SOROTAN: Saatnya Memikirkan Kembali Penggunaan Media Sosial Kita (Bagian II, Habis)

redaksi - Kamis, 25 Januari 2024 14:52
SOROTAN: Saatnya Memikirkan Kembali Penggunaan Media Sosial Kita (Bagian II, Habis)Ilustrasi: Anak-anak sedang menggunakan gadgetnya untuk mengases media sosial atau game online. (sumber: Linda Stade Education)
Maxi A. P

Oleh: Maxi A. P

Media Sosial Menggerus Nilai-Nilai

SUNGGUH ironis, media sosial pada galibnya diadakan untuk memperkuat dimensi sosial dan jejaring sosial umat manusia. Namun, akses yang berlebihan pada media sosial terbukti ‘membekukan’ aspek sosial-budaya, bahkan ikut mempprakporandakan ‘bangunan’ moral manusia.

Masyarakat pedesaan, seperti halnya Masyarakat Flores pada umumnya tampaknya belum cukup peduli dengah hasil studi terkait dampak negatif media sosial. 

Barangkali karena  survei atau penelitian terkait dampak negatif bermedia sosial, dilakukan secara global. Studi yang dilakukan oleh akademisi/peneliti nasional pun belum menyasar ke realitas sosial yang ada di Flores. 

Jadi, bisa dimaklumi kalau sebagian besar dari warga Flores masih merasa ‘nyaman’,  dan barangkali beranggapan bahwa media sosial belum ‘berisiko’ bagi warga, terutama generasi mudanya.

Namun, dari berbagai kesaksian dan pengamatan sekilas, penulis menduga kuat bahwa media sosial sedang menebarkan efek yang berisiko tinggi di kalangan generasi muda Flores.

Seorang tokoh muda gereja yang berbicara dalam acara Trihari OMK di Paroki Aeramo, Mbay mengungkapkan media sosial menjadi salah satu ‘biang kerok’ dari berbagai kasus criminal dan degragasi moral yang  semakin sering terjadi di masyarakat. 

Menurut dia, terinspirasi oleh video porno dari media sosial, ada pria memotret -maaf- ‘alat kelamin'nya sendiri lalu mengirimkannya kepada wanita idamannya. 

Tayangan seksual di media sosial memicu seorang ayah tiri menghamili anak perempuannya sendiri yang masih di bawah umur. 

Tayangan seksual di media sosial ‘menginspirasi; sejumlah siswa sekolah dasar  membully dan melakukan pelecehan seksual terhadap teman putrinya.

Di banyak komunitas atau kampung, semakin lumrah terdengar ceriteta perihal anak-anak yang terlantar karena orangtuanya terlibat perselingkuhan  dan perceraian yang diawali dengan pertemanan melalui media sosial. 

Media sosial membuat para penggunanya ‘lupa diri’ dan tak bisa membedakan mana hal privasi, mana hal yang bisa dikonsumsi publik; mana urusan keluarga, dan mana urusan masyarakat luas; mana yang sakral, dan mana yang hura-hura. 

Semuanya dimasukkan ke akun media sosial, untuk maksud yang  sulit dimengerti, kecuali supaya ‘orang lain’ melihat, memberi jempol dan membuat komen.

Makanya, tak heran sekarang ini banyak  sekali kakek-nenek tampil di pesta atau acara keluarga, lalu menari berjingkrak-jingkrak bak orang kesurupan lalu ditayangkan di media sosial.

Tak jarang pula media sosial dipakai sebagai media untuk meluapkan emosi. Tak heran, di layar media sosial, kita mudah menemukan seseorang menebarkan kata-kata maki, umpatan dan ancaman dengan alasan yang bervariasi, mulai dari soal menagih utang, melampiaskan rasa cemburu, dan kebencian maupun sekadar berguyon.

Bahkan, belakangan ini, media sosial menjadi ‘ajang debat’ baik soal pandangan/pilihan politik, tak terkecuali soal ajaran agama. 

Dalam  ‘debat agama’, alih-alih para pengguna media sosial  berbagai pengalaman beragama dan memperkuat toleransi, tetapi yang terjadi hustru mereka saling mengolok, melecehkan, bahkan saling menistakan simbol-simbol dari agama yang berbeda.

Satu hal yang perlu untuk disimak adalah soal ‘bahasa’. Bahasa lokal (daerah) pada dasarnya adalah salah satu warisan budaya, suatu kearifan lokal yang perlu dilestarikan. 

Atas pemahaman itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mendorong sekolah-sekolah mengembangkan kurikulum dengan muatan lokal. Salah satu yang disarankan adalah melesetarikan dan mengembangkan bahasa lokal.

Namun, apa yang terjadi? Media sosial begitu kuat mempromosikan ‘bahasa gaul’ atau ‘campuran dari berbagai bahasa’, baik bahasa global (Inggris), bahasa Nasional, maupun Bahasa lokal, dan Bahasa suku dominan seperti bahasa Jawa. 

Makanya, ketika masuk ke halaman media sosial, siapa pun akan sulit mengidentifikasi identitas penuturnya. Media sosial, telah membuat bahasa kehilangan fungsinya sebagai penentu identititas sosial. 

Repotnya, melalui akses yang sangat intens terhadap media sosial, gaya berbahasa gaul atau bahasa media sosial (maya) secara pelan tapi pasti bertumbuh menjadi gaya berbahasa riil di masyarakat. 

Kalau Anda tidak percaya, coba simak percakapan anak-anak dan remaja Flores sekarang. 

Mereka makin jarang menggunakan bahasa/dialek lokal, tapi makin sering menggunakan bahasa gaul yang lazim digunakan di media sosial.

Sebagai perantau yang berada di luar Flores selama 30 tahun, saya sering terperangah mendengar anak-anak dan remaja Flores berbicara. Sebab gaya berbahasa dan kosa kata yang mereka pakai nyaris sama dengan gaya berbahasa dan kosa kata yang dignakan anak-anak dan remaja di ibu kota Jakarta.

Tentu saja, fenomena berbahasa ini menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi para guru di sekolah-sekolah  Flores.Mereka harus merumuskan strategi yang tepat untuk melestarikan dan mengembangkan bahasa lokal.

 Pekerjaan ini tidak mudah memang. Apalagi, karena berbagai alasan, jingga kini sekolah-sekolah di Flores yang memiliki buku pegangan Pelajaran Bahasa Daerah, sebagaimana Buku Pengangan Bahasa Sunda yang berlaku sekolah-sekolah di Provinsi Jawa Barat misalnya.

Repotnya, pada hakekatnya bahasa itu terkoneksi sangat kuat dengan aspek kebudayaan yang lain, seperti aspek pengetahuan, nilai-nilai (modal dan spiritual), kesenian, hukum, dan juga agama. 

Artinya, ketika anak-anak dan remaja sangat terbiasa menuturkan sebuah bahasa gaul yang sifatnya ‘mengambang’, maka mereka akan kesulitan menguasai ilmu pengetahuan yang dibahasakan dalam bahasa Nasional yang formal. 

Anak-anak dan remaja yang terkungkung bahasa  media sosial memiliki kendala untuk memahami sosialisasi nilai-nilai moral dan spiritual serta hukum positif  yang biasanya disampaikan dalam bahasa Nasionak yang formal. 

Mereka juga akan sulit berpartisipasi dalam proses pengembangan kesenian dan penguatan hukum adat yang disampaikan melalui bahasa lokal.

Tangggung jawab orang dewasa dan para orangtua

Barangkali apa yang dikemukakan di atas adalah informasi serius yang datang pada saat yang tidak tepat, karena banyak generasi muda kita sedang  tenggelam dalam media sosial.

Namun,  kenyataan ini memberikan peluang bagi kita sebagai orang tua, guru, petugas gereja, pemuka agama,  penyedia layanan kesehatan, dan banyak pihak lainnya yang sangat berusuan langsung dengan kesehatan fisik dan mental serta masa depan generasi muda.

Langkah awal untuk mengemban tanggung jawab tersebut adalah  memvalidasi banyak kekhawatiran yang telah disuarakan perihal penggunaan melalui media sosial dandampaknya. 

Terkain ini, dalam lebih dari satu dekade terakhir atau lebih,  telah melakukan banyak percakapan dengan orang tua/wali siswa dan mahasiswa, rekan-rekan pendidik  mengenai keprihatinan serius  terhadap anak-anak dan remaja yang menggunakan media sosial dan perangkat digital mereka. 

Banyak dari orang-orang ini juga mengeluhkan perasaan sendirian dan tidak berdaya dalam mengambil keputusan yang mereka yakini sebagai keputusan terbaik karena tren saat ini. 

Namun,  dengan adanya peringatan yang jelas dari berbagai pihak, dan didukung oleh sejumlah besar penelitian ilmiah, kini adalah saat yang tepat bagi semua pihak yang terlibat di kalangan generasi muda untuk berpikir dan berdiskusi secara serius tentang bagaimana caranya memprioritaskan kembali kesehatan dan kesejahteraan generasi muda yang sedang diselimuti ‘mileu’ baru, internet, perangat digital dan media sosial.

Perhatian kita  harus terfokus pada (namun tidak terbatas pada) hal-hal berikut:

  • Membangun dukungan orang tua terhadap remaja pada usia berapa pun dalam menggunakan media sosial dan perangkat komuniasik digital.
  • Mendorong Dinas Pendidikan, Yayasan Persekolahan Umat Katolik, Yayasan Persekolahan Swasta lainnya untuk memedomani sekolah-sekolah untuk membuat kebijakan mengenai penggunaan media sosial dan perangkat, termasuk di ruang kelas dan ruang lainnya.
  • Mengupayakan cara yang aman/sehat, dan menentukan waktu tepat bagi anak-anak dan remaja dalam mengakses internet dan dapat berkomunikasi dengan teman sebayanya tanpa ketergantungan pada media sosial dan gawai digital.

 Selain itu, ini adalah waktu yang tepat bagi kita sebagai warga negara untuk melobi para wakil rakyat dan melakukan advokasi agar pemerintah mengambil tindakan yang jelas guna mendukung semua orang dalam mengambil langkah-langkah sehat untuk melindungi kesejahteraan generasi muda kita terkait penggunaan internet, gawai digital dan media sosial.

Ingat, banyak negara lain telah mengambil langkah-langkah untuk melakukan hal ini, dan kita di Indonesia, secara khusus di Flores,  perlu mengingat bahwa apa pun trennya, tidak ada yang lebih penting daripada kesehatan dan keselamatan generasi muda kita.***

Editor: redaksi

RELATED NEWS