Mabar
Kamis, 10 Februari 2022 10:02 WIB
Penulis:redaksi
JAKARTA (Floresku.com) - Serikat Pemuda NTT Jakarta bersama Persatuan Mahasiswa Basodara (PMB) Pamulang menggelar aksi di depan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rabu 9 Februari 2022.
Informasi tertulis yang diperoleh Floresku. com dari Fersin Waku pada Rabu (9/2) malam menyebutkan, aksi tersebut dilakukan dalam rangka menolak proyek panas bumi (geohtermal) Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, NTT.
Koordinator Lapangan, Yusuf Hendra S. J mengatakan selama ini pemerintah terkesan tidak mendengar suara penolakan warga.
Hal itu, kata dia, terbukti ketika secara sepihak melakukan penandatanganan MoU oleh Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, PT Geo Dipa Energi (Persero), dan PT Sarana Multi Infrastruktur bersama Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat untuk mengembangkan Panas Bumi di Wae Sano.
Menurut Hendra, dalam acara tersebut juga turut ditandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) pengadaan tanah untuk area eksplorasi (pengeboran eksplorasi) pada wilayah terbuka Wae Sano antara PT Geo Dipa Energi (Persero) dengan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat.
"Upaya sepihak Pemerintah dan perusahaan ini menimbulkan banyak pertanyaan penting dari warga selaku pemilik ruang hidup Wae Sano, terkait kepentingan apa dan siapa sesungguhnya yang sedang diperjuangkan di balik upaya paksa pembangunan ini," kata Hendra.
Hendra menegaskan sejak awal warga Wae Sano sudah menyuarakan bahwa titik eskplorasi berada di dalam ruang hidup mereka.
Titik pengobaran yang telah ditetapkan oleh PT Sarana Multi Infrastruktur dan PT Geo Dipa Energi (Persero), berlokasi di Lingko Laja persis dibelakang kampung Nunung, dimana Lingko Laja merupakan warisan leluhur yang dikeramatkan.
"Serta lokasi pengeboran jaraknya ± 60 meter dari kampung Nunang, sehingga aktivitas pengeboran tersebut sangat menganggu kenyamanan dan ketenteraman masyarakat Kampung Nunang yang sudah terbina sejak dulu kala," ujar Hendra.
Sementara itu, ‘Jendral Lapangan’ Deditus Seneng menjelaskan selama ini suara penolakan warga selalu dibantah oleh pemerintah dengan dalih bahwa energi geotermal sebagai energi yang ramah lingkungan, karena itu perlu didukung.
Ia mengatakan pernyataan tersebut sangat asumtif dan tidak berbasis pada fakta serta dengan jelas menunjukkan kemalasan pemerintah untuk mendalami berbagai informasi tentang daya rusak energi geotermal.
"Salah satu contoh kasus yang membantah dalih pemerintah adalah proyek pengembangan geotermal di Kampung Matalako, Kabupaten Ngada NTT yang gagal total juga telah menimbulkan kerusakan yang sangat parah bagi lingkungan sekitar," ucapnya.
"Juga kasus yang terjadi di desa Sibanggor Julu, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Mandailing Natal, Senin, 25 Januari 2021, lima warga-negara mati dan setidaknya puluhan korban lainnya masih menjalani perawatan di rumah-sakit karena semburan gas dari sumur bor proyek ekstraksi panas-bumi PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP)," sambungnya.
Tak hanya itu, ada pun beberapa poin penolakan atas dasar pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
Pertama, soal pengadaan tanah. Ketentuan pengadaan tanah bagi proyek apapun bila bersentuhan dengan lahan adat/ulayat atau kampung masyarakat adat, wajib hukumnya memprioritaskan kepentingan masyarakat adat dan pemangku ulayat.
Kedua, soal kebutuhan energi. “Sudah jadi rahasia umum jika proyek ini bertujuan menyokong kebutuhan energi 'kota premium, Labuan Bajo' yang sejak awal kami tolak. Sebab keindahan tanah kami, bukan hanya milik mereka yang punya uang. Energi besar 'panas Bumi' sedari awal memang tidak diperuntukkan bagi kebutuhan masyarakat sekitar.”
Ketiga, soal ruang hidup dan Ikatan sejarah kampung. Proses pemiskinan dan peminggiran serupa telah banyak terjadi di berbagai tempat di belahan dunia. Semua dimulai dengan Iming-iming "proyek bagi kemajuan". Masyarakat dipaksa pergi, pindah dan terasing dari tempat hidup yg sejak lama memiliki akar sejarah dan ikatan emosional dengan mereka.
Keempat, stop berlindung di balik argumentasi "Ahli/Pakar/Ilmuwan/Pengamat dan atau Tokoh Agama yang berpura-pura tahu". Ketika berserah pada gagasan-gagasan mereka, maka rakyat jelata sudah tertinggal sepuluh langkah. Sudah jadi rahasia umum kalau keberpihakan mereka dan isi kepala mereka sudah milik pemerintah dan pengusaha.
'Berdasakan pandangan di atas, kami mahasiswa dan pemuda yang tergabung dalam Serikat Pemuda NTT dan Perkumpulan Mahasiswa Basodara Pamulang (PMB-Pamulang) menuntut dan mendesak:
8 bulan yang lalu