Singapura
Sabtu, 24 April 2021 20:36 WIB
Penulis:redaksi
Oleh: P. Charles Beraf SVD*
ANDRE. Dia Andreas Wuring Anis. Anak dari pasangan Andreas Asan Beleker dan Yohana Beleker, sejoli yang sudah sejak lama melanglang di tanah jiran, Malaysia. Belum sebulan ayah Andre datang dari Malaysia dan seminggu kemudian disusul ibunya ke kampung Lamagute, Ileape, Lembata.
Mereka datang untuk Andre dan adik bungsu Andre, Fitriani Beleker, yang sedang mengayuh masa depan di tanah baja Lembata. Andre di SMK Ile Lewotolok, sedangkan Fitri si bungsu di SMATER Lewoleba.
Andre dan Fitri dilahirkan di Malaysia, dan kemudian melanjutkan pendidikan di Lembata, sedangkan kedua orang tuanya tetap memilih mendulang nasib di Malaysia demi Andre dan Fitri, dan sekali kali datang, pun untuk Andre dan Fitri.
Bisa dibayangkan betapa bahagianya Andre, pun Fitri ketika ayah dan ibu mereka datang tepat menjelang perayaan Paskah, tepat ketika liburan Paskah. " Bapa dan mama datang sebulan lalu dan mengajak kami untuk Paskah di kampung, tapi saya tidak mau. Saya mau Paskah di Lewoleba. Ade Fitri yang ikut bapa dan mama", kisah Andre terbata-bata.
Dan siapa bisa sangka, justru di hari Paskah itulah, bapa, mama dan si bungsu Fitri disapu pergi oleh SEROJA." Saya luput karena saya ada di Lewoleba." Tapi kesedihan tak bisa disembunyikan di wajah Andre. Dia seolah turut disapu. Masa depannya seolah juga pergi bersama SEROJA.
Di rumah Pak Karolus Keluli, di Lamahora, Lewoleba, Andre berkisah - entah hingga pada tepian mana kisah itu berakhir. Seperti laut tanpa tepian. Seperti cinta tanpa kekasih, seperti sepucuk surat tanpa balasan. Dia menitikkan air mata, menunduk dan hanya sekali mengangkat ketika hendak berkisah. Keluhnya seperti sayuran pahit. Kisahnya serupa duri yang terlanjur tenggelam jauh dalam daging.
Andre barangkali kesal, mengapa luka ini justru datang di tengah perjumpaan yang amat pendek. "Bapa dan mama datang mau rayakan ulang tahun saya juga. 27 April", tuturnya perih. Tapi entah mengapa Andre akhirnya harus sendiri ketika ultahnya yang ke-18. Ultah tanpa para kekasih, ya mereka yang tak rutin datang, namun pergi begitu cepat - serupa cinta monyet, yang panas cuma sebentar lalu dingin.
Tapi bapa dan mama, juga Fitri si bungsu lebih dari perkara panas menjadi dingin. Mereka sudah menjadi kedinginan itu sendiri, ya serupa bubur tak bisa berubah lagi jadi nasi. "Mau bagaimana lagi", gumamnya.
Andre tentu kalah di hadapan kenyataan getir ini. Tapi Andre belum menyerah. "Saya mau terus sekolah", tegasnya. Komitmennya serupa mutiara indah dari lumpur Seroja. Tapi kemilaunya tak segampang dilihat, tak semudah dibayangkan. Andre harus sekolah tanpa sandaran? Harus merajut hidup tanpa bahu kekasih? Tanpa Fitri si bungsu? Tanpa bapa dan mama?
Dapatkah Andre sendiri membawa negeri Jiran, tempat kekasihnya mendulang nasib itu ke Lembata? Andre terdiam. Hingga matahari beranjak pergi, Andre masih terdiam.
Entahkah esok matahari kembali lagi ke sini? Entahkah Andre masih tetap terdiam esok nanti? Tuhan dan Andre tentulah yang paling tahu. (*)
*Charles beraf SVD, Pastor Paroki Roh Kudus Detukeli, Ende-Flores. Peneliti Detukeli Research Center.
13 hari yang lalu