Argentina
Selasa, 06 Juli 2021 13:14 WIB
Penulis:Redaksi
PADA seri ke enam, narasi mengenai Padre Amans Laka SVD terfokus pada kecerdasan spiritual, emosional, intelektual dan sosial. Kali ini kita coba menyimak perihal kecerdasan kultural, satu dimensi lain dari kepribadiannya yang tampak sangat memengaruhi hidup dan karya pelayanannya, selama di tanah misi Argentina dan sekarang di Kuba.
Menurut para ahli, kecerdasan kulutral adalah kemampuan seseorang untuk memahami siuasi dan elemen budaya yang beragam.
Pada satu sisi, kecerdasan kultural juga terkait dengan, pada satu sisi kesadaran akan pengaruh sistem budaya sendiri terhadap pola pikir dan perilaku diri sendiri. Namun, pada sisi lain, kemampuan untuk melihat melalui selubung budaya sendiri untuk memahami dan menghargai keunikan budaya lain. Bahkan, kecerdasan kultural memungkikan munculnya kesediaan dalam diri seseorang untuk melihat budaya dengan mata warga masyarakat lokal atau negara tuan rumah.
Dengan begitu, kecerdasan kultural meliputi daya atau kekuatan sekaligus motivasi yang dimiliki seseorang untuk mengakomodasi perbedaan budaya dan mengembangkan perilaku yang sesuai dengan kerangka berpikir dan cara hidup warga masyarakat lokal.
Thomas Stalter, profesor Intercultural Studies di Grace College, Indiana, di Western Seminary, Portland, Oregon dan Dallas Theological Seminary, Dallas, Texas selama lebih dari 20 tahun pernah mengatakan bahwa kecerdasan budaya dapat diterapkan untuk membantu misionaris melakukan misi yang lebih baik dan berhasil dalam situasi lintas budaya masa kini.
Dan, memang seperti itulah yang dilakoni Padre Amans. Makanya, tak mengherankan apabila umat di Pouerto Esperanza dan La Havana Kuba menerima kehadiran dirinya dengan penuh antusias.
Kecerdasan kultural juga membuat Padre Amans bisa bekolaborasi dengan umat dari berbagai lapisan sosial yang berbeda, mulai dari orang miskin atau yang terpinggirkan, para guru, dokter, hingga para pelaku bisnis; baik penduduk asli maupun warga pendatang; mulai dari anak-anak dan kaum muda hingga para orang tua dan para pensiunan.
“Padre Amans itu dekat dengan umat dengan kondisi sosial dan latar belakang budaya beragam. Ia dekat dengan keluarga petani sederhana. Ia akrab dan mau melibatkan kaum muda dalam katekese, Ia bekerja sama dengan para professional seperti para guru, dokter dan insyiur. Namun ia juga bisa berkolaborasi dengan para pengusaha dan pejabat pemerintah, baik pejabat pemerintah di tempat dia melayani, maupun pejabat kedutaan besar yang mewakili pemerintah Republik Indonesia,” begitu ungkap seorang misionaris yang enggan disebut namanya, melalui aplikasi WhatsApp, Juma t(2/7) pagi.
Tak hanya dengan orang-orang di luar komunitas serikatinya, SVD. Kecerdasan kultural Padre Amans terpantul nyata dalam relasi dan interaksi yang luwes lagi ramah dengan para sama-suadaranya se-SVD, meski masing-masing mereka datang dari latarbelakang sosial- budaya dan kebangsaan yang berbeda.
Buktinya, ketika membangun sekolah EFA, Padre Josef Marx SVD yang berkebangsaan Jerman sangat antusias berkolaborasi dengan Padre Amans. Mereka bergotong- royong membangun sekolah EFA, sehingga dalam tempo hanya empat bulan, bangunan sekolah sudah siap beroperasi. Begitu juga dengan sesama saudara SVD berkebangsaan Argentina sendiri, atau yang berkebangsaan lainnya. Padre Amans bisa bergaul dan bekerja sama dengan mereka semua.
“Sebagai manusia biasa, saya menyadari bahwa saya punya banyak kelemahan dan kesalahan. Barangkali ada sama saudara SVD yang merasa kurang senang. Oleh karena itu saya memang perlu minta maaf secara terbuka. Namun, dari hati yang tulus saya selalu berusaha untuk menerima sama saudara se-SVD, terutama di tempat saya bermisi. Saya menganggap mereka sebagai saudara sendiri. Sebab begitulah spiritualitas persaudaraan dalam SVD,” ungkapnya.
Kecerdasan kultural Padre Amans juga kelihatan dalam relasi dan kerjasamanya dengan para imam diosesan dan uskup selaku pimpinan gereja lokal. Bahkan, Padre Amans sangat dekat dengan uskupnya, Mgr Joaquin Piña, SJ. Begitu karibnya persahatan di antara keduanya sampai-sampai uskup Diosis Puerto Iguazú itu menganggap dan menyapanya sebagai ‘cucu’ sendiri.
Kecerdasan kultural Padre Amans juga tercermin jelas dalam kerja samanya dengan Kepala Sekolah dan para guru di Sekolah EFA San Arnoldo, Puerto Esperanza. Dalam tayangan youtube ‘AMANS 25 AÑOS VIDEO 2, September 2020 lalu, Kepala Sekolah EFA, San Arnoldo, Eugenio memberi kesaksian begini: “Padre Amans. terimakasih karena Anda telah menjadi bagian dari hidup kami. Anda telah memberik kesempatan untuk kami untuk bekerja di EFA, sekolah yang sangat Anda cintai. Terima kasih atas komitmen Anda untuk para pemuda pedesaan di sekiar Kota Esperanza. Sekarang kami berempat, saya, istri dan anak kami Luz dan Matias selalu mengingat Anda. Terimakasih karena Anda telah mengajari kami untuk mengenal dan mencintai Yesus. Semoga Santa Perawan Maria dan Tuhan Yesus selalu menemani perjalanan Anda.”
Pesan dan kesan yang sangat kuat disampaikan pula oleh Matias dan keluargannya. Dalam video singkat Matias berkata, “Hai Padre Amans, selamat atas 25 tahun Imamat Anda. Saya hanya ingin memberi tahu Anda, bahwa Anda telah meninggalkan tanda yang sangat penting pada saya. Cara Anda memberitakan Firman Tuhan telah menimbulkan perasaan yang penuh sukacia dalam diri saya. Saya harap Anda baik-baik saja. Saya ingin tetap berhubungan dengan Anda dan menjujukkan kepada keluarga saya bahwa itu adalah yang hal terindah yang saya miliki. Putri sulung saya More, Hao, dan Galo yang termuda, serta istri saya Mariela, serta semua orang pernah mengenal Anda, akan selalu mengenangmu.”
Dalam tayangan ‘AMANS 25 AÑOS VIDEO 2 pula, Basida Martinez, wanita setengah baya berucap, ”Saya mengirimkan harapan dan doa terbaik saya untuk 25 Tahun Imamatmu. Kami selalu mengingat Anda atas pekerjaan Anda di komunitas kami. Kami berdoa untuk tugas pelayananmu di tempat yang baru. Kami tahu, tempat baru adalah tempat yang sulit dan penuh tantangan. Suatu tanah misi yang membutuhkan kekuatan dan pengorban. Semoga Tuhan memberikmu kekuatan untuk mengatasi segala rintangan. Salam dari Puerto Esperanza.”
Paula, seorang aktivis gereja pun menyampaikan pesan dan kesan yang tak kalah menarik. Ia berkata, “Senang sekali membuat video ini untuk mengambil bagian dalam perayaan 25 Tahun Imamat Anda. Saya ingin berterima kasih kepada Tuhan yang telah engirim Padre ke komunitas kami. Kita pernah bekerja sama selama 12 tahun, pertama di Caritas, di mana kami menerima banyak dukungan dan dorongan dari Padre sendiri. Kami dilatih untuk meminta dukungan orang lain dengan senyuman, dan dengan seyuman pula membagikan pakaian dan makan bagi orang-orang yang membutuhkannya."
Paula kemudian melanjutkan katanya, "Saya berterima kasih, karena keteladanan Padre Amans juga mempengaruhi putra dan putri saya, sehingga mereka memiliki iman akan Tuhan dan juga memiliki kepedulian yang kuat kepada sesama yang lemah dan berkekurangan.Terima kasih Padre Amans, semoga Tuhan selalu memberkatimu.”
Empat kriteria misionaris yang lintas budaya
Kesan dan pesan sebagaimana dinarasikan di atas seakan menegaskan bahwa Padre Amans telah menggenapi gambaran Anthony Bellagamba tentang empat karakter utama seorang misionaris.
Anthony Bellagamba, seorang misionaris Katolik berkebangsaan Italia dan berkarya di Nairobi, Kenya pernah mendefenisikan empat kriteria misionaris yang lintas budaya sebagai berikut. Pertama, seorang misionaris yang lintas budaya adalah ‘pribadi masa kini’. Yang terpenting bagi dia adalah apa yang ada di depan, bukan apa yang ada di belakang. Yang paling utamaa adalah masa sekarang, bukan masa yang lalu atau pun masa depan.
Kriteria ini tentu saja dipenuhi oleh Padre Amans. Dalam beberapa kali perbincangan dengan media ini Padre Amans selalu mengungkapkan kalau dirinya adalah misionaris yang hidup dan berkarya dalam konteks masa kini.
“Meski cerita ini menyinggung masa lalu saya di Argentina, tak berarti saya mengagungkan masa lalu itu Kak Maxi. Tapi, saya harus mengakui bahwa masa lalu di Puerto Esperanza dan sekitarnya selama 20 ahun, dan sekitar tiga tahun di Timor tetap penting bagi saya. Karena berbagai pengalaman itu, terutama di Argentina, adalah pelajaran sekaligus motivasi bagi karya misi yang sekarang sedang saya jalani di Kuba ini.”
Bellagamba mengatakan, kriteria kedua dari seorang misionaris lintas budaya adalah ‘pribadi yang melampaui’. Artinya, begitu seseorang menjadi misionaris, dia harus melampaui dirinya sendiri; melampaui keluarga, kampung halaman dan budaya asalnya.
Berkenaan dengan hal ini, Padre Amans tak usah diragukan lagi. Melalui cara hidup dan perilakunya, ia menunjukkan kalau dirinya sudah melampaui kemauan pribadinya sendiri. Ia telah memahami dan berempati dengan orang lain di tanah misi Puerto Esperanza dan sekarang di Kuba, dengan segenap tenaga, pikiran, dan talenta yang dimiliknya.
Padre Amans juga telah melampaui budaya asalnya sendiri, budaya Dawan di Timor. Lewat belajar secara otodidak, dia kini sudah sangat fasih dengan Bahasa Spanyol, dan menyelami budaya orang Argentina dan Kuba sebagaimana orang setempat menyelaminya. Ia menghargai masyarakat Argntina dan Kuba yang dilayaninya,, Ia pun bertindak sesuai dengan elemen-elemen dan cara-cara spesifik yang dipakai dalam budaya lokal, baik waktu masih Argentina, maupun sekarang di Kuba.
Kehidupan Padre Amans juga sangat selaras dengan kriteria ketiga seorang misionaris lintas budaya sebagaimana disebutkan Bellagamba. Bahwa seorang misionaris yang lintas budaya adalah ‘harus menjadi pribadi global yang melintasi semua jenis batas budaya, agama, dan bahasa’.
Sudah terbukti, Padre Amans tidak hanya menggunakan ‘bahasa Spanyol’ sebagai ‘jembatan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan umatnya, melainkan dia sendiri menjadi ‘jembatan’ di antara budaya Indonesia dan budaya Argentina, dan sekarang antara budaya Indonesia dan budaya Kuba. Dan, yang tak bisa disangkal dia pun menjadi ‘jembatan’ antara sesama umat, dan antara umat dan Tuhan yang mereka imani.
Kriteria keempat seorang misionaris yang lintas budaya, kata Bellagamba’ adalah ‘menjadi pribadi yang terbuka terhadap kejutan’. Kejutan terjadi karena dunia tidak pernah sama. Budaya tidaklah statis. Nilai-nilai terus berfluktuasi selaras dengan kondisi lingkungan sosial, ajaran gereja dan kesadaran dogmatis yang kontekstual, dan gerak kemajuan peradaban yang melompat-lompat bagai anak kijang yang kegirangan. Namun, Tuhan akan mengejutkan misionaris lintas budaya sepanjang waktu.
“Pengalaman saya memang seperti itu. Saya berusaha untuk selalu terbuka pada hal-hal baru: cara berpikir dan cara kerja baru. Dalam refleksi saya, Sekolah EFA di Puerto Ezperanza adalah salah satu kejutan yang Tuhan bikin buat saya dan bagi masyarakat Puerto Esperanza. Dan, masih ada banyak kejutan-kenjutan lain yang tak perlu saya sebutkan di sini,” ujarnya.
"Nah, kunci utama untuk mengalami kejutan dari Tuhan, adalah iman, memasrahkan segalanya kepada Tuhan, dan melakukan kebaikan bagi orang lain secara tulus hati, walau hal yang dikerjakan sangat sederhana saja, bahkan diremehkan oleh banyak orang” ungkap Padre Amans melengkapi. (*) BERSAMBUNG.
*Ditulis oleh Maxi Ali Perajaka berdasarkan komunikasi tertulis dan lisan melalui aplikasi WhatsApp dengan Padre Amans Laka SVD, di La Havana, Kuba.