Presiden
Minggu, 20 Agustus 2023 16:58 WIB
Penulis:redaksi
Oleh Dion Pare*
SETELAH pertemuan dengan Prabowo pada 18 Juli 2023 di Kartanegara, dua hari lalu, akhirnya, Budiman Sudjatmiko mendeklarasikan dukungan politiknya.
Bahwa Budiman mendukung Prabowo, itu adalah hak politiknya, dengan segala konsekuensi yang bakal ia terima dari PDI-P yang menaunginya selama ini.
Yang hendak disoroti adalah alasan dukungannya. Ia menegaskan bahwa dukungannya itu bertujuan untuk mempertebal persatuan nasional yang punya komitmen jangka panjang.
Sebagaimana dikutip, Budiman berkata, “Fokus saya adalah bagaimana menyatukan kekuatan nasional dalam persatuan nasional. Kerja sama nasional yang bukan cuma menghadapi pemilu 2024, tetapi saya membayangkan ini adalah sesuatu yang strategis, jangka panjang.”
Persatuan yang dimaksudkan Budiman ini tidak terputus atau mandek setelah perjalanan lima tahun.
“Maunya saya begitu (PDI-P dan Gerindra bersatu) secara konkret bahwa Gerindra bersatu dengan Golkar dan PAN, tambah lebih baik dalam artian persatuannya lebih tebal,’ tambahnya. (Tribun Sumsel, Sabtu, 19 Agustus 2023, 18.01).
Ada masalah dengan pernyataan itu. Bukan soal penebalan persatuan nasional, tetapi cara berpikirnya.
Budiman tampaknya mempertentangkan persatuan nasional dengan proses politik pemilihan umum. Ada apa dengan dirinya?
Ketika pernyataan itu disampaikan dalam suasana menjelang pemilihan umum, pertanyaannya: apakah Budiman berpendapat bahwa pemilihan umum menggerus persatuan nasional?
Tentu saja tidak. Pemilihan umum dan pemilihan presiden adalah metode yang sah, yang diamanatkan oleh UUD untuk memproses kepemimpinan nasional. Ini adalah metodologi yang disepakati untuk memperbarui mandat kepemimpinan.
Jadi, tidak ada masalah dengan metodologi itu.
Metode itu diterima karena kita menganut tata cara demokrasi dengan implikasi bahwa terjadi konstestasi dan kompetisi.
Partai-partai secara lima tahunan berlomba untuk menawarkan diri kepada warga bangsa dan berusaha mendapatkan lagi mandat dari bangsa.
Ketika Budiman mengangkat isu persatuan nasional dan merapatkan dirinya dengan Prabowo, pertanyaannya: apakah Prabowo simbol persatuan nasional?
Rekam jejaknya tidak mendukung klaim itu. Apakah Prabowo memiliki kepemimpinan yang lebih baik? Harus diperdebatkan, kalau bukan sebaliknya.
Dengan isu persatuan nasional, tampak Budiman seorang yang naif secara politik.
Dia tahu, Gerindra dan Prabowo sudah dua kali berkonstestasi dengan PDI-P. Itu sah.
Hari-hari ini, konstestasi itu akan berjalan lagi dan keduanya sudah memilih untuk maju lagi dengan mengusung calonnya sendiri-sendiri.
Ketika pihak-pihak sudah siap dalam konstestasi, Budiman maju dengan tema persatuan nasional dan berniat mempersatukan PDI-P dan Gerindra dalam satu aliansi strategis.
Budiman sepertinya berasal dari planet lain, yang tidak memahami konstestasi politik.
Pertama, konstestasi itu sah.
Kedua, konstestasi itu sudah menyejarah atau pernah berlangsung.
Ketiga, keduanya sudah bersiap diri untuk konstestasi lanjutan.
Keempat, tidak ada alasan yang mendesak bahwa keduanya, PDIP dan Gerindra, harus menjalin aliansi strategis untuk berhadapan dengan satu kepentingan lain yang mengancam persatuan nasional.
Kelima, Budiman bukan pengambil keputusan strategis dalam partai.
Karena itu semua, mempertentangkan konstestasi politik, pada satu pihak, dan persatuan nasional, pada pihak lain, adalah pandangan yang naif.
Saya tidak yakin, Budiman senaif itu. Dia memiliki pengalaman politik yang panjang, yang katanya sudah tiga puluh empat tahun.
Kalau tidak naif, berarti, Budiman punya agenda atau kepentingan sendiri, yang tidak ia ungkapkan.
Kita pun hanya bisa menduga, dan mencurigainya. (*)
*Dion Pare, pemerhati masalah sosial politik, tinggal di Jakarta. ***