Floresku.com
Rabu, 09 Februari 2022 16:51 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
IBARAT seorang anak manusia, sebut saja namanya Natalia, situs berita Floresku.com lahir begitu saja, pada 09 Februari 2021, bertepatan dengan Hari Pers Nasional, ke-36.
Jadi jangan dikira situs ini dirancang untuk hadir di kancah media online nasional dan global tepat pada HPN. Tidak! Walau keterkaitan di antaranya mengandung makna penting dan dapat menimbulkan citra positif juga.
Meski demikian, Floresku.com tidak juga lahir secara kebetulan. Ya, bayangkan saja, dengan si Natalia yang mendapat nama begitu karena lahir pada Hari Raya Natal. Natalia tentu hadir begitu saja pada Hari Natal, tidak dirancang, apalagi dipatoki seperti deadline berita yang menjadi salah satu karakter penting media lama, terutama media cetak.
Meski,demikian kelahiran Natalia juga tidak terjadi secara kebetulan juga, karena sudah jauh-jauh hari didambakan dan dipersiapkan oleh kedua orang tuanya.
Nah, situs berita online Floresku.com seperti begitu riyawat kelahirannya. Memang, dari sisi infrasturuktur Floresku.com, dikerjakan oleh tim IT komunitas media berjejaring (KMB) beberapa minggu sebelum HPN, tapi tidak ditagetkan untuk lahir persis pada hari ‘pesta’ pers Indonesia itu.
Namun, identitas, jiwa atau visinya sudah diangankan beberapa tahun sebelumnya. Bahkan, tat kala industri media mulai kedatangan tamu yang dikenal sebagai ‘media baru’ (new media), Abraham RM, penggagas utama media ini berusaha membaca beberapa buku-buku rujukan, mulai dari ‘Kitab Suci’ pers modern buah pena Marshall Mc Luhan (1911-1980), hingga buku-buku kontemporer yang mengupas perihal media online dan media sosial.
Awalnya Abraham RM sendiri boleh dibilang agak pesismistis dengan ‘tamu baru’ yang disebut situs berita online ini. Terbukti, pada awal 2000-an,ketika ditawari untuk mengambil nttonline.com yang dirintis dan dikelola oleh seorang jurnalis asal Nagekeo, Hans Obor, ia menolak dengan halus.
“Media online belum punya masa depan,’ kata Abraham RM waktu itu.
Tapi ketika ‘media baru’ mulai mewabah dan mengancam kenyamanan media konvesnional, Abraham RM pun segera mengajak beberapa sahabatnya untuk melahirkan Inilah-flores.com (2012).
Mungkin karena tidak cukup percaya pada masa depan media online, atau karena kesibukan di media cetak Bisnis Indonesia, situs berita online Inilah-flores.com pun mati muda. ‘Usianya hanya seumur jagung’ kata orang.
Memasuki dekade kedua millennium ketiga, media baru tampak semakin beringas, dan mulai melindas tanpa ampun barisan media cetak.
Satu per satu media cetak jatuh ambruk, sehingga dengan sedikit malu-malu media ceta pun mulai mengadopsi platform media online.
Beberapa tahun sebelum pamit dari Harian Bisnis Indonesia, Abraham RM sempat diberi tanggung jawab mengelola Bisnisindonesia.com. Tentu saja, itu adalah bagian dari upaya bisnisindonesia.com menyesuaikan diri dengan tren ‘kebangkitan’ media online.
Setelah benar-benar pamit dari dunia media cetak, dan merasakan sendiri dasyatnya kekuatan internet semenjak pandemi Covid-19 merebak, Abraham terhenyak sadar, bahwa media online, khususnya situs atau portal berita online adalah ‘dunia baru’ yang ia dijalani, supaya bisa tetap berkibar dan berkontribusi bagi masyarakat melalui pers.
Ironi globalisasi
Setelah menimbang-nimbang pendapat para pemikir ilmu komunikasi-sosial, globalis dan futuris, Abraham RM akhirnya memilih nama, Floresku.com.
Tentu saja nama ini mengandung nuansa primordial, bahkan primordial ganda.’Sudah Flores, sebuah pulau kecil yang kental dengan tradisi Katolik, masih ditambah imbuhan ‘ku’. Lengkap sudah label primordial untuk situs berita online ini.
Pepatah Latin bilang, “Nomen est omen”, “Nama adalah tanda”. Artinya, sebuah nama mewakili seperti apa orang yang menyandangnya.”
Namun, rupanya pepatah Latin itu tidak berlaku bagi Floresku.com. Sebab, nama itu tidak benar-benar jadi tanda yang mewakili pulau dan orang Flores sendiri.
Nama tersebut hanyalah sebuah wujud paradoksal dari fenomena globalisasi yang ditimbulkan oleh teknologi internet.
Jika sebelumnya, globalisasi dipahami sebagai model komunitas dunia, kumpulan budaya dan negara nasional bergerak liar secara bersama, maka sekarang teknologi internet membalikkannya menjadi ‘lokalitas yang terhubung secara global’, lokalitas yang mencari posisi dan peran di pentas global.
Teknologi internet mengangkat setiap lokalitas menjadi ‘titik pusat global’; menjadi pemain global.
Globalisme baru ini memperkuat makna frase "Think globally, act locally" (Berpikir secara global dan bertindak secara lokal) yang dicetuskan Patrick Geddes (1915) dalam konteks perencanaan kota, dan kemudian diimplementasikan oleh David Brower (1971) dalam konteks pelestarian linkgungan hidup.
Nah, situs berita online Floresku.com menjadi menjadi salah satu contoh kecil dari fenomena globalisme baru itu, sekaligus relevansinya dalam dunia pers.
Dalam konteks seperti itu, media Floresku.com, bukan lagi sebuah media lokal, tapi salah satu dari jutaan enititas media global.
Nama ‘Floresku.com dan rubrikasi (konten) mengindikasikan bahwa Floresku.com adalah salah satu pemain (cilik) global. Dengan kata lain, ia adalah ‘media global’ yang sedang bertindak dengan nuansa lokalitas.
Saya sendiri pun sering merenung soal status paradoksal media online saat ini. Makanya saya tersentak ketika dalam sebuah webinar Mas Agus Sulistyo, seorang anak muda yang sedang ‘membawahi’ sekitar 260 situs berita online di tanah air berujar, “sekarang ini, tak ada lagi yang namanya ‘media lokal’ dalam definisi lama. Sebab, teknologi internet telah mentransformasi semua media online menjadi media global.”
Kata-kata Mas Agus, tentu bukan sebuah isapan jempol belaka. Melalui aplikasi google analytic semua pengelola situs berita online bisa memeriksa sendiri, postur demografic users atau viewers (pembaca) medianya.
Sebagai pengasuh Floresku.com saya sendiri tak habis berpikir ketika, berhadapan dengan data analytics.google.com. Dalam usianya yang masih muda, situs berita online ini sudah menjangkau 1.1 juta pageviews dengan users tersebar di 472 kota di 83 negara di dunia.
Tentu saja bila dibandingkan dengan situs berita lain yang sudah ‘matang’, pencapaian ini sangat minim. Sebagai misal, situs berita Hops.id pada Januari 2022 saja mampu meraup jumlah pageviews hingga 11.927.517.
Data tersebut membuktikan bahwa media online bergerak seperti ‘magic’, meraih jumlah pembaca di luar dugaan akal sehat.
Sekadar membandingkan, selama setengah abad usianya, Harian Umum Kompas, media cetak terbesar Indonesia, memiliki oplag 500 ribu.
Dengan asumsi satu eksemplar Kompas dibaca oleh lima orang maka jumlah pembacanya hanya 2,5 juta. Itu pun terjadi ketika harian itu berada pada puncak kejayaannya.
Sekarang ini, konon jumlah oplag dan pembacanya sudah sangat menciut. Kompas sendiri tentu ‘malu hati’ untuk mengumumkannya.
Bagaimana masa depannya?
Ini pertanyaan paling inti terkait fenomena media online. Banyak pakar ilmu media percaya bahwa masa depan pers ada di tangan media online.
Pendapat tersebut tentu tidak ditolak.Tapi, media online dengan model bisnis macam apa yang akan menjadi penyokong kehidupan pers atau media online masa depan?
Data Dewan Pers (2019) menyebutkan bahwa Indonesia memiliki 47 ribu situs berita online, dan sekitar 2.700 yang terverikasi oleh Dewan Pers.
Sebuah angka yang fantatis, tentu saja. Angka tersebut tentu akan terus bertambah, seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan kemudahan akses internet.
Pertanyaan lebih lanjut adalah bagaimana ke-47 ribu situs berita online, termasuk Floresku.com bisa bertahan hidup? Dari manakah sumber pendapatannya?
Mengandalkan pendapatan dari anggaran iklan perusahaan, lembaga pemerintah dan organisasi sosial, sepertinya tidak mudah.
Direktur Eksekutif Nielsen Ad Media Hellen Katherina mencatat nilai belanja iklan 2021 justru ditutup naik hingga Rp259 triliun di semua media tipe media yang dimonitor, yakni TV, Cetak, Radio dan Digital. Namun, sekitar 70 persen atau sekitar181,3 triliun rupiah dilahap oleh TV.
Sisanya, 77,7 triliun diperebutkan oleh media cetk, radio dan digital.
Hingga kini memang belum ada data pasti berapa besar ‘kue iklan’ yang dapat dinikmati situs berita online. Dan, situs berita online mana saja yang menikmati bagian paling manis dari ‘kue iklan’ tersebut.
Namun, dapat dibayangkan betapa ketat dan kejamnya persaingan di antara 47 ribu situs berita online itu.
Dalam situasi seperti itu para pelaku media online ‘terpaksa’ tunduk pada hukum Darwin (1864) yang dipopulerkkan Herbert Spencer (1820-1903): "Survival of the fittest", daripada hukum Yesus: ‘cinta kasih dan berbela rasa.’
Sebagai situs berita online yang berusia setahun, saya harus jujur mengatakan bahwa Floresku.com baru belum punya energi untuk bersaing, walau sekadar mendapatkan, ‘remah-remah'nya saja.
Jadi, Floresku.com, nasibnya seperti Lazarus yang dikisahkan oleh Injil Lukas 16:19-31. Sampai kapan ‘si Lazarus’ ini bisa bertahan hidup? Entahlah, hanya Tuhan yang tahu! Dan, biarkan Tuhan yang menentukan.
Dua model bisnis
Selain berpasrah pada penyelenggaraan Tuhan, tim Floresku.com mencoba menggunakan kemampuan manusiawinya untuk menemukan jalan keluar.
Tentu saja, tim tidak akan meniru si Lazarus yang mendekati meja pesta si kaya. Tetapi, tim akan mencoba menjalankan model bisnis dengan memanfaatkan peluang yang ditawarkan oleh teknologi informasi dan internet.
Ada dua model bisnis yang dikembangkan tim Floresku.com untuk bisa survive di tengah gelombang kompetisi media online yang terus bertambah besar.
Model bisnis pertama adalah bergabung dengan sebuah kelompok jejaring media online di bawah payung PT Konten Media Berjejaring (KMB).
Dari namanya, kelompok ini memang mengandalkan jaringan untuk bisa survive. Melalui model bisnis ini, Floresku.com bersinergi dan berkolabrasi dengan 21 rekan situs berita online yang tersebar di berbagai kota di Indonesia.
Walau hasilnya belum cukup optimal, model bisnis ini cukup membantu sehingga Floresku.com bisa survive. Paling tidak dari segi konten berita, Floresku.com dapat berbagi dengan 21 mitranya. Cara ini terbukti bisa memangkas banyak biaya dan energi dalam proses produksi konten.
Bagaimana sistem kerja model bisnis ini, tentu saya tidak bisa dibagikan di sini. Itu rahasia dapur kelompok.
Model bisnis kedua adalah mencoba mendayagunakan pageviews untuk memikat calon pengiklan. Untuk mendayagunakan model itu, Floresku.com membentuk grup kecil bersama Katolikku.com dan Enbe Indonesia.com.
Tugas utama Katolikku.com dan Enbe Indonesia.com adalah menjalani model bisnis kedua, bersama sebuah ‘kelompok raksasa’ yang misinya mendayagunakan pageviews untuk memikat pengiklan.
Bagaimana cara kerjanya? Sekali lagi, maaf, itu rahasia dapur kelompok. Yang jelas, setelah berjalan lima bulan model bisnis ini mulai memperlihatkan ‘tanda-tanda kehidupan’. Semoga Tuhan terus membukakan jalan demi kemajuannya.
Tentu saja dua model bisnis tersebut belum terbukti kesuksesannya. Namun, paling tidak melalui dua model bisnis ini, tim Floresku.com sudah mencoba berpikir dan berusaha untuk bisa eksis di tengah arus kompetenisi media online semakin deras.
Mudah-mudahan Tuhan yang Mahakuasa memberkati tim ini dan segala upaya yang dilakukannya.
Terima kasih kepada semua yang selalu terlibat, bersimpati, mengkritik secara konstruktif, dan memberikan dukungan dalam bentuk apa pun demi kemajuan situs berita ini. (Tim Redaksi/Maxi Ali). ***
6 bulan yang lalu