Jumat, 18 Februari 2022 08:24 WIB
Penulis:MAR
Editor:MAR
JAKARTA (Floresku.com) – Harga minyak mentah dunia terus melonjak. Di pasar berjangka WTI, harga minyak mentah untuk pengiriman Maret 2022 telah terdongkrak hingga 25,08% dari awal tahun menjadi US$93,66 per barel pada penutupan perdagangan di hari Rabu,16 Februari 2022.
Kenaikan harga minyak mentah ini merupakan kelanjutan dari tren kenaikan harga yang telah terjadi pada komoditas fosil itu selama lebih dari 20 bulan lebih terakhir. Harga minyak mentah dunia pun secara teknikal masih terus konsisten membentuk higher-high dan higher-low dalam pergerakannya.
Pada awal tahun, harga minyak mentah dunia mengalami penguatan yang diakibatkan sejumlah faktor, di antaranya permasalahan pada proses distribusi dan rendahnya produktivitas minyak mentah yang dihasilkan oleh negara-negara produsen minyak mentah yang tergabung dalam organisasi OPEC+.
Hambatan yang terjadi pada proses distribusi hingga rendahnya produktivitas semakin diperparah dengan adanya masalah geopolitik yang memanas antara Rusia dan Ukraina. Apa yang terjadi itu menjadi perhatian dunia mengingat Rusia merupakan salah satu produsen minyak mentah terbesar di dunia dengan rata-rata jumlah produksi hariannya mencapai sekitar 11,2 juta barel.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Noto Negoro mengatakan harga minyak mentah dunia akan tetap tinggi berada pada rentan harga US$90—US$100 per barel sampai dengan akhir tahun 2022.
“Kami melihatnya secara rata-rata sampai dengan akhir 2022 harga akan berada pada rentan US$90—US$100 per barelnya,” ujar Komaidi kepada trenasia.com Kamis, 17 Februari 2022.
Komaidi menyebut persoalan mengenai geopolitk yang terjadi antara Rusia dan Ukraina serta pandemi Covid-19 masih menjadi indikator utama yang akan memengaruhi pergerakan harga minyak mentah dunia selama tahun 2022.
Kondisi tren kenaikan harga pada minyak mentah dunia yang terjadi memberikan dampak yang luar biasa bagi Indonesia. Tingginya harga minyak mentah itu memberatkan kondisi fiskal negara meningat bahwa saat ini Indonesia merupakan net importir pada komoditas itu.
Pengamat ekonomi dan energi Universitas Gajah, Mada Fahmy Radhy, menuturkan meningginya harga minyak dunia saat ini akan memberikan beban fiskal yang lebih berat pada Anggaran Pendapatan dan Pembelanjaan Negara (APBN) .
“Beban bagi APBN akan semakin berat, karena harus mengalokasikan dana dalam jumlah besar untuk memberikan kompensasi kepada Pertamina karena menjual di bawah harga pasar. Jadi, beban fiskalnya akan semakin berat,” jelas Fahmy kepada trenasia.com Kamis, 17 Februari 2022.
Namun, Fahmy menerangkan bisa saja tingginya harga minyak dunia saat ini dimanfaatkan untuk menurunkan beban fiskal melalui penaikan tarif pada sejumlah jenis bahan bakar minyak (BBM), tetapi itu justru akan membebani rakyat yang baru saja terpuruk akibat pandemi Covid-19.
Sementara itu, pada neraca perdagangan barang bulan Januari 2022, ekspor di sektor minyak dan gas (migas) juga mengalami defisit hingga sebesar17,59% secara month-to-month (MTM) menjadi Rp0,90 miliar dibandingkan dengan bulan Desember 2021 sebesar Rp1,09 miliar.
Komaidi menuturkan bahwa sejumlah program yang dilakukan dalam hal hilirisasi di sektor migas seperti pembangunan pabrik DME (dimethyl ether) dan kompor induksi oleh pemerintah untuk melepas masalah ketergantungan impor pada kebutuhan gas dalam negeri menjadi solusi.
Namun, hal itu masih dipertanyakan apakah dapat diandalkan sebagai alternatif dalam waktu dekat untuk meminimalisasi beban fiskal, mengingat program tersebut memerlukan waktu yang tidak singkat dalam pengembangannya di tengah harga minyak mentah dunia yang kini terus melambung. (RIL)
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Farhan Syah pada 18 Feb 2022