Valens Daki-Soo: "Karena Tuhan Mencintai Kita, Maka ..."

Kamis, 26 Mei 2022 21:14 WIB

Penulis:redaksi

VALENS.JPG
Valens Daki-Soo (Dokpri)

PERNAHKAH Anda mengalami situasi hidup yang begitu berat sehingga Anda merasa diri manusia paling malang di  bumi ini? 

Pernahkah Anda terbentur pada keadaan yang tidak dikehendaki, sampai Anda mengutuk kehidupan ini sebagai 'neraka' di dunia? 

Pernahkah Anda menyesali suatu pengalaman yang terjadi dan Anda merasa kehilangan segalanya, lalu bikin Anda marah atau protes kepada Tuhan?

Entah apa jawaban Anda, tetapi saya pernah mengalami ujian hidup yang begitu berat, hingga saya tiba di titik kritis: menggugat segala hal yang saya pernah pelajari dan menganggapnya 'sampah tak berguna'. 

Filsafat saya anggap sebagai 'gudang ide' yang diwariskan para filsuf yang tidak pernah membumi, dan pikiran-pikiran mereka pantas 'dikebumikan' saja. 

Teologi saya nilai sebagai pengetahuan yang hanya jadi ajang pencarian "Sesuatu" dan banyak "sesuatu" lainnya yang tidak pernah bisa dimengerti secara tuntas. 

Psikologi bolehlah mengklaim diri sebagai 'jendela' untuk melongok ke dalam diri secara ilmiah-sistematis, namun ketika Anda jatuh, Anda bisa skeptis terhadap psikologi. 

Apalagi beberapa psikolog (dan psikiater) terkemuka dunia, termasuk Sigmund Freud, mengakhiri hidup dengan cara tragis: dalam kesepian, kehampaan dan merasa diri tak bernilai.

Saya sedang bicara tentang "perspektif iman" dalam menyikapi kehidupan. Sering kita begitu rasional, mengandalkan otak, menertawakan 'spiritualitas', menganggap Allah sebagai proyeksi ketakberdayaan manusia. 

Kalangan ateis menilai, manusia beragama karena ketakutan infantil, suatu "kecemasan kanak-kanak" dalam diri setiap manusia yang butuh figur ayah. 

Ada yang berpendapat, bukan Tuhan menciptakan manusia, melainkan manusia-lah yang "menciptakan" Tuhan.

Karena ketakutan dan ketakberdayaan menghadapi misteri hidup dan misteri akbar semesta raya, manusia lalu 'mencari', membayangkan, 'mengadakan' dan menyembah Tuhan agar hidupnya aman, paling kurang bisa mengurangi ketakutan eksistensialnya.

Oke, saya tidak berpretensi membuka debat teologis. Poin saya, sebagai orang beriman, kita punya terlalu banyak alasan untuk meyakini, Allah itu bukan sekadar konsep teologis melainkan "Kehadiran Yang Nyata". 

Allah adalah "The Supreme Being", "Sang Ada Yang Tertinggi" -- yang dengan-Nya hidup kita menjadi berarti, berdasar, bertujuan.

Saya suka 'konsep' dan keyakinan ini: "Allah Pencipta dan Pencinta kehidupan". Dia tidak hanya menciptakan, tetapi mencintai. Dia mencintai maka Dia menciptakan. 

Allah hanya bisa dimengerti dalam terang cinta. Dalam bingkai pemahaman ini, cinta adalah "daya hidup", energi yang menghidupkan, kekuatan aktif yang menggerakkan hidup kita menjadi bernas, bernilai, bermartabat dan berbahagia. 

Kekuatan cinta membuat kita yakin Allah itu tidak hanya ada tetapi kehadiran-Nya aktif dalam hidup kita.

Itu sebabnya, ketika Anda mengalami kepahitan, kesakitan atau derita hidup, biarkan kekuatan cinta Tuhan bergerak membimbing dan mengarahkan Anda ke "posisi lebih tinggi". 

Saat Anda mengalami ujian hidup, ketahuilah, itu peluang bagi Anda membiarkan Tuhan menolong, seringkali dengan cara tak terduga dan amat menakjubkan.

Apapun latar belakang Anda, dari manapun suku bangsa dan agama Anda, saya tidak peduli. Yang saya tahu dan peduli, Tuhan menerima dan mencintai Anda, seperti saya juga. Apa buah dari cinta Ilahi? Ketenangan batin dan kebahagiaan hidup -- apapun kondisi kita.

*Valens Daki-Soo, entrepreneur, politisi, peminat filsafat dan psikologi.