Flores Timur
Kamis, 21 Oktober 2021 14:50 WIB
Penulis:redaksi
Editor:Redaksi
HOKENG (Floresku.com) - Hawa udara terasa begitu sejuk meski matahari memancarkan teriknya. Para warga sibuk menikmati hari dengan aktivitasnya masing-masing.
Di antara beragam aktivitas tersebut, tampak beberapa ibu-ibu tengah duduk bersila kaki di bawah atap sebuah bangunan kecil bernama 'Rumah Kalwat' yang terletak di Desa Hokeng Jaya, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur.
Ada banyak pepohonan rindang di sekitarnya. Maklum, lokasi Rumah Kalwat tepat di atas lahan perkebunan PT. Rerolara, sebuah perusahaan milik Keuskupan Larantuka.
Baca juga: Dua Siswi SMPK VIFI lolos KSN 2021 Ke Jenjang Nasional
Lahan tersebut tepat di pinggir jalan Trans Larantuka-Maumere yang dimanfaatkan ibu-ibu sebagai tempat menjajakan aneka buahan segar sejak puluhan tahun silam.
Sebagai sesama penjaja buah, para ibu itu pun membentuk kelompok kecil yang diberi nama ‘Tobo Laran’. ‘Tobo Laran’ adalah ungkapan bahasa daerah Flores Timur yang berarti ‘duduk di pinggir jalan’.
Ketika terhimpun dalam wadah 'Tobo Laran', mereka kemudian merenovasi beberapa bagian bangunan Rumah Kalwat yang mulai lapuk dimakan usia. Hal itu dilakukan melalui secara swadaya dengan dana yang ditabung dari hasil usaha menjual buah-buahan.
Baca juga: SENDAL SERIBU, Rabu, 20 Oktober 2021: 8S: SETIA, SIAP SIAGA SELALU SETIAP SAAT SAMPAI SELAMANYA!
"Kami membentuk kelompok namanya Tobo Laran. Bangunan ini adalah hasil swadaya dari kami sendiri", ujar Theresia Beto Tolok, salah satu penjual buah di Rumah Kalwat.
Kehadiran para ibu di Rumah Kalawal mendapat sambutan hangat dari Pastor di PT. Rerolara. Sang Pastor pun memberi ijin bagi para ibu untuk menjual buah-buhan di atas lahan Misi itu tanpa pungutan apa pun. Mereka hanya diimbau untuk berbagi dengan memberikan derma saat mengikuti perayaan Misa Kudus di gereja.
Aneka buah yang dijajakan para pedagang ‘Tobo Laran’ umumnya adalah hasil kebun dari para petani di Desa Hokeng Jaya dan beberapa desa di sekitarnya. Namun, ada juga buah-buahan yang didatangkan dari luar daerah Hokeng, seperti apel dan jeruk. Buah-buahan segar asli Hokeng jaya dan yang didatangkan dari luar daerah tersebut kemudian ditumpukkan secara apik di ‘etalase dagangan’ di Rumah Kalwat.
Peran Ganda Perempuan
Kaum ibu ‘Tobo Laran’ adalah potret perempuan pedesaan yang memainkan peran ganda di keluarga. Oleh karena kondisi ekonomi keluarganya yang seadanya, bahkan di bawah standar kemiskikan, mereka pun terpaksa mencari solusi alternatif untuk tetap bertahan hidup.
Baca juga: Terkait Kondisi Cuaca Saat Ini, BMKG Mabar Sampaikan Peringatan Dini
Selain melaksanakan urusan rumah tangga sehari-hari, mereka pun rela duduk berjam-jam di Rumah Kalwat, menjajakan buah-buahan guna meraup tambahan pendapatan bagi keluarga.
Makanya, sejak ayam berkokok pada dini hari pagi, mereka sudah harus bangun dari tidur untuk menyiapkan sarapan bagi suami yang hendak berkebun, dan anak-anak yang hendak pergi ke sekolah.
Sekitar pukul 08.00 WITA, ibu-ibu itu sudah meluncur ke Rumah Kalwat, memulai pertarungannya dengan nasib.
Ketika senja tiba dan menyapa jagat semesta, mereka pun bergegas kembali ke rumah masing-masing sembari membawa keranjang buah-buahan dan beberapa lembaran rupiah hasil pertarungan selama sehari penuh.
“Bangun pagi saat ayam berkokok itu sudah jadi kebiasaan saya dan teman-teman. Soalnya, kami harus menyiapkan sarapan bagi anggota keluarga di rumah. Apalagi suami harus siap berkerja dan anak-anak juga harus ke sekolah,” ujar Elisabet Puna Namang, salah satu penjaja buah yang tergolong sepuh.
Baca juga:Cegah Covid-19, Polsek Satarmese Laksanakan Vaksinasi Tahap I di Dua Kecamatan
Menjajakan buah-buahan memang terkesan mudah. Tapi, sesungguhnya tantangan dan masalahnya juga banyak. Buah-buahan itu harus dengan dirawat dengan teliti karena sangat mudah rusak dan membusuk. Sebab, kalau buah-buahan tampak tidak segar, pembeli enggan melirik, apalagi membelinya.
Jadi, berdagang buah-buahan ibarat mengadu nasib. Kalau nasib lagi beruntung, banyak yang datang membeli, maka akan ada penghasilan. Kalau begitu, maka mereka bisa kembali ke tengah keluarga dengan wajah tersenyum.
Namun, sebaliknya, kalau nasib kurang beruntung, tak ada pembeli yang datang, maka para itu ibu akan kembali ke rumah dengan wajah kusam dan perasaan hati yang galau. Kalau demikian, mereka hanya berdoa dalam hati, semoga esok hari Tuhan masih berkenan memberikan rejeki.
“Berdagang buah-buahan itu seperti mengadu nasib. Kalau nasib baik, ada pembeli, maka kami mendapat sedikit uang. Tapi, kalau nasib jelek, tak ada pembeli, maka otomatis kami merugi banyak,” tutur Elisabeth Puna Namang, dengan guratan senyum penuh kekuatan.
Diterpa badai pandemi Covid-19
Pandemi Covid -19 merambat ke bumi Flores sejak pertengahan 2020 lalu ibarat badai hebat yang menyebabkan masalah serius bagi semua warga masyarakat. Aktivitas warga dijegal dengan beragam kebijakan guna memutus mata rantai penyebaran pandemi Covid -19.
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan kemudian Pembatasan Sosial Kegiatan Masyarakat (PPKM) menuntut warga masyarakat menahan diri untuk berativitas di luar rumah. Dampak dari kebijakan tersebut sangat dirasakan oleh para ibu ‘Tobo Laran’. Mereka pun terpaksa menghentikan aktivitas menjajkan buah-buahan, dan hanya mendekam di rumah.
Selama masa itu, praktis mereka tak mendapatkan penghasilan tambahan. Kondisi perekonoman keluarga menjadi semakin sekarat.
Baca juga: Lestarikan Budaya Tenun Songke, Dekranasda Mabar Gelar Pelatihan Kecakapan Wirausaha
"Sudah dua kali kami terpaksa mendekam di rumah saja karena pandemi Covid-19 yang semakin parah. Karena di rumah saja tanpa bekerja, kebutuhan di rumah semakin sulit untuk dipenuhi. Tetapi kalau disuruh memilih, kami tetap berjualan saja demi kebutuhan ekonomi", tandas Margareta Botan sambil melayani pembeli di etalasenya.
Keresahan Margareta, Theresia, Elisabet, dan para penjaja buah di Rumah Kalwat semakin berlipat ganda setelah jalur perbatasan darat Flores Timur dan Sikka resmi diblokir pemerintaah. Saat itu wabah pandemi semakin marak, banyak warga terpapar Covid -19. Akibatnya, penerapan PPKM semakin diperketat.
Baca juga:Tak Perlu Pakai Aplikasi Android, Kini Savefrom FB Facebook Lite Bisa Download Video dan Foto
Seperti lagu ciptaan Noah Band berjudul 'Tetap Bertahan, mereka terus bertahan meski pagebluk pandemi Covid-19 yang bisa saja mengancam kesehatannya sendiri.
Tak hanya itu, kehadiran pandemi juga merenggut sebagaian besar pembeli yang adalah para pelaku perjalanan melintasi jalur darat perbatasan Flores Timur dan Sikka.
"Pembeli paling banyak pelaku perjalanan. Saat perbatasan diblokir pendapatan perhari sangat sedikit. Dapat Rp.50.000 sajah sudah baik", ujar Elisabet Punan Namang.
“Bukan hanya pendapatan perhari, buah-buahan yang kami beli pasti rusak kalau tidak ada pembelinya,” tambah Theresia Beto Tolok.
Buah Karya Menjaja Buah
Sejak puluhan tahun lalu para ibu ‘Tobo Laran’ membuktikan bahwa ada efek positif dari menjajakan aneka bua-buahan segar. Artinya, dengan berdagang buah-buhan di Rumah Kalwat Hokeng, kondisi ekonomi keluarga dapat sedikit ditopang, sehingga asap di dapur mereka masih bisa tetap mengepul.
Memang, tidak berlebihan bahwa dari hasil penjualan buah-buahan di Rumah Kalwat, para ibu ‘Tobo Laran' dapat meraup sejumlah uang. Uang itu kemudian mereka manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Bahkan, dapat disisihkan pula untuk biaya sekolah anak-anak, termasuk persiapan untuk menempuh pendidikan perguruan tinggi.
Tak hanya itu, uang hasi menjajakan buah-buahan dapat ikut menutup biaya kesehatan dan pembiayaan tak terduga lainnya, apalagi setelah ditambah dengan pendapatan yang diperoleh sang suami.
Baca juga: SENDAL SERIBU, 20 Oktober 2021: SETIA, SIAP SIAGA SELALU SETIAP SAAT SAMPAI SELAMANYA!
“Hasilnya sangat membantu. Lebih-lebih untuk membayar biaya sekolah anak-anak dan kebutuhan hidup lainnya. Makanya, kami merasa sangat bersukur karena sekarang pandemi Covid-19 sudah mulai mereda sehingga kami bisa berjualan lagi di Rumah Kalwat ini,” kata Elisabet Namang penuh semangat.
Beberapa pekan terakhir, wabah Covid-19 semakin mereda. Kondisi tersebut langsung membawa pengaruh positif bagi ‘pasa buah’ Ruma Kalwat Hokeng. Omset penjualan harian para ibu ‘Tobo Laran’ pun semakin meningkat. Dalam sehari selalu ada tambahan pemasukan sebagai ole-ole semesta yang berbaik hati dengan kerja keras mereka.
Makanya, belakangan wajah para ibu ‘Tobo Laran’ semakin cerah ceria. Setiap senja hari mereka bergegas pulang ke rumah menemui anggota keluarga dengan wajah sumringah.
Pasalnya, di dalam dompet mereka terselip sejumlah lembaran uang, hasil jerih lelah duduk bersila kaki menjajakan buah sepanjang hari di Rumah Kalwat. (Paul Kebelen)
4 hari yang lalu
sebulan yang lalu