Rabu, 31 Maret 2021 08:46 WIB
Penulis:redaksi
Estrella del Mar: Sebuah luskisan Spanyol yang menggambarkan Bunda Maria sebagai ‘Bintang Laut’. Sumber: ebay.es). Gambar bawah memperlihatkan suasana perarakan Bunda Maria di Spanyol dan Portugis abad 15-16 yang mirip dengan suasana perarakan Tuan Ma di Larantuka dewasa ini.
PADA awal abad ke-16, bangsa Spanyol dan Portugis bersama dengan para saudagar dari Cina dan Gujarat dan dari Majapahit -Jawa, sudah hilir mudik di perairan sekitar pulau Flores bagian timur, Solot, Adonara,Lembata hingga Timor. Mereka datang untuk mencari komoditas dagang seperti Cendana, Gaharu, Lini dan Madu Lebah. ‘Tuan Ma’ , menurut penelitian Keuskupan Larantuka atas berbagai sumber tertulis di Portugis dan Belanda diduga adalah patung dari sebuah kapal Spanyol yang karam di Lokea, Flores Timur, sekitar tahun 1510.
Tuan Ma Membuka Jalan bagi ‘Agama Putranya’
Ketika orang Portugis dan para misionaris yang menyertai singgah di Larantuka, raja mengajak mereka mengunjugi korke, tempat pentahtaan sang dewi. Ketika membaca tulisan yang tertera di pondsi pijakan kaki sang dewi, orang Portugis itu menyadari bahwa perempuan itu adalah Bunda Maria. Mereka langsung berlutut dan berdoa. Kepada raja dan warga setempat, orang-orang Portugis itu menjelaskan, bahwa patung itu adalah Patung Santa Maria, ibunda Tuhan Yesus, Juru Selamat dunia. .
Para misionaris Portugis meyakini bahwa Bunda Maria membuka jalan bagi mereka untuk menyebarkan agama putranya yaitu agama Katolik di tanah Lamaholot.
Soal kapan persisnya tahun kedatangan misionaris Portugis di wilayah Flores bagian timur, tak banyak catatan historis. Salah satu saksi sejarah adalah bongkahan beton berusia 500-an tahun yang berserakan di tebing sampai bergelantungan di bibir pantai Desa Lohayong, Solor hingga sekarang ini.
Antropolog Jerman, Pater Paul Arndt SVD (1886-1962), antara lain, menyebutkan benteng Solor didirikan 1555-1603 dibawa kekuasaan raja Portugis Henricus XVII sehingga disebut juga ”Port Henricus”. Di dalam benteng terdapat sebuah katakombe dengan satu unit kamar yang belum bisa dibuka sampai hari ini. Misi Katolik di Flores dan Timor dimulai dari Solor sehingga dalam literatur tua gereja Katolik disebutkan ”Misi Solor”. Sebutan ini diperkuat dengan sejumlah peta tua tentang pulau-pulau di ujung timur Flores, disebut Kepulauan Solor dan Selat Solor. Padahal, Solor jauh lebih kecil dibandingkan dengan Pulau Adonara dan Pulau Lembata.
Soal bongkahan batu-batu itu https://travel.kompas.com (22/10/2012) menulis, “Ini mengisyaratkan ketidakpedulian pemerintah dan masyarakat sekitar terhadap benteng yang dibangun Portugis pada 1555-1603 itu.”
Misi Katolik Portugis di daratan Flores dan sekitarnya berawal dari benteng itu. Benteng itu disebut ”Port Henricus XVII”, merupakan bagian dari ziarah religius ”Semana Santa” di Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.
Uskup Larantuka, Mgr.Fransiskus Kopong Kung mengatakan penyebaran agama Katolik di wilayah itu mendapat kemudahan karena keterkaitan Patung Tuan Ma dengan kekatolikan.
Menurut Mgr. Kopong, setelah raja Larantuka dibaptis menjadi Katolik, anggota keluarga kerajaan mulai masuk Katolik. Dengan sendirinya rakyatnya ikut dan saat itulah mulai berkembang kekatolikan di wilayah ini.
“Jadi, waktu Portugis datang, patung Tuan Ma sudah lebih dulu ada di sini," jelas Uskup Kopong saat diwawancarai BBC News Indonesia beberapa tahun lalu.
Perpaduan Tradisi ‘Barat’ dan Adat ‘Lamaholot’
Lantas, mengapa patung itu bisa datang lebih dulu daripada bangsa Portugis yang kemudian menjadikan Solor, pulau di sebelah timur Larantuka sebagai basis pertahanannya?
Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Keuskupan Larantuka berdasar sumber tertulis dari Portugis dan Belanda. Pda tahun 1510 ada kapal Portugis yang melakukan pelayaran dagang ke timur dan karam di kampung yang disebut sebagai kampung 'Penyu', yang dalam bahasa Larantuka disebut Lokea.
"Selama milenium pertama, ketika agama Kristen menjadi agama resmi Kekaisaran Romawi dan mulai menyebar ke Eropa, sosok Maria biasanya digambarkan sebagai wanita bangsawan yang berpengaruh setara dengan kaisar. Ia digambarkan mengenakan busana kekaisaran berwarna ungu dan dengan hiasan sulaman benang emas. Pada milenium kedua, dimulai pada abad ke-12, kata sejarawan abad pertengahan Miri Rubin dari Queen Mary University of London, gambaran mengenai sosok Maria mengalami perubahan dramatis. Ia mulai dikenal sebagai sosok ibu yang lebih mudah dijangkau, lebih baik, dan lebih lembut. Dia melayani sebagai ibu pengganti para novis yang berusia muda di biara- biara. Maria menjadi sosok yang menyimbolkan “cinta tanpa batas dari seorang ibu,” kata Rubin. Ia semakin dihormati sebagai kaum beriman, ibu gereja. ” Demikian sosok Maria dalam tradisi barat sebagaimana ditulis Maureen Orth dalam nationalgeographic.com edisi Desember 2015.
Dengan latar belakang demikian, dapat dimaklumi bahwa kapal-kapal para saudagar Sanyol, Italia dan Portuis selalu membawa patung Bunda Maria dalam pelayaran mereka mengitari dunia mencari ‘dunia baru’ dan rempah-rempah.
"Kalau kapal dagang Portugis atau Spanyol yang berdagang pada masa itu pada umumnya membawa barang-barang kudus, seperti patung dan banyak sekali barang-barang kudus untuk mereka hadiahkan." ujar Uskup Kopong.
"Kami memperkirakan, kalau kapal karang bisa saja ada patung yang hanyut dari kapal itu dan terdampar di sini dan kami menduga bisa saja itu patung Tuan Ma," lanjutnya.
Sementara merujuk pada kultur masyarakat Lamaholot yang agraris, mereka mempercayai sosok ibu kehidupan yang memberi hidup kepada masyarakat. Karena begitu dekat, kehadiran Tuan Ma atau Bunda Maria tidak asing bagi kehidupan orang Lamaholot sebagai figur baru dalam kultur kehidupan mereka.
"Dan ketika Portugis masuk dengan kekatolikannya, dan kebetulan patung Tuan Ma sudah hadir dan melekat di hati warga lokal, maka penghormatan atau devosi kepada Tuan Ma atau Bunda Maria langung bertumbuh subur. Orang Lamaholot yang secara budaya sangat menghargai dan mencitai seorang ibu, dengan cepat menerima Bunda Maria sebagai ibu baru di dalam kehidupan mereka," ungkap Kopong.
Tahun 1650, Raja Larantuka Ola Adobala dibaptis dengan nama Don Fransisco Ola Adobala Diaz Vieira de Godinho. Secara ritual, ia memprakarsai upacara penyerahan tongkat kerajaan berkepala emas kepada patung Tuan Ma (Bunda Maria Reinha Rosari) sebagai lambang bahwa Larantuka sepenuhnya menjadi kota Reinha (Ratu) dan para raja adalah wakil dan abdi Bunda Maria. Dengan demikian menyiratkan Kerajaan Larantuka sebagai kerajaan Katolik.
Setelah itu putranya, Don Gaspar I, pada 1665 mulai dengan tradisi mengarak patung Tuan Ma keliling Larantuka.
Kemudian, pada 8 September 1886 Raja Don Lorenzo Usineno II DVG, raja ke-10 Larantuka, menobatkan Bunda Maria sebagai Ratu Kerajaan Larantuka. Semenjak itu, Larantuka dijuluku sebagai kota "Reinha Rosari" (Ratu Rosari). (Maxi Ali diramu dari berbagai sumber). Bersambung.