Agar Tidak Gagal Paham Simak Penjelasan Pater Yosef Kusi, SVD tentang Tanah Nangahale dan Patiahu

Selasa, 28 Januari 2025 12:11 WIB

Penulis:redaksi

Editor:redaksi

patiahu.jpg
Patiahu dan Nangahale dari satelit. (Google Maps)

SAYA, (Pater Yosef Kusi SVD, red) adalah mantan ekonom Seminari Tinggi Ledalero selama 8 tahun. Saya sendiri membaca dengan teliti dokumen-okume mengenai sejarah Tanah HGU Nangahale sejak 1926 sampai tahun 2020. 

Saya juga membaca dengan teliti sampai dokumend-dokume terakhir dari Pemda Sikka, Pemda NTT, Badan Pertanahan Nasional, Surat Keputusan dari Kementerian Hukum & HAM RI.

 Saya punya copyan semua dokumen penting ini dari Keuskupan Maumere. 

Dengan adanya sertifikat yang dikeluarkan oleh BPN maka PT. Krisrama (di dalamnya ada Keuskupan Maumere dan Seminari Tinggi Ledalero) diberi hak resmi oleh negara untuk mengelola tanah itu dengan konsekwensi membayar pajak setiap tahun (pajaknya bukan sedikit). 

Masyarakat main serobot saja. Pada tgl 22 Agustus 2014 telah dilaksanakan Diolog antara Bupati Sikka, PT. Krisrama serta masyarakat adat Tana Ai di aula Setda Sikka. 

Tahun-tahun berikutnya saya hadir dalam pertemuan antara Pemda Sikka, Badan Pertanahan, utusan DPR, TNI, Polri, PT Krisrama, di Bapeda. 

Sudah ada kesepakan bersama pertemuan tetapi setelah pulang, masyarakat tetap main serobot. Bersama Pemda, Badan Pertanahan, Kapolres, Kodim, Camat Waigete dan Talibura, para Kepala Desa kami juga melakukan  sosialisasi/dialog dengan masyarakat di Hitohalok (wilayah Patiahu) dan Nangahale. 

  • https://floresku.com/read/sorotan-analisa-yuridis-atas-polemik-tanah-nangahale-di-kabupate-sikka

Mereka sudah berjanji untuk mentaati hasil keputusan bersama tapi sesudah itu mereka tetap pada sikap yang sama. 

Saya juga ikut pertemuan bersama KOMNAS HAM dari Jakarta (di Keuskupan), mereka tidak menemukan pelanggaran HAM oleh PT Krisrama karena mereka sendiri telah melihat lokasi yang diserobot. 

Saya juga aktif memberi pengertian kepada umat ketika saya misa di wilayah Paroki Runut & Watubala. 

Para penyerobot tinggal di wilayah itu tapi kita (Seminari Tinggi Ledalero, red)  yang membayar pajak. 

Bukan hanya itu, mereka juga mengambil buah kelapa untuk dijual. Kami mau masuk pungut kelapa di wilayah, kami yang justru diancam. 

Mereka (masyarakat  yang menyerobot) dengan seenaknya menguasai kelapa-kelapa di wilayah tempat tinggal mereka. Kerugian yang diderita Seminari Tinggi Ledaleo bisa mencapai 300juta/tahun.  

Bahkan mereka menggergaji pohon-pohon kelapa (67 pohon) dan pohon-poh jati besar (42 pohon). Kayu-kayu itu digunakan untuk membangun rumah dan dibisniskan. 

Tindakan ini merugikan Seminari hampir 200 juta.

 Ketika saya melapor ke Polisi  bahwa telah terjadi tindakan pencurian, saya malah dicari untuk dibunuh. 

Puluhan orang, perempuan dan laki-laki membawa parang, panah, kayu mengepung rumah Seminari Ledalero di Patiahu. 

Semua kamar, Kapela bahkan sampai dapur diperiksa utk mencari saya. Saya harus dibunuh. Peristiwa itu begitu mencekam, karyawan/i lari menyelamatkan diri. 

Kami yang bekerja di Patiahu dijaga oleh puluhan tentara  dan polisi selama dua bulan karenan nyawa kami terancam. 

Oleh karena alasan kemanusiaan maka saya diminta menghentikan proses hukum atas orang-orang yang melakukan pencurian dengan kekerasan. 

Apakah kami pelanggar HAM  atau korban? Apakah kami tidak berperikemanusiaan? Apakah PT Krisrama pelanggar HAM yang tidak berperikemanusiaan? Siapa sebenarnya yang dirugikan? 

Kalau cinta kasih dan kebenaran yang saya mengerti begini: “kalau itu haknya orang, ya hak orang.” 

Pihak Keuskupan Maumere sudah mengembalikan 500an hektar(dari 700an hektar) hektar ke pemerintah, Seminari Ledalero sdh kembalikan 200 hektar (dari 300 hektar) ke pemerintah supaya bisa diurus utk kepentingan masyarakat. 

Petugas Badan Pertanahan dalam sosialisasi kepada masyarakat juga menyampaikan bahwa masyarakan akan diatur utk diberi tanah dan dibuatkan sertifikat. 

Saya juga hadir dalam sosialisasi ini kepada masyarakat. Tapi mereka harus tinggalkan wilayah yang sudah diberikan (dengan sertifikat tanah) oleh pemerintah kepada pihak Keuskupan maupun Seminari Tinggi Ledalero. 

Kalau ikut apa yang dikatakan oleh pemerintah, mestinya mereka sudah punya tanah dengan sertifikat.

Tetapi kelihatannya mereka justru mau mengatur pemerintah/negara. Kalau ada pihak-pihak yang asal omong mengenai kasus tanah Nangahale/Patiahu tanpa tahu persis, tanpa data sedikitpun, tanpa ikut terlibat dalam urusan penyelesai tanah Nangahale-Patiahu, sebaiknya diam. 

Jangan membuat berita-berita yang tidak benar untuk menambah persoalan baru. Salam sehat dan sukses selalu. 
P. Yosef Kusi, SVD. (Sumber WAG Ledalero, 1984).