jokowi
Senin, 18 September 2023 10:25 WIB
Penulis:redaksi
Oleh: P. Peter Tan, SVD, M. Fil
Banyak filsuf yang juga sastrawan. Mereka mengartikulasi pemikiran mereka melalui karya sastra. Albert Camus misalnya, menulis gagasan filosofisnya tentang eksistensi manusia dalam beberapa novel yang terkenal seperti Orang Asing dan Sampar.
Meskipun filsafat sebagai ilmu tidak sama dengan sastra, ada kedekatan antara filsafat dan sastra, antara bahasa filosofis dan bahasa puitis.
Heidegger, filsuf Jerman abad ke-20, bahkan beranggapan bahwa ketimbang bahasa-bahasa teknis-ilmiah dalam filsafat dan sains, bahasa puitis adalah bahasa yang lebih cocok dan lebih cair untuk mengungkapkan kebenaran (aletheia). Dia menyebut bahasa puisi sebagai "rumah Ada".
Buku baru dari Pater Dr. Fritz Meko, SVD, yang berjudul "Kepada yang Terhormat: Surat Kepada Filsuf, Teolog, Sosiolog, Pedagog, Inventor dan Sastrawan", adalah sebuah upaya membaca kerumitan filsafat dari sudut pandang seorang Sastrawan.
Saya kenal P. Fritz sebagai seorang sastrawan yang produktif, yang menghasilkan puluhan buku (refleksi sosial, filosofis, spiritual) juga 4 buku antologi puisi- suatu cara mengakrabi kebenaran dan menggeluti pencarian filosofis yang tak kenal puas akan cinta, kebijaksanaan dan bahkan keilahian dan keabadian.
Dalam buku ini, P. Fritz "menulis surat" untuk 33 tokoh pemikir dan pembaharu, yg sebagian besar dari mereka adalah filsuf. "Menulis surat" tentu kata yg lebih pas dan elok ketimbang "menulis buku".
"Surat" adalah sarana mengungkapkan perasaan dan pikiran pribadi yang paling otentik kepada siapa surat itu dituju. Melalui surat, relasi antara si penulis surat dan si orang yang dituju bukan relasi teknis melainkan "sangat personal dan otentik."
Karena itu, buku yg berjudul "Kepada yang Terhormat: Surat Kepada...." ini adalah hasil dari renungan pribadi dan mendalam penulisnya, suatu cetusan hati dan pikiran, yang menandakan kecintaan dan minat pribadi Penulis akan pemikiran 33 tokoh tersebut.
"Surat" P. Fritz adalah "surat balasan", yang berarti ketika Pater Fritz membaca pemikiran 33 tokoh tersebut, Pater Fritz memandang buku-buku yang dibacanya bukan sebagai "buku pemikiran 33 tokoh itu" melainkan sebagai "surat".
Ini menggambarkan "singularitas" setiap kali seseorang membaca sebuah buku. Singularitas artinya hubungan personal seorang pembaca dengan buku yang dibacanya.
Ketika saya membaca buku, saya tidak sedang mengeja huruf-huruf atau kalimat, tetapi saya sedang mendengarkan- dengan penuh minat dan kritis- terhadap orang (penulis, pemikir atau filsuf) yang bukunya sedang saya baca.
Singularitas adalah tingkat imajinasi yang paling tinggi dalam membaca sebab kita membayangkan bahwa buku yg kita baca bukan buku tetapi pengarang masa lampau yang sedang berbicara dari hati ke hati, dari pikiran ke pikiran, dengan kita.
Mereka yang membaca sampai pada tahap "singularitas" itu biasanya menghayati kesunyian dan mencecap dialog yang intens dengan buku yg dibacanya. Saya membayangkan, singularitas semacam itulah yang terjadi ketika P. Fritz mendalami pemikiran 33 pemikir dalam buku ini, di dalam kamarnya yang sempit.
Buku ini tidak hanya cocok untuk pemula dalam belajar filsafat, melainkan juga untuk mereka yang sudah lama belajar filsafat.
Itu karena dalam buku ini, P. Fritz tdk sekadar menyajikan pemikiran para filsuf dg gaya yang unik, tetapi juga mengajukan pertanyaan, komentar dan sentilan-sentilan yang kadang-kadang luput dari perhatian mereka yang sudah lama belajar filsafat, seperti saya.
Hal-hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang tidak hanya menguasai suatu teori atau pemikiran tetapi juga paham dan tahu betul isi pemikiran tersebut.
Sebagai seorang yang sedang belajar filsafat, saya sangat senang dengan buku Pater Fritz ini. Filsafat hidup dari cara-cara baru utk mengartikulasikan soal dan pemikiran.
Dan Pater Fritz, melalui buku ini, telah melakukan tugas filsafat tersebut.
Buku ini bagi saya adalah juga sebentuk otokritik terhadap mereka yang secara khusus belajar filsafat.
Filsafat sering dianggap sebagai ilmu yang sulit dan abstrak di mata awam karena pemikiran filosofis tidak mampu disajikan dalam bahasa yang sederhana, cair dan relevan.
Dengan bahasa yang cair dan sederhana, buku Pater Fritz mengatasi kerumitan itu. Buku ini membuat pemikiran filsafat mudah dipahami dan enak dibaca.
Proficiat Pater Fritz!,
sebulan yang lalu
2 bulan yang lalu