Ratusan Mahasiswa Kota Maumere Lakukan Aksi Kawal Putusan MK

Jumat, 23 Agustus 2024 21:19 WIB

Penulis:redaksi

mahasisw.jpeg
Mahasiswa di Komta Maumere unjuk rasa kawal Keputusan MK, Jumat (23/8) (Mardat)

MAUMERE (Floresku.com) - Ratusan mahasiswa di Kota Maumere yang tergabung dalam beberapa Organisasi Cipayung,GMNI,HMI,PMKRI dan LMD melakukan aksi turun ke jalan untuk mengawal Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024.Jumat (23/8).

Dalam aksi turun ke jalan dengan star awal dari lapangan kota baru dan berakhir di Kantor DPRD Kabupaten Sikka adapun Orasi para mahasiswa dibacakan sebagai berikut:

“Sebagai negara hukum (rechsstaat) dan negara demokrasi terbesar di Asia, Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan yang luar biasa, ada ancaman terhadap eksistensi hukum dan masa depan demokrasi.”

Apa yang disebut oleh Charles Sampford dengan istilah disorder of law (kerancuan hukum) serta apa yang tuliskan olch Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku How Democracies Die (bagaimana demokrasi mati) sedang terpampang nyata di depan mata. Apa yang sedang terjadi? Dan bagaimana itu bisa terjadi? Dan apakah kita akan berdiam diri, tentunya tidak.

Hanya ada satu kata, lawan.

Pembangkangan terhadap hukum, penghianatan terhadap demokrasi, merupakan extraordinary crime (kejahatan luar biasa) terhadap rakyat. Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibentuk berdasarkan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertujuan untuk memperkuat dasar-dasar konstitusional.

MK dibentuk untuk menjalankan Judicial Review atas UU yang bertentangan dengan UUD NRI 1945 hal ini merupakan perkembangan hukum politik ketatanegaraan modern di Indonesia.

Namun, cita-cita pembentukan MK. ini telah 'dikencingi, diludahi, dan dicederal', sebab MK yang seharusnya menjadi the guardians of constitution dan di dalam teori trias politica sebagai Yudikatif (penegak hukum, memberikan keadilan, dan memutuskan perselisihan hukum), telah dibunuh.

Faktanya putusan MK kini tak lagi dianggap inkracht.

Dalam konsep separation of power (pemisahan kekuasaan) MK sebagai Yudikatif, tidak berdiri sendiri, ada Eksekutif dan Legislatif. Ketiga pilar kekusaan ini merupakan pilar penting bernegara, harus berjalan bersama tanpa saling

menegasikan, namun apa yang terjadi saat ini, adalah sebaliknya.

DPR RI melakukan revisi sejumlah Pasal dalam UU Pilkada dalam waktu yang sangat singkat, tanpa moral dan menabrak dinding-dinding batas konstitusional.

Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan kepala dan wakil kepala daerah Dan Putusan MK Nomor 70/PUU- XXII/2024 mengenai syarat usia calon kepala daerah yang diambil saat penetapan oleh Komisi Pemilihan Umum.

Dua putusan terbaru ini seharusnya akan memberikan angin segar bagi demokrasi elektoral di Indonesia. Namun pasca putusan MK tersebut, DPR RI melalui Badan Legislaltif membentuk Panitia Kerja (Panja) UU Pilkada untuk melakukan pembahasan revisi UU Pilkada pada Rabu, 21 agustus 2024. Revisi UU Pilkada tersebut sebagai upaya nyata untuk menjegal dan membungkam Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 dan kembali memasukkan pasal inkonstitusional pada Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024.

Revisi ini rencana akan di sahkan pada Rapat Paripurna DPR RI pada Kamis, 22 Agustus 2024 pukul 09.30 WIB sebagaimana Surat Undangan Rapat Paripurna Nomor B/9827/LG.02.03/8/2024.

Sangat ironis, mengecewakan, dan menyedihkan. Bahwa DPR RI sebagai Lembaga Legislatif yang memiliki fungsi utama untuk penyusun regulasi dan mengawasi kekuasaan ternyata semakin tenggelam dan terjebak dalam 'nafsu kekuasaan yang justru mengamputasi hukum dan kewarasan serta kepercayaan publik kepada lembaga 'para wakil rakyat' ini. DPR RI juga kini seakan menjadi kaki tangan elit dan rezim otokratis untuk melanggengkan otokrasi legalisme.

Memonopoli regulasi untuk mempertahankan kekuasaan, memperkuat fondasi regulasi dengan manipulasi narasi, pelanggaran hukum, dan etika secara terstruktur, sistematis, dan masif.

Harapan publik atau rakyat, bahwa DPR RI menjadi wakilnya yang amanah, jujur, dan teladan, justru sebaliknya 'cawe-cawe' di dalam menjegal Putusan MK melalui hasil rapat DPR-RI hari Rabu, tanggal 21 Agustus 2024.

Pembangkangan terhadap konstitusi, dengan mengbaikan, menghilangkan, meniadakan, dan tidak menggunakan Putusan MK harus dilawan, hal ini demi supremasi hukum dan tegaknya pilar demokrasi, serta kedaulatan rakyat.

Oleh karena itu, Cipayung Sikka menyeruhkan:"Mendesak Dewan Pimpinan Rakyat Daerah (DPRD) Sikka untuk segera menyurati DPR RI agar tidak melakukan revisi undang-undang (UU) Pilkada dan mematuhi Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024, tertanggal 20 Agustus 2024".

Berdasarkan pantauan, ratusan mahasiswa setibanya di kantor DPRD Kabupaten Sikka Mereka meminta masuk ke dalam Gedung DPRD untuk berdialog bersama anggota DPRD setempat.

Sementara itu, Kepolisian Resor Sikka  mengerahkan ratusan anggota personel Polres sikka untuk mengamankan aksi kawal putusan MK ini. (Mardat). ***