Wapada! Dansa Kizomba Memendam Dampak Buruk Multi Dimensi

Minggu, 01 Desember 2024 19:20 WIB

Penulis:redaksi

Editor:redaksi

DANSA KIZOMBA.jpg
Sejumlah anak muda NTT berdansa Kizomba (Tangkapan Layar Yootube Danio Dance)

Oleh: Maxi Ali Perajaka*

SEBULAN yang lalu, tepatnya tanggal 02 November 2024, melalui kolom media ini, penulis menyoroti aksi nyeleneh sejumlah mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka di Kupang yang ‘mempertunjukkan’ dansa sensual Kizomba di hadapan warga Kampung Ndangakapa, Desa Tenda Ondo Kecamatan Nangapanda, dalam acara perpisahan Program KKN di desa itu.

Sentilan itu disambut positif, setidak-tidaknya terpantau tulisan itu telah memikat lebih dari 11 ribu views. 

Namun, belakangan, unggahan video amatiran tentang Danza Kizomba, bukannya surut, tetapi semakin semarak. 

Dalam berbagai video yang beredar luas di media sosial, kaum muda penikmat Dansa Kizomba di NTT tampak semakin menikmati tarian khas yang muncul di kalangan orang Angola, di kawasan Afrika barat itu. 

[Belakangan ada studi yang membantah hala itu. Studi itu menegaskan bahwa tarian berpasangan itu diperkenalkan oleh kolonial Portugal, sedangkan budaya Angola hanya mengenal jenis tarian yang dimainkan secara terpisah antara penari laki-aki dan perempuan].

Meski belum ada studi khusus, tampaknya seperti masyarakat pribumi Angola, masyarakat NTT juga tidak mengenal tarian berpasangan apalagi dalam posisi sangat rapat. 

Tarian-tarian adat seperti  Tarian Caci dan Danding, Tiba Meka (Manggarai); Tarian  Ja’i (Ngada), Todagu (Nagekeo), Tarian Gawi (ende-Lio), Tarian Leke (Sikka),  Tarian Dolo-dolo, Hedung (Flotim), Tarian Sole Oha (Lembata),  Tarian Cerana (Kupang) Tarian Maekat (Aamanuban, TTS); Tarian Hopong; Tarian Likurai (Belu); Tarian Peminangan (TTU); Tarian Teotona; .Tari Dadokado (Alor), Tarian Ledohawu (Sabu), Tarian Kabalai (Rote Ndao), Tarian Kataga (Sumba), dan masih banyak lagi, tidak dibawakan secara berpasangan dan berhadap-hadapan dalam jarak privasi/personal ( 0,5–1,3 meter) dan jarak intim (0–0,5 meter).

Namun, -entah karena infeoritas yang tebal, orang pribumi (termasuk NTT) cenderung melihat sesuatu yang asing (yang datang dari luar) dan yang global selalu lebih ‘hebat’ ketimbang yang muncul dari masyarakat lokal. 

Maka, jadilah, tarian-tarian tradisional lokal disambut dingin, sebaliknya  Dansa Kizomba disambut secara meriah.

Anehnya, sambutan meria atas Dansa Kizomba yang ‘asing’ itu dilakukan  oleh kaum muda yang umumnya ‘bersekolah’. 

Lazimnya, di NTT kaum ‘bersekolah’ adalah kaum yang secara fisik dipandang atau memandang diri sendiri 'lebih bening' (lebih cantik dan ganteng). 

Secara kompetensi, kaum muda NTT dianggap atau menganggap diri lebih ‘cerdas’, lebih ‘gaul’,  lebih ‘akrab medsos’ atau lebih ‘modern’. 

Secara sosial-budaya, mereka juga diandalkan sebagai  calon pemimpin dan penentu kemajuann. Namun, mereka umumnya diragukan bisa menjadi  pelestari kebudayaan lokal.

Barangkali, karena dipandang sebagai ‘orang yang lebih dalam banyak  hal’, kaum muda NTT juga merasa ‘berhak’  untuk memainkan dan mempertontonkan Dansa Kizomba, memeluk pasangannya rapat-rapat,  ‘merebahkan kepala’ di dada mitra dansanya, bahkan sembari memejamkan mata, di depan banyak orang.

Tokoh masyarakat dan pers bungkam

Menilik pesta Dansa Kizomba yang semakin marak belakangan, muncul kesan sepertinya, kaum muda penikmat Dansa Kizomba di NTT  tidak peduli lagi dengan reaksi masyarakat sekitar. Mereka seakan sudah teguh berprinsip, ‘anjing boleh  menggonggong, kafilah akan terus melintas maju’.

Sikap demikian seakan mendapat angin segar dari masyarakat, terutama karena  tokoh masyarakat, termasuk dari  dunia pendidikan, lembaga agama, dan pers  ‘bungkam’, tidak banyak memberikan sorotan.

Ya, entah mengapa para tokoh dari dunia pendidikan menengah dan tinggi di NTT tidak buka suara, padahal sebagian besar pelaku Dansa Kizomba adalah pelajar dan mahasiswa. 

Anehnnya, para pekerja pers yang punya misi melakukan kontrol sosial, pun tidak bersuara juga.  Barangkali, pers menyadari  bahwa   meliput dan menulis tentang Dansa Kizomba secara kritis,  tidak akan mendatangkan efek finansial.

Reaksi netizen

Beruntung  fungsi kontrol sosial itu diambil alih oleh sebagian netizen. 

Melalui caranya sendiri, meski tampak sederhana saja,  para netizen berekspresi, mengkritisi praktik Dansa Kizomba yang kian mewabah.

Melihat unggahan media sosial perihal aksi para pedansa Kizomba yang  ‘berani’,  para netizen pun beraksi secara beragam. 

Ada yang memberi emoji jempol, love, dan berkomentar dengan nada positif: “Jangan berpikir negatif dulu e, siapa tahu mereka itu benara pacaran atau pasutri. Jadi pantaslah (mereka berpelukan rapat begitu).”

Namun, tak sedikit memberikan reaksi bernuansa sinis dan mengolok-olok melalui emoji orang tertawa terbahak-bahak sembari memiringkan kepala dan berlinang air mata. Atau emoji orang meloncat geli berjingkrak-jingkak. Atau emoji orang mengacungkan ibu jari, bertepuk tangan, atau pun mempersembahkan gambar ‘hati’, simbol love. 

Bahkan, ada yang berkomentar sinis, ‘Ei ade nona sudah pindahkan bantal tidur ke bahu kaka nyong ooo’. Dan, masih banyak komentar bernada sinis lainnya..

Berharap muncul lebih banyak ‘Romo Berek’

Yang menarik, dalam kesemarakan budaya pop Dansa Kizomba,  Romo Agustinus Berek Pr tampil  mengeritik keras Dansa Kizomba. 

Dalam homili saat Misa Syukur 25 Tahun Imamat Rm. Dr. Theodorus Asa Siri, Pr., S. Ag., di Gereja St. Theodorus Weluli 7 Oktober 2024, Romo Agus berulang kali menegaskan bahwa Dansa Kizomba bukan budaya asli masyarakat kita. 
Ini dengar baik-baik. Bapa uskup saya mohon ijin omong tentang ini. Danza Kizomba, ini setan semua. Dia bilang begini, ‘Kaka, mari dorong  ambil be do. Dorong ambi be do! Itu budaya asing, budaya orang Angola Afrika, dikembangkan sejak tahun1970-an, bukan budaya kiita!.  Mereka mbuat di status: ”Tenda 85 blok, Kizomba sampai pagi eiii,” ujar Pastor Agus Berek dengan wajah serius.

Ketika rekaman homili Romo Agus Berek diunggak di media sosial, banyak netizen menyatakan sangat setuju. Mereka mengapresiasi Romo Agus Berek karena  ‘berani’ menyoroti wabah Dansa Kizomba. 

Tentu saja, kita masih menunggu, muncul lebih banyak ‘Romo Berek’ lagi. Kita berhara makin banyak pastor atau pun pendeta mau mengeluarkan suara kenabian mereka, mengeritik Dansa Kizomba.  Memang ada risiko, setelah  menyampaikan  suara kenabian itu, mereka bisa saja dianggap pastor atau pendeta yang kolot.

Kita juga berharap para pendidik di Sekolah Menengah dan Perguruan Tinggi NTT tidak tinggal diam dan menganggap Dansa Kizomba biasa-biasa saja atau tidak berdampak masyarakat, terutama proses pembentukan karakter ratusan ribu remaja dan anak-anak NTT.

Semoga segera turun tangan karena dari waktu ke waktu semakin banyak anak-anak dan remaja NTT ‘berpapasan dengan pertunjukan Dansa Kizoma’ baik secara langsung saat menghadir acara-acara pesta,  atau melalui siaran langsung dan siaran tunda media sosial.

Dansa Kizomba, sebagai budaya pop

Seiring dengan globalisasi budaya Dansa Kizomba hadir di berbagai belahan dunia seperi di Portugal dan Belanda Eropa Barat,  AS-Amerika Utara, Brasil Amerika Selatan, sampai di Asia Tenggara khususnya di Timor Leste dan NTT. 

Oleh karena itu sejumlah referensi menyebut Dansa Kizomba  yang sebelumnya adalah ‘budaya popler’ Angola telah berkembang menjadi salah satu  "budaya pop" global. 

Sekadar informasi, merilis tilisan Ashley Crossman di ThoughtCo. (Juli 2024), istilah "budaya populer" (popular culture) diciptakan pada pertengahan abad ke-19, dan merujuk pada tradisi budaya masyarakat, berbeda dengan "budaya resmi" negara atau kelas penguasa. 

Di Barat modern, ‘budaya pop’ (pop culture) merujuk pada produk budaya seperti musik, seni, sastra, mode, tari, film, budaya siber, televisi, dan radio yang dikonsumsi oleh mayoritas penduduk suatu masyarakat.

Dalam penggunaan umum saat ini, ‘budaya pop’ didefinisikan dalam istilah kualitatif—budaya pop sering dianggap sebagai jenis ekspresi artistik yang lebih dangkal atau kurang menonjol

Dampak buruk yang multi dimensi

Apakah  Dansa Kizomba sebagai budaya pop yang sangat sensual itu tidak menimbulkan efek apa pun, sehingga sebagian besar masyarakat NTT berpura buta dan bisu?

Perlu diketahu budaya pop, termasuk Dansa Kizomba sering menjaidi obyek penelitian sosial di banyak negara.

Sepanjang penelitian, menjadi jelas bahwa, meskipun sering dianggap menghibur dan tidak berbahaya, budaya pop Dansa Kizomba memiliki konsekuensi yang luas dan multi dimensi bagi individu muda dalam masyarakat kontemporer. 

Temuan penelitian  menggarisbawahi perlunya peningkatan kesadaran dan pemahaman tentang dampak buruk budaya pop Dansa Kizomba pada kaum muda.

Salah satu perhatian penting yang disoroti adalah bahwa Dansa Kizomba mempromosi materialisme dan konsumerisme, yang mengarah pada tekanan finansial, ketidakpuasan emosional, dan harga diri yang terdistorsi. 

Distorisi  harga diri (gengsi) dan tekanan finansial bagi peminat Dansa Kizomba sangat riil.

Bisa dibayangkan, demi gengsi, para wanita pelaku Dansa Kizomba selalu mengalami tekanan finansial untuk dapat membeli busana dan asesoris terbaik, komestik dan parfum  merek tertentu,  supaya mitra dansanya tidak berkesan kalau mereka  adalah ‘gadis kampungan’. 

Begitu pula, yang pria. Menjelang pesta Dansa Kizomba mereka pun terdesak ‘merogoh kocek’ untuk membeli celana, baju dan sepatu terbaik, dan tentu saja parfum terbaik pula. 

Dan, bagi kaum pria yang gemar merokok,  mereka pun terdorong untuk membeli  mouth spray guna mengusir  meredam aroma tak sedap dari mulut. Kalau tidak, mereka  bisa dianggap wanita mitra dansanya sebagai lelaki kere.

Bagi mereka yang sudah bekerja, tekanan finansial barangkali tidak seberapa berat. Akan tetapi, bagi yang berstatus pelajar dan mahasiswa, hal itu bisa menjadi persoalan besar. Soalnya, secara keuangan mereka bergantung sepenuhnya pada orangtuan/wali. 

Lebih daripada itu, Dansa Kizomba memiliki sifat budaya pop pada umumnya yaitu menyebarluaskan dan melanggengkan stereotip tentang standar kecantikan yang sempit, menumbuhkan bias gender dan sikap diskriminatif di antara individu muda. 

Lebih jauh, budaya dapat mendorong perilaku berisiko, karena mengagungkan penyalahgunaan zat berbahaya, kekerasan, dan praktik seksual yang bebas dan tidak aman. 

Representasi semacam itu menormalkan perilaku dengan konsekuensi yang merugikan, membahayakan kesejahteraan dan lintasan masa depan kaum muda. 

Selain itu, paparan budaya pop yang terus-menerus dapat mengikis keterampilan berpikir kritis, menghambat pemikiran independen, kreativitas, dan pengembangan perspektif yang menyeluruh, sehingga berpotensi memerosotkan prestasi akademis bagi  kaum yang masih sekolah/kuliah, dan merosotkan konsentrasi kerja bagi kaum muda yang sudah bekerja.
Implikasi dari efek negatif ini signifikan, karena dapat memengaruhi kesejahteraan psikologis dan emosional individu muda, proses sosialisasi mereka, dan hasil kesehatan mereka secara keseluruhan.

Oleh karena itu, sangat penting bagi para pendidik, orang tua, lembaga agama (gereja), pembuat kebijakan, dan produser media untuk mengakui dan mengatasi masalah ini guna menumbuhkan lanskap media yang lebih sehat dan lebih positif bagi generasi muda. 

Beberapa cara pendekatan 

Untuk meredam fenomena Dansa Kizomba dan mengurangi efek negatifnya atas kaum muda NTT, beberapa cara pendekatan  berikut dapat digunakan. 

Pertama, pihak orang tua atau keluarga dapat mengingatkan bahwa anak muda yang menjadi bagian dari keluarganya bahwa  selain berpotensi mengganggu privasi diri, kerlibatan intensif pada Dansa Kizomba bisa menimbulkan persepsi keliru masyarakat tentang citra sang anak itu sendiri.

Kedua, pihak sekolah dan kampus .perguruan tinggi dapat  melakukan pendekatan kepada peserta didiknya yang ketagihan berdansa Kizomba. Selain melakukan bimbingan dan konseling, pihak sekolah/kampus dapat membuka wawasan peserta didiknya mengenai globalisasi, budaya pop berikut segala konsekuensinya, melalui  workshop, seminar atau forum diskusi secara daring, luring  atau pun hybrid.

Peserta diri perlu diingat bahwa kalau mereka terus tenggelam dengan kebiasaan berpesta, dan mengabaikan upayakan meningkatkan kompetensi dirinya,  mereka bakal kalah persaingan di dunia kerja era Revolusi Indusrtri 4.0, yang semakin ketat. 

Ketiga, pihak gereja, bisa membantu kaum muda dengan cara yang bervariasi. Gereja barangkali tidak cukup melakukan katekese atau kotbah dari mimbar, tetapi melibatkan kaum muda sesering mungkin dalam berbagai kegiatan sesuai dengan minat-bakat kaum muda sebagaimana sudah dilakukan selama ini.  

Minat yang tinggi akan Dansa Kizomba  sepertinya isyarat bahwa kaum muda NTT haus perhatian. Mereka butuh pelayanan  kerohanian yang  bervariasi (rekoleksi, retret, ziarek camping rohan) dengan model pendekatan dengan yang sesuai dengan jiwa mereka.

Gereja baragkali perlu lebih banyak  mengadakan, dan sering melibatkan kaum muda dalam,  latihan kepemimpinan, kegiatan sosial, olah raga-rekreasi, dan kegiatan kreatif lainnya.

Keempat, pihak pemerintah juga dapat membuat peraturan misalnya membatasi jam pesta untuk memersempit peluang untuk peserta pesta tidak berdansa Kizomba semalam suntuk.

Barangkali juga pemerintah bekerja sama dengan penyelenggara pesta membuat kriteria pesta: “Yang boleh berdansa Kizomba adalah pasangan yang resmi bertunangan dan pasutri.”  

Kelima,  pers bisa terlibat mengubah orientasi kaum muda dari sekadar berpesta Danza Kzomba ke hal-hal yang kreatif. Misalnya, pers menumbuhkan dialog terbuka antara individu muda dan pengasuh/pendidik mereka. 

 Pers juga dapat  mempromosikan literasi media dan keterampilan berpikir kritis, serta mendorong kaum muda untuk berkreasi menciptakan konten media. 

Selain itu, produser media dan kreator konten media sosial harus bertanggung jawab atas pesan yang mereka sebarkan, memastikan representasi berbagai perspektif, dan mengembangkan narasi inklusif yang memberdayakan kaum muda, bukannya melestarikan stereotip yang merugikan. 

Gerakan kolektif

Berhadapan realitas Dansa Kizomba yang semakin marak, semua elemen masyarakat NTT diajak untuk tidak saling menyalahkan dan mencari ‘kambing hitam’. 

Sebaliknya,  semua pihak  berusaha untuk mengenali dan mengatasi konsekuensi buruk budaya pop Dansa Kizomba terhadap kaum muda.

Semua pihak perlu mengenali latar belakang, situasi sosial dan kepribadian kaum muda, termasuk alasan mengapa mereka terpikat Dansa Kizomba, supaya dapat  menerapkan intervensi dan membri jalan alternatf yang efektif.

Semua pihak juga perlu mengadvokasi para pegiat media sosial agar mereka  lebih seimbang dan konstruktif dalam menyebar luaskan aktivitas kaum muda. 

Sebab, salah satu faktor yang  membuat budaya pop (Dansa Kizomba) menyebar secara tak tekendali adalah unggahan media sosial.

Media sosial seringkali menciptakan persepsi diri yang semu di kalangan pedansa Kizomba. Artinya, ketika kaum muda melihat foto atau video tentang aksi berdansa Kizomba  mereka diekspos melaui media sosial, mereka  merasa sedang berada di jalan menuju ketenaran. 

Berdasarkan persepsi itu, para pedansa Kizomba makin giat berdansa Kizomba, bahkan dengan gaya yang semakin ‘nyeleneh’  sehingga semakin menarik  untuk dijadikan konten dan diunggah lagi oleh media sosial, sehingga menjadi semakin viral lagi.

Terkait ‘mata rantai media sosial', peneliti Polandia Witold Wojdan dkk (2020) menyatakan, kaum muda sangat rentan terhadap tren baru media sosial. 

Mereka menulis , “Kaum muda  sering kali tenggelam dalam dunia maya, melupakan dunia nyata. Hal ini menyebabkan mereka  kesulitan dalam berhubungan dengan keluarga atau teman sebaya dan para pengasuh mereka. Mereka kemudian mencoba untuk mendapatkan popularitas di internet dan media sosial dengan segala cara, berpikir bahwa hanya dengan cara ini mereka akan menjadi orang yang lebih baik.”

Jadi, cara keenam untuk meredam penyebaran budaya pop Dansa Kizomba di NTT adalah  memutuskan mata rantai antara pendansa Kizomba dan pegiat media sosial.

Sebelum mata rantai itu bisa diputuskan, kaum muda NTT akan terus bersansa Kizomba, bahkan dengan aksi yang semakin nyeleneh dan viral. ***

*Penulis adalah pemimpin redaksi Floresku.com. ****