pariwisata
Jumat, 12 September 2025 08:48 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
Oleh: Maxi Ali Perajaka*
TOUR de Entete (TdET) 2025 dengan 10 etape, sedang berlangsung. Tour ini terasa unik karena melintasi tiga pulau indah: Timor, Sumba, Flores; lebih dari 1.500 km hanya dalam 10 hari.
Tercatat, ini adalah pagelaran tour balap sepeda berskala internasional ketiga di bumi Flobamora, setelah Tour de Flores 2016 dan 2017.
Setiap kali ajang balap sepeda internasional digelar di NTT, wajah provinsi ini seakan mendapat sorotan yang berbeda.
Begitu pula dengan TdET 2025, yang pada etape kedua, Kamis (11/9) kemarin, menampilkan lintasan penuh tantangan dari Kefamenanu hingga Atambua, melewati kawasan perbatasan Wini sampai Motaain.
Publik pun bersorak, pemerintah daerah bangga, dan media ramai memberitakan NTT sebagai “beranda terdepan NKRI”.
Namun, pertanyaan mendasar perlu diajukan: sejauh mana ajang olahraga semacam ini benar-benar berdampak pada pariwisata NTT secara berkelanjutan?
Tour de Entete jelas memberi euforia instan. Ribuan warga berjejer di pinggir jalan, menyaksikan atlet dunia melintas dengan kecepatan tinggi.
Jalan-jalan diperbaiki, trotoar dirapikan, taman kota dipercantik. NTT tampak cantik di layar televisi nasional maupun kanal digital. Ajang ini, di permukaan, mengirimkan pesan bahwa NTT siap membuka diri bagi wisatawan mancanegara.
Namun, euforia semacam ini seringkali berumur pendek. Begitu ajang selesai, sorotan kamera bergeser, dan publik nasional kembali sibuk dengan isu-isu politik atau olahraga lain.
Pertanyaan krusialnya: apakah wisatawan benar-benar datang ke NTT setelah menonton Tour de Entete? Apakah hotel, restoran, atau destinasi wisata diuntungkan dari keramaian itu?
Di sinilah masalah struktural pariwisata NTT kembali terungkap. Infrastruktur transportasi yang masih terbatas, bandara kecil dengan konektivitas minim, serta akses jalan ke destinasi wisata yang sering rusak parah, menjadi hambatan klasik.
Bagaimana mungkin wisatawan yang terkesan oleh siaran TdET bisa dengan mudah berkunjung kembali, jika tiket pesawat mahal dan akses jalan ke lokasi wisata berjam-jam dalam kondisi berlubang?
Lebih jauh, fasilitas dasar wisata seperti hotel dengan standar internasional, rumah makan higienis, pemandu profesional, hingga layanan digital untuk pemesanan masih terbatas.
Banyak desa wisata atau kawasan potensial hanya menjadi penonton dalam ajang TdET, tanpa pernah disentuh oleh multiplier effect pariwisata.
Tour de Entete memang mengangkat citra NTT, tetapi branding semacam ini sering terjebak pada event-oriented marketing.
Pemerintah daerah bangga menampilkan jalan mulus dan pemandangan eksotis selama ajang berlangsung, tetapi lupa menyiapkan narasi pariwisata yang konsisten.
NTT memiliki modal besar: pantai kelas dunia, situs budaya, kampung adat, hingga keunikan kuliner lokal. Namun, potensi itu tidak terintegrasi dalam event olahraga.
Wisatawan hanya “melihat sepintas” melalui kamera drone, tanpa diarahkan pada paket-paket wisata yang konkret.
Padahal, olahraga dan pariwisata bisa dipadukan secara strategis, seperti yang dilakukan Tour de France di Eropa: setiap etape tidak hanya memperlihatkan balapan, tetapi juga menjual desa, kota, kebun anggur, dan warisan budaya lokal.
Satu aspek kritis lainnya: siapa sebenarnya yang diuntungkan? Dalam praktiknya, banyak kontraktor proyek jalan dan vendor nasional yang meraup untung dari ajang semacam ini.
Sementara masyarakat lokal hanya kebagian jualan minuman di pinggir jalan atau menyewakan lahan parkir.
Jika pemerintah daerah tidak menyiapkan strategi keterlibatan UMKM secara sistematis, maka event besar hanya akan menjadi tontonan, bukan sumber penghidupan.
Seharusnya, TdET bisa menjadi ajang mempromosikan kopi lokal, kain tenun, hingga kerajinan khas NTT. Namun, integrasi itu masih lemah, bahkan sering absen.
Kita juga perlu mengkritisi dimensi politik simbolik dari TdET. Pemerintah kerap menjadikan event ini sebagai pencitraan: menunjukkan bahwa mereka peduli infrastruktur, olahraga, dan pariwisata. Tetapi, tanpa strategi pasca-event, semua itu hanya berhenti pada seremonial.
Politik simbolik ini juga membuat anggaran publik tersedot untuk biaya penyelenggaraan, keamanan, dan promosi, sementara kebutuhan mendesak masyarakat—air bersih, pendidikan, kesehatan—masih jauh dari memadai. Bagi sebagian warga, TdET hanyalah “kemewahan yang dipaksakan”.
Bukan berarti Tour de Entete harus ditolak. Sebaliknya, event ini bisa menjadi pintu masuk pariwisata NTT jika dikelola dengan visi jangka panjang.
Beberapa langkah kritis perlu dilakukan seperti:
Pertama, Integrasi event dengan destinasi wisata: setiap etape harus dipadukan dengan promosi paket wisata, kunjungan budaya, dan festival lokal.
Kedua, Keterlibatan UMKM dan desa wisata: produk lokal harus diberi ruang resmi dalam ekosistem TdET, bukan sekadar pelengkap.
Ketiga, Perbaikan infrastruktur permanen, bukan tambal sulam: jalan, bandara, dan fasilitas publik harus dibangun untuk kebutuhan jangka panjang, bukan sekadar “make-up” event.
Keempat, Digitalisasi promosi: pemerintah dan swasta perlu menyiapkan platform digital agar wisatawan yang tertarik bisa langsung memesan paket wisata setelah menonton TdET.
Kelima, Monitoring dampak ekonomi: harus ada riset independen untuk menilai berapa besar efek langsung dan tidak langsung TdET bagi ekonomi lokal.
Tour de Entete memberi panggung bagi NTT di mata nasional dan internasional. Tetapi euforia balap sepeda tidak boleh menutupi kenyataan pahit: pariwisata NTT masih berjalan pincang.
Tanpa strategi yang konsisten, TdET hanya akan menjadi festival sesaat, meninggalkan jalan mulus yang cepat kembali rusak, dan ingatan singkat yang tak berujung pada kunjungan wisata.
NTT layak mendapatkan lebih dari sekadar tepuk tangan penonton di pinggir jalan. Yang dibutuhkan adalah pariwisata yang hidup, berkelanjutan, dan benar-benar memberi manfaat bagi rakyatnya. TdET seharusnya bukan akhir dari pesta, melainkan awal dari transformasi serius. *
*Penulis adalah Pemimpin Redaksi Floresku.com; pengajar di Akademi Perhotelan Tunas Indonesia, Tangerang Selatan. ***
sebulan yang lalu