Begini Sikap Politik KPA Terkait Kebijakan dan Dampak Food Estate

Selasa, 15 Oktober 2024 17:28 WIB

Penulis:redaksi

Editor:redaksi

kpa3.jpg
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal, Konsorsium Pembaruan Agraria (Dokpri)

JAKARTA (Floresku.com) - Menyambut  Peringatan Hari Pangan Sedunia Tahun 2024 yang jatuh pada Rabu, 16 Oktober besok,Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) terkait Kebijakan dan Dampak Food Estate yang dilakukan pemerintahan Jokowi Widodo.

Menurut KPA, Merauke  kembali menjadi playing fields para elit, baik elit kekuasaan maupun elit bisnis mengatasnamakan kepentingan ketahanan pangan nasional. Merauke sebagai area bidikan pemerintah untuk lokasi Food Estate (FE) sesungguhnya bukan hal baru. 

Saat proyek kawasan ketahanan pangan dan energi terintegrasi di Merauke (MIFEE) diluncurkan Pemerintahan SBY, proyek ini tidak saja dianggap gagal, tetapi juga mengundang kontroversi dan menimbulkan segudang masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya bagi Masyarakat Papua.

Presiden Jokowi melanjutkan MIFEE dengan kemasan baru Food Estate (Lumbung Panganl), dan areanya diperluas tidak hanya di Papua. Maluku, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Sumatera dan Jawa turut menjadi target FE yang menempatkan korporasi dan tentara sebagai eksekutor proyek di lapangan. 

Tahun depan (2025) dianggarkan 124 triliun untuk program ketahanan pangan. Tercatat pula selama pemerintahan Jokowi sekitar 600 triliun telah digelontorkan untuk program ketahanan pangan dan food estate. Khususnya yang dikelola oleh Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pertanian.

Hasilnya, segudang masalah di lokasi-lokasi food estate sejak perencanaan sampai pelaksanaannya, lalu setiap tahun pemerintah terus “menyanyikan lagu lama” tentang krisis pangan. Impor pangan menjadi bisnis di lingkaran pejabat, pengusaha dan mafia pangan. 

Artinya, Food Estate sejak dikandung badan hingga peluncurannya di tingkap tapak, selalu gagal, kecuali sukses memanen masalah dan menghabiskan anggaran.

Jelang pergantian kekuasaan, Presiden Jokowi dan Prabowo, yang sebentar lagi akan dilantik sebagai presiden oleh DPR, secara bersamaan keduanya seperti berlomba mempercepat lagi proyek Food Estate. 

Merauke dihidupkan kembali sebagai target area FE dengan label proyek strategis nasional (PSN). Sebagai PSN, FE dinyatakan untuk meraih swasembada beras melalui cetak sawah baru, dan memenuhi kebutuhan gula serta bioethanol melalui perkebunan tebu.  

Dari 3,13 juta hektar proyek FE di 21 lokasi dan 11 provinsi, yang menjadi target Pemerintahan Jokowi selama ini, FE Merauke ditargetkan seluas 2,29 juta hektar. 

Target di Merauke ini sama luas dengan monopoli tanah oleh PERHUTANI di seluruh Pulau Jawa, yang telah berhasil merampas tanah, menyebabkan konflik agraria dengan petani, memperparah ketimpangan tanah dan pemiskinan structural di pedesaan di Jawa.  

Lantas apa yang salah dari Food Estate? Ada 4 (empat) bahaya Food Estate yang menjadi “bom waktu” yang siap meledak jika konsep, model dan praktek pertanian skala raksasa berbasis korporasi dan militer ini diteruskan oleh Presiden baru ke depan. 

Apalagi ini menyangkut urusan perut rakyat, urusan masa depan pertanian rakyat dan pertanian rumah tangga yang ingin dipunahkan secara sistemik.

Bahaya pertama, masalah politik pangan nasional. Secara konsep dan praktek Food Estate bertujuan mengganti produsen pangan kita dari tangan petani ke tangan korporasi. Ini berbahaya secara politik pangan, sebab pertanian berbasis korporasi akan menghancurakan sentra-sentra pertanian rakyat, dan selanjutnya pangan kita diserahkan kontrolnya ke tangan pengusaha.

Sebagai perbandingan, Indonesia adalah penghasil CPO terbesar di dunia, dan kita tahu bahwa bisnis sawit selama ini dikuasai dan didominasi korporasi-korporasi raksasa. 

Akibatnya, pemerintah kita sangat dikontrol oleh para pelaku bisnis sawit, sampai tidak bisa mengontrol harga minyak goreng, orientasi pembangunan di sektor perkebunan pun kuat disetir kelompok pemodal, menjadikan jutaan Petani dan Masyarakat Adat vis a vis dengan perusahaan perkebunan.

Bukan mustahil, masalah beras dan gula, masalah pangan kita sama lemahnya dengan kontrol kita pada sawit. Lebih kuat dikontrol pengusaha dan konglomerat, berkelindan dengan kepentingan elit kekuasaan yang menjadikan food estate sebagai “playing fields” mereka untuk mengeruk keuntungan dan akumulasi tanah skala luas.  

Jika politik pangan kapitalistik ini dilanjutkan, food estate hanya akan menjadi flaying fields berbisnis bagi para elit, namun menjadi kawasan “berdarah-darah” (bloody fields) bagi rakyat, utamanya Masyarakat Adat dan Petani di Papua, dan wilayah lainnya lokasi target FE.

Bahaya kedua, masalah perampasan tanah. Papua dan Merauke bukan tanah kosong. Orang-orang Papua adalah pemilik tanah dan hutan adat mereka. Otonomi khusus Papua sekalipun, sudah menyatakan: seluruh tanah Papua adalah wilayah adat Masyarakat Adat Papua. 

Sudah terbukti, FE adalah perampasan tanah Masyarakat Adat Papua yang mengatasnamakan ketahanan pangan nasional. Oleh karena FE beroperasi di atas praktek-praktek perampasan tanah, maka FE tercatat menjadi penyulut konflik agraria dan pelanggaran HAM.  

Patut dicatat, kuda-kuda percepatan di urusan pengadaan tanah jauh-jauh hari sudah diteken. Pasal 123 UU Cipta Kerja telah merevisi Pasal 10 UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan.

Demi Kepentingan Umum. Pertama kalinya Pembangunan kawasan ketahanan pangan yang sarat kepentingan bisnis masuk menjadi kategori kepentingan umum. Konsekuensinya program ketahanan pangan macam food estate, perolehan tanahnya dapat menggunakan mekanisme pengadaan tanah, selain berasal dari tukar-guling kawasan hutan dan deforestasi, termasuk hutan alami seperti di Papua.

Lebih-lebih, Pemerintahan Jokowi telah memberi price-tag pada proyek FE sebagai PSN. Maka sejak perencanaan, penetapan lokasi dan pengadaan tanahnya hingga pelaksanaannya akan dipercepat dengan kekuatan penuh dan disiagakan, dari mulai anggaran, regulasi, birokrat, apparat dan investor. 

Ketika sebuah proyek sudah dikategorikan PSN, kita ketahui bersama bahwa dampak sosial menjadi hal belakangan yang diperhatikan pemerintah, dikalahkan oleh kepentingan pencapaian quick-win PSN.

Akibat dilakukan secara ugal-ugalan, penuh mal-administrasi, kolusi, korupsi dan manipulasi proses di lapangan maka beragam PSN termasuk FE menjadi episentrum konflik agraria di berbagai daerah. Tercatat sampai dengan per Juli 2024, PSN telah menyebabkan 134 ledakan konflik agraria. Tanah terdampak PSN seluas 571 ribu hektar dan masyarakat yang menjadi korban 110 ribu keluarga.

Contoh, Food Estate di Siria-ria, Humbahas-Sumut dan di Pulang Pisau-Kalteng menjadi penyebab konflik agraria, sebab pengadaan tanah untuk FE berasal dari perampasan tanah Masyarakat Adat dan Petani. 

Terbaru, pasca FE Merauke kembali dipercepat dengan karpet merah PSN, Masyarakat Adat Wanam kembali menjadi korban, tanahnya dirampas, berpuluh ribu hutan adatnya dihancurkan, pohon-pohon ditumbangkan. Suara menolak FE bermunculan dari Masyarakat Adat.

Bahaya ketiga, masalah kerusakan lingkungan. Sebagian besar pegadaan tanah untuk FE berasal dari pembukaan hutan dan penebangan kayu secara massif, yang bersifat destruktif terhadap alam dan habitat satwa. 

Setiap pemusnahan hutan alami, wilayah adat, sumber pangan dan perusakan lingkungan, maka yang menjadi korban adalah masyarakat setempat, orang-orang Papua di Merauke. 

Korban terdampak tentu saja bukan Pak Jokowi, Pak Prabowo, bukan Haji Isam, Pak Bahlil, bukan pula kontraktor pemenang tender cetak sawah, sudah pasti bukan juga perusahaan Cina penyedia 2.000 eskavator yang digunakan untuk membabat hutan dan melalukan land clearing di Merauke.

Masyarakat Papua, mayoritas masih sangat bergantung pada tanah dan alamnya. Tanah Papua adalah sumber hidup mereka, budayanya melekat dengan tanah dan hutan. Krisis lingkungan, krisis air, krisis vegetasi satwa khas Papua adalah genosida alam buatan birokrat dan pengusaha yang akan mencelakakan orang Papua, utamanya Masyarakat Adat, Petani, Peladang dan Penggembala.

Bahaya keempat, masalah kegagalan food estate yang terus berulang. Pemerintahan seperti tidak kapok-kapok, terus mengulang formula pembangunan pertanian pangan yang sama, padahal telah terbukti selalu gagal, bahkan menyisakan segudang masalah bagi rakyat di bawah. 

Sebagai legacy buruk, berikut tiga kegagalan food estate dan pertanian berbasis korporasi dan militer dari setiap era kekuasaan:

Gagal pertama, era-Soeharo dengan proyek lahan gambut sejuta hektar (PLG) untuk mencetak sawah-sawah baru (1995). Food Estate ala Soeharto senilai 2,1 triliun ini gagal dengan alasan salah pilih lokasi. 

Padahal ada perilaku korupsi yang tumbuh subur, di tengah banyak pihak sudah mengingatkan sejak awal bahwa proyek ini tidak layak dijalankan, diperingatkan potensi besar masalah sosial dan lingkungan akibat salah lokasi.

 Lahan gambut yang tidak cocok tetap dipaksakan dan disulap menjadi sawah. Proyek ini gagal, lantas siapa yang diuntungkan? Para kontraktor cetak sawah yang juga merupakan bagian dari kroni Soeharto.

Gagal kedua, era-SBY dengan proyek MIFEE di Papua. Proyek ketahanan pangan dan energi terintegrasi ini sukses melakukan deforestasi dan merampas tanah Masyarakat Adat. Suku Malind adalah salah satu komunitas adat yang menjadi korbannya. Tercatat, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan sukses dalam merubah landscape agraria kehutanan besar-besaran, menjadi tanah gundul dan dirusak alamnya setelah pembukaan hutan dan penebangan pohon. Proyek pertanian berbasis korporasi ini menuai kegagalan kembali.

Gagal ketiga, era Jokowi, cetak sawah di lahan gambut dan MIFEE dilanjutkan dengan nama food estate. Diperluas areanya mencakup Papua, Maluku, Kalimantan, Sumatera, NTT dan Jawa dengan target 3,1 juta hektar di 21 lokasi tersebar di 11 provinsi.  

Meskipun telah diingatkan bahwa ini akan menuai kegagalan yang sama, dan model Pembangunan semacam ini bertentangan dengan Konstitusi dan agenda Reforma Agraria, pemerintah tetap tancap gas. 

Food Estate sebagai culture stelsel gaya baru yang bersifat lapar tanah di era Jokowi ini telah sukses dalam hal: 1) pemiskinan dan ploletarisasi petani; 2) perampasan tanah dan konflik agraria; 3) deforestasi dan perusakan lingkungan; dan 4) penjarahan kayu.

Dari seluruh peristiwa kegagalan tersebut, jangan-jangan penyiapan kilat 2,29 juta hektar PSN FE di Merauke di penghujung kekuasaan Jokowi, sama saja untuk mengulang cerita lama. 

Ibarat ada udang di balik batu, bukan hendak membangun sawah, membangun pusat pangan dan mewujudkan kemandirian pangan, melainkan kembali menjarah hutan, mengambil kayu dan melakukan monopoli tanah secara massif oleh swasta, kemudian bussiness as usual pemerintah akan kembali menyatakan bahwa tanah yang tidak cocok sebagai alasan kegagalan, dan ribuan alasan lainnya. (Sandra/SP). ***