SOROTAN: Pembuangan dan Pengelolaan Sampah B3 RS TC Hillers Diduga langgar Pidana Lingkungan Hidup

Sabtu, 11 Januari 2025 13:04 WIB

Penulis:redaksi

Editor:redaksi

asap hitam rs tc hiller.jpg
Kepulan asap hitam dari cerobong asap mesin pembakar limbah B3 di RS TC Hillers Maumere. (Silvia)

Oleh Marianus Gaharpung*

Ada dugaan banyak persoalan yang terjadi di RS TC Hillers. Persoalan yang terus dipersoalkan warga sekitar rumah sakit Pemkab Sikka ini pembuangan dan pengelolaan sampah B3 yang tempatnya sangat dekat dengan pemukiman warga. 

Seharusnya direktur rumah sakit sangat paham apa akibat dari sampah B3 ketika dikelola secara tidak benar. Direktur juga sangat paham dampak dari sampah B3 terhadap lingkungan dan terutama warga disekitar tempat pembuang dan pengolahan sampah B3.

 Seharusnya direktur diberi kewenangan  kerjasama dengan pihak ketiga dalam pengelolaan sampah B3 yang berlisensi dan profesional. Daripada rumah sakit kelola sendiri tetapi dampak bagi warga sekitarnya pada akhirnya bermasalah dengan kesehatan karena setiap kali pembakaran sampah B3 harus menghirup racun. 

Jika RS TC Hillers tetap melaksanakan sendiri, maka ada ketentuan yang mengatur kewajiban rumah sakit untuk melakukan pengelolaan terhadap limbah B3 ialah Pasal 3 ayat (1) PP No. 101 Tahun 2014, bahwa “Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3 wajib melakukan Pengelolaan Limbah B3 yang dihasilkannya.”

 Adapun Pasal 1 angka 34 mengatur bahwa “setiap orang” adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. Dalam hal ini RS TC. Hillers Pemkab Sikka kategori “setiap orang” yang diatur pada ketentuan Pasal 3 ayat (1) PP No. 101 Tahun 2014.

 Dengan demikian maka rumah sakit yang menghasilkan limbah B3 memiliki kewajiban untuk mengelolanya sesuai ketentuan yang berlaku. Pertanyaannya, apakah keluar asap putih dan hitam saat pembakaran limbah B3 adalah sesuatu yang benar atau salah?

 Rasanya direktur tahu bahwa itu salah merusak lingkungan dan terutama warga sekitarnya. Jika rumah sakit tidak mampu serahkan saja kepada pihak ketiga yang profesional.

Pengelolaan limbah B3 kepada pihak ketiga melalui mekanisme tertentu, termasuk melalui tender.  Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 32 ayat (1) PP No. 101 Tahun 2014 yang mengatur bahwa jika pihak penghasil limbah seperti rumah sakit tidak mampu mengelola limbah B3 sendiri, maka pengelolaan tersebut dapat diserahkan kepada pihak lain yang memiliki izin sebagai Pengumpul, Pemanfaatan, Pengolah, dan / atau Penimbun limbah B3. 

Kendati demikian ada beberapa persyaratan yang perlu diperhatikan yaitu pertama, pihak ketiga harus memiliki izin pengelolaan limbah B3 sesuai dengan kegiatan yang akan dilakukan (pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan, atau penimbunan) sebagaimana diatur dalam Pasal 33.

 Kedua, penyerahan limbah B3 kepada pihak ketiga harus disertai bukti penyerahan limbah B3 dan salinannya harus dilaporkan kepada menteri, gubernur, atau bupati / walikota sesuai kewenangan hal ini diatur dalam Pasal 32 ayat (2) dan (3) PP No. 101 Tahun 2014.

 Dengan demikian, maka pengelolaan limbah B3 melalui pihak ketiga yang memenuhi izin resmi dan sesuai ketentuan yang berlaku adalah diperbolehkan, termasuk apabila dilakukan melalui proses tender untuk memilih penyedia jasanya.

Apalagi direktur Rumah Sakit TC. Hillers tahu adanya keterbatasan peralatan dalam pengelolaan dan pembakaran sampah B3 terbukti asap putih dan hitam saat pembakaran. Hal ini dari aspek lingkungan ada sanksi pidana dari aspek lingkungan manakala terdapat RS yang mengelola limbah B3 tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 

Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 103 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang mengatur bahwa, “Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).” 

Selain itu, apabila tindakan tersebut menyebabkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Rumah sakit dapat dipidana apabila mengelola limbah dengan cara yang tidak tepat dan menyebabkan kerusakan lingkungan. Hal ini dikarenakan korporasi merupakan badan usaha sehingga dapat termasuk dalam kategori "setiap orang" yang bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan yang mencemarkan atau merusak lingkungan hidup.

 Hal ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 116 ayat (1) UU Lingkungan Hidup:
“Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a. badan usaha; dan/atau
b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

 Atas dasar ketentuan norma tersebut, maka direktur rumah sakit diduga dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum pidana dari aspek lingkungan hidup. 

Untuk itu, warga sekitar yang selama ini diduga mengalami kerugian dari proses pengolahan sampah B3 rumah sakit memiliki legal standing untuk segera mengajukan pengaduan masyarakat (dumas) agar dengan proses pro yustisia oleh Polres Sikka ada efek jera dari pihak rumah sakit.

 Itu hak warga atas penghidupan yang layak dari aspek lingkungan hidup.

*Penulis adalah, dosen FH Ubaya Surabaya. ***