram, NTB.