pendidikan vokasi
Senin, 06 November 2023 20:28 WIB
Penulis:redaksi
Oleh: Maxi Ali Perajaka
DALAM penyelanggaraan pembangunan kepariwisatan di kawasan Flores, Lembata, Alor, dan Bima (Floratama), BPOLBF sesumbar bahwa pihaknya sangat menekankan dimensi keberlanjutan.
Direktur Utama BPOLBF, Shana Fatina menyampaikan komitmen keberlanjutan itu dalam banyak kesempatan.
Pada Selasa, 23 November 2021 misalnya, BPOLBF bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengadakan Forum Investment Road to KTT G20 dengan tema "Sustainable Tourism and Creative Economy Investment Forum".
Dalam forum yang digelar secara hybrid di Hotel Meruorah Labuan Bajo itu Shana Fatina mengatakan bahwa pertemuan dimaksudkan untuk menjadi potret identifikasi persoalan dan kendala dalam berinvestasi di wilayah Labuan Bajo Flores, serta menemukan solusinya.
Menurut dia investasi kepariwisataan yang dibutuhkan di Floratama adalah investasi yang mampu melestarikan untuk menyejahterakan (Bdk. Floresku.com,24 November, 2021).
Kemudian, saat penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Universitas Nusa Cendana, Rabu, 23 Maret 2022, di ruang rapat Lt. 2 Gedung Rektorat Undana, Kupang misalnya, Shana mengatakan, “Sepanjang perjalanan kami tiga tahun terakhir di Labuan Bajo persoalan tidak hanya membangun secara fisik tetapi juga bagaimana membangun keberlanjutan ekosistem pariwisata dengan orang yang sedikit. Selain itu penting sekali menjalin simpul-simpul ini agar bisa optimal, sehingga kita benar-benar bisa menuntaskan arahan pusat membangun pariwisata Labuan Bajo berkualitas, berkelanjutan, dan berkelas dunia, yang berdampak luas bagi NTT secara keseluruhan". (Bdk.labuanbajoflores.id, 23 Maret 2022).
Sayangnya, setelah ditelusuri, komitmen tersebut sama sekali tak tampak pada rumusan visi, misi BPOLBF, termasuk dalam program dari setiap direktoratnya. (Bdk. labuanbajoflores.id/ boplbf).
Mengacu ke Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, diketahui bahwa salah satu prinsip penting yang terkait dengan dimensi keberlanjutan pembangunan kepariwisataan adalah‘menjunjung tinggi hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal’.
Ironisnya, BPOLBF sering diberitakan media sebagai institusi yang berulangkali tersandung ‘batu masalah’ bernuansa hak asasi manusia, keragaman budaya, dan kearifan lokal.
Contoh, sejak menjelang akhir Maret dan 30 April 2022 media ini memberitakan aksi protes warga Komunitas Adat Rancang Bukan di area Hutan Bosowie Labuan Bajo karena lahan mereka ‘dicaplok’ untuk dijadikan bagian dari kawasan wisata seluas 400 hektar yang diserahkan kepada BPOLBF (Bdk. Floresku.com edisi 26 Maret, 09 April,25 April, 28 April dan 30 April 2022).
Contoh lainnya berkaitan dengan keanekaragaman budaya. Pada 14 Februari 2023 lalu, BPOLBF membuat postingan di akun instagramnya: “Selamat hari Selasa, Valentine bukan budaya kita, budaya kita itu foto di pantai-gunung terus captionnya Healing” (Bdk. Portaldesa.co, 14 Februari 2023 21:41 WIB).
Postingan tersebut segera viral dan menuai kecaman dari warga masyarakat yang merasa tidak nyaman dengan bunyi postingan tersebut.
Saat dikonfirmasi media, Kepala Devisi publik BPO-LBF , Sisilia Lenia Jemana, mengatakan bahwa postingan tersebut merupakan bentuk promosi pariwisata.
Sisilia berdalih bahwa postingan itu dibuat karena Valentine memang bukan budaya Indoensia, karena asal sejarahnya dari luar.
“Ini ‘kan budaya dari Roma kemudian diadaptasi oleh masyarakat dunia. Saya pikir orang Amerika juga tidak harus merayakan valentine kalau memang itu bukan budaya mereka,” katanya. (Bdk. Portaldesa.co, 14 Februari 2023 21:41 WIB).
Tentu saja, dalih seperti ‘ngawur’ sifatnya. Sebab, siapa pun paham bahwa berfoto di pantai-gunung dengan caption ‘Healing’ bukan kebiasaan asli warga pribumi juga.
Sebelumnya, pada tahun 2019 lalu, Shana Fatina melemparkan wacana penerapan wisata halal di Labuan Bajo. Namun, wacana itu urung dilanjutkan karena ditolak oleh masyarakat (Bdk.ku-pang. tribunnews.com,/2021/08/09).
Melalui dua kasus di atas BPOLBF mempertontonkan dirinya sebagai institusi yang kurang peka dengan keragaman tradisi dan budaya masyarakat lokal.
Hal lain yang menarik untuk didiskuiikkan adalah perihal kearifan lokal.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, salah satu prinsip pembangunan pariwisata yang dianjurkan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan adalah menjunjung tinggi kearifan lokal.
Istilah ‘kearifan lokal’ disebut juga pengetahuan pribumi, atau pengetahuan tradisional.
Ahlee, Kittitornkool, Thungwa & Parinyasutinun, dalam artikel ilmiah berjudul, “Bang Kad: A Reflection Of Local Wisdom To Find Wild Honey And Ecological Use Of Resources In Melalauca Forest In The Songkhla Lake Basin” (2014), menyatakan bahwa’ kearifan lokal adalah kumpulan pengetahuan diperoleh dari serangkaian kegiatan masyarakat, misalnya mengamati, menarasikan, menganalisis, menafsirkan, dan mencapai kesimpulan.’
Menurut dia, kearifan lokal adalah hasil pemikiran dan tindakan yang dilakukan oleh orang-orang di suatu daerah demi menjamin kerhamonisan hidup dengan sesama dan alam semesta, dan demi meningkatkan kualitas kehidupan mereka secara berkelanjutan.
Oleh karena itu, kata Ahlee cs, kedudukan kearifan lokal setara dengan pengetahuan populer (pengetahuan modern) yang diperoleh melalui metode penyelidikan ilmiah.
Namun pandangan tersebut dibantah oleh Tinnaluck. Tinnaluck (2004) menyatakan, ada perbedaan nyata di antara kearifan lokal dan pengetahuan populer, yaitu dalam hal penyampainnya.
Menurut dia, kearifan lokal disampaikan secara lisan disampaikan, tanpa lembaga formal, sedangkan pengetahuan populer disampaikan secara empiris, dan memerlukan institusi formal.
Terlepas dari diskusi di atas, sejatinya kearifan lokal mencerminkan konsep, nilai-nilai budaya serta pengetahuan dan pengalaman, yang menjadi identitas suatu kelompok masyarakat yang digunakan oleh masyarakat itu sendiri dalam berinteraksi dengan manusia dan alam semesta (Bdk. Mitchell et al., 2003).
Kearifan lokal tampak dalam dua wujud. Pertama, kearifan lokal berbentuk nyata (tangible) seperti warisan tekstual (kalender, nilai, tata cara), arsitektur bangunan, dan karya seni (seni ukiran, seni tenun dan anyam-anyaman, instrumen gong-gendang, seni tari), dan olahraga tradisional seperti permainan Caci dan Etu.
Kedua, kearifan lokal yang tidak nyata (intangible) berupa nilai-nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Semua itu diwariskan dari generasi ke generasi melalui legenda dan dongeng, petuah, doa, syair adat, nyanyian tradisional dan bentuk penuturan lisan lainnya.
Kearifan lokal memiliki beberapa ciri di antaranya: Sanggup bertahan di tengah arus zaman, tak terkecuali di tengah arus globalisasi; Mampu menyaring dan menyerap unsur-unsur budaya luar ke dalam budaya asli; dan mampu menjadi insight dan menawarkan nilai-nilai bagi masyarakat untuk ikut membangun kebudayaan nasional dan global yang semakin bermartabat.
Kearifan lokal pun berfungsi sebagai pelestarian tradisi dan nilai-nilai unggul yang dapat menunjang kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. (Bdk.Permana, dkk., 2011).(BERSAMBUNG). ***
2 bulan yang lalu