nusantara
Sabtu, 28 Agustus 2021 17:55 WIB
Penulis:redaksi
Editor:Redaksi
MAUMERE (Floresku.com) -Hari Ini, Sabtu, 28 Agustus 2021, saya bersama empat teman jurnalis menyempatkan diri untuk alan-jalan ke arah timur Kabupaten Sikka. Menggunakan mobil Dump Truck kami ber-4 menuju daerah yang belum tersentuh oleh pembangunan sama sekali.
Lokasi yang kami sasar adalah di Desa Wailamung, Kecamatan Talibura. Tepatnya di Dusun Kajowain yang disebut-sebut sebagai Desa Persiapan Wairpaar.
Sepanjang perjalanan kami dapat menghirup udara segar pedesaan, dan menikmati pemandangan alam yang indah. Kami menyaksikan deburan ombak, ketika mobil menyusuri jalan di tepi pantai Wairterang.
Namun, memasuki pertigaan Buhe Soge di Desa Nebe, suasana hati kami berubah sedih. Betapa tidak, di situ mata kami langsung mengarah ke jalan tanah yang benar-benar telah rusak ekstrim.
Jalan yang berlubang membuat mobil Dump Truck oleng ke sana kemari, seperti perahu yang diombang-ombingkan oleh terjangan ombak besar. Tubuh kami pun ikut bergoncang keras. Kami harus memegang bak mobil Dump Truck dengan erat agar tidak terlempar ke luar.
Menurut Google maps, jarak dari Kota Maumere ke Desa Wailamung adalah 54,7 km, dengan waktu tempuh menggunakan mobil, 1 jam dan 17 menit.
Namun, jarak dari pertigaan Buhe Soge ke Dusun Kajowain, sekitar 8km, kami tempuh selama 30 menit. Konon, dengan berjalan kaki akan waktu tempuh akan mencapai 2 sampai 3 jam.
Belum ‘merdeka’
Bangsa Indonesia memang telah 76 tahun hidup dalam alam kemerdekaan. Namun, ternyata masih banyak warga di daerah pedesaan yang belum merasakan nikmatnya kemerdekaan itu. Tak terkecuali warga di Dusun Kajowain, Desa Wailamung, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka.
Mengapa mereka disebut ‘belum merdeka’? Ya, karena desa mereka tampaknya belum tersentuh sama sekali oleh pembangunan yang diprogramkan oleh pemerintah.
Jalan desa masih berupa jalan tanah. Pada musim hujan jalan tanah itu menjadi sangat licin sehingga sulit dilewat. Pada beberapa tempat, jalan tanah itu memotong alur sungai. Apabila terjadi banjir, warga tidak mungkin dapat melintasinya. Jika demikian, maka akses ke tiga desa tetangga akan terputus sama sekali.
Hal tersebut diceritakan sendiri oleh Mama Benedikta Riong (65), salah seorang warga Dusun Kajowain. Mama yang akrab disapa Dikta itu menuturkan kalau untuk bisa keluar dari wilayah dusunya, ia dan warga Dusun Kajowain harus berjalan kaki berjam-jam.
Bukan hanya itu. Dirinya mengeluhkan sepanjang usannya ia belum pernah menikmati energi listrik dan jaringan telekomunikasi.
“Hingga saat ini, setiap malam saya dan anak serta cucu bergantung pada lampu pelita saja. Jadi, jangan omong soal belajar dari rumah dengan kami warga di dusun ini. Mau belajar pakai apa online bagaimana? Listrik tidak ada, jaringan telekomunikasi juga tidak tersedia,” ujarnya.
“Yang terjadi, anak-anak belajar pakai lampu pelita. Selesai belajar, hidung mereka jadi hitam karena jelaga lampu pelita. Kadang-kadang rambut mereka sampai terbakar oleh api dari lampu pelita,” tambahnya.
“Oleh karena itu, anak coba tulis di koran (media online, floresku.com, red), supaya Pak Bupati Sikka bisa mendengarkan keluhan kami.”
“Tolong perhatikan kami, masyarakat yang hidup di desa terpencil ini. Apalagi pada masa pandemi Covid-19, anak-anak kami disuruh harus belajar di rumah, tapi jaringan telekomunikasi tidak tersedia,” ujarnya kepada media ini, Sabtu, 28 Agustus 2021.
Apa yang dikeluhkan oleh Mama Dikta dibenarkan oleh beberapa warga yang lain. Mereka mengatakan, anak-anak mengalami kendala untuk belajar pada malam hari karena harga minyak tanah juga sangat mahal.
Ia juga mengeluhkan kalau harga minyak tanah mencapai Rp 8000 per liter. “Selain harganya mahal, untuk mendapatkan minyak tanah kami harus ke Pasar Talibura dan membayar ojek pergipulang Rp 100 ribu,” ujar Mama Dikta lagi.
Merasa ‘belum merdeka’ alias tidak mendapat ‘kue pembangunan’, sebagian warga Dusun Kajowain mengambil jalan pintas untuk pindah ke desa lain yang ada layanan listriknya. Akibarnya, tidak sedikit warga memutuskan pindah dari dusun ini, sehingga hanya tersisa ratusan kepala keluarga (KK) saja.
Setelah berbincang-bincang dengan beberapa warga setempat, saya dan teman-teman jurnalis pun pamit pulang sambil membawa cerita ‘pahit’ mengenai kehidupan warga Dusun Kajowain yang memang ‘belum merdeka’, walau bangsa Indonesia sudah sejak 76 tahun silam memproklamasikan kemerdekaannya.
Sesungguhnya, cerita itu cukup ironis, sebab Dusun Kajowain, Desa Wailamung adalah wilayah yang subur. Desa ini memiliki jumlah penduduknya sebagian besar bersuku daerah Flores. Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian petani. Hasil pertanian utama di desa ini ialah kopi, cokelat dan lain-lain. (Mardat)