Bajawa
Jumat, 08 Agustus 2025 23:34 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
JELANG HUT ke-80 Kemerdekaan RI , tim redaksi Floresku.com menurunkan ‘Seri Pahlahwan Lokal’, dari wilayah Flobamora. Meski tidak dikenal secara nasional, para pejuang ini telah berjuang secara gagah dan berani, membela martabat warga masyarakat lokal dari kesewenangan kaum kolonial, Hindia-Belanda.
PADA awal abad ke-20, pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapitan Christoffel melakukan rangkaian serangan atas Flores. Setelah berhasil menaklukkan Larantuka dan Sikka, melanjutkan ekspansi militernya ke wilayah Ende.
Pada 10 Agustus 1907, pasukan Christoffel tiba di Ende. Dalam waktu kurang dari dua minggu serdadu Belanda itu berhasil mengalahkan pasukan Rapo Oja dari Woloare. Ende pun jatuh ke tangan Belanda dengan mudah.
Pada 12 Agustus 1907, pasukan Marsose itu bergerak menuju ke arah barat, ke wilayah Ngada. Mereka merangsek masuk ke pusat-pusat pertahanan rakyat seperti Rowa, Sara, Wogo, Mangulewa, Rakalaba, dan Bajawa.
Namun ketika memasuki Rowa dan Sara, pasukan Belanda menghadapi perlawanan keras dari kelompok yang dikenal dengan nama “Dama Seku”.
Tidak terlalu jelas, ‘Dama Seku’ itu nama pribadi atau nama kelompok. Namun, besar kemungkinan menilik pekikan semboyan (Sa’a Ngaza) seperti tertera di bawa ini, besar kemungkinan Dama Seku adalah nama seorang tokoh pejuang.
Berikut petikan kalimat-kalimat pekikannya:
"Maku ja’o Dama Seku// Aku Dama Seku yang gagah perkasa
Ja’o da bedu pu’u Sarasedu// Aku data dari Ssarasedu
Ne’e su’a ja’o kema uma// Dengan cangkul aku berladang
Sewunga ja’o kema uma// Tak kenal lelah aku berkebun
Sewunga ja’o kasa tua// Tak kenal lelah aku menyadap nira
Sawunga ja’o usu nau// Tak gentar aku mengawal kampung halaman"
Pekikan tersebut menggambarkan tekad gigih orang Roawa dan Sarasedu untuk mempertahankan tanah, rumah, dan kehidupan leluhur.
Namun, meski penuh semangat juang, kekuatan militer Belanda yang lebih unggul sehingga membuat mereka menang mudah.
Di Wogo, pasukan Belanda kembali dihadang oleh laskar “Ringho Lejo” namun berhasil dikalahkan.
Dikisahkan beberapa wilayah penting seperti Mangulewa, Rakalaba, dan Bajawa akhirnya menyerah pada 12 September 1907.
Pasukan Belanda segera mendirikan pos di Bajawa, tepatnya di Waewoki (karena lokasinya strategis dan dekat sumber mata air Waemude.
Dalam waktu sekitar tiga bulan, pasukan Christoffel berhasil menguasai seluruh wilayah Ngada dan sekitarnya, lalu bergerak menuju Borong dan wilayah Manggarai yang lain.
Pada 10 Desember 1907, wilayah Manggarai pun resmi dikuasai Belanda. Sejak saat itu, hampir seluruh Flores tunduk pada pemerintahan kolonial Belanda, meski berbagai perlawanan lokal terus terjadi hingga tahun 1910.
Tegu Lise dikenal dalam cerita lisan masyarakat adat Soa sebagai seorang pemimpin yang karismatik dan disegani, baik secara adat maupun militer.
Ia berasal dari salah satu suku utama (keri) di wilayah Soa yang pada masa itu merupakan pusat kehidupan adat, politik, dan spiritual di Kabupaten Ngada.
Sebagai seorang mosalaki (pemimpin adat) dan juga meze (pemimpin perang), Tegu Lise memainkan peran ganda dalam mengatur kehidupan masyarakat dan mempertahankan wilayahnya dari ancaman eksternal.
Tegu Lise dikenal menerapkan taktik gerilya lokal dengan memanfaatkan medan pegunungan dan hutan yang akrab bagi para pejuang lokal.
Ia juga menjadi penggerak koalisi kampung, yang dalam struktur adat dikenal sebagai bhaga atau mako, untuk bersatu mempertahankan tanah dan adat dari pendudukan kolonial.
Ia mengorganisir warga masyarakat dari berbagai kampung seperti Langa, Naru, dan Zeu untuk membangun pertahanan terhadap pasukan Marsose yang terus merangsek ke pedalaman.
Bagi Tegu Lise dan masyarakat Ngada pada umumnya, perlawanan terhadap Belanda bukan sekadar penolakan terhadap pajak atau kontrol administratif, tetapi merupakan perjuangan membela hak adat dan kedaulatan kampung.
Mereka menolak sistem yang akan mencabut akar kehidupan bersama: tanah ulayat (tanah ngadhu–bhaga), ritus pemujaan leluhur, serta struktur sosial yang berbasis pada rumah adat (sa'o), suku, dan hukum adat.
Perlawanan rakyat Soa yang dipimpin oleh Tegu Lise berlangsung sengit hingga tahun 1909. Namun, setelah dua tahun menghadapi tekanan militer, kehabisan logistik, serta kelelahan masyarakat akibat pengepungan dan serangan bertubi-tubi,
Tegu Lise bersama rakyat Soa akhirnya menyerah kepada Belanda. Meski demikian, penyerahan ini dianggap sebagai strategi bertahan, bukan pengakuan mutlak terhadap kekuasaan kolonial.
Setelah penyerahan, Belanda mulai menanamkan sistem kontrol administratif yang lebih ketat di wilayah Ngada. Namun, nilai-nilai perjuangan dan identitas adat yang diperjuangkan oleh Tegu Lise tetap hidup di tengah masyarakat hingga kini.
Nama Tegu Lise dikenang dalam memori kolektif masyarakat Soa sebagai pahlawan lokal yang berani melawan ketidakadilan dan mempertahankan martabat adat. Di beberapa kampung, kisah perjuangannya masih disampaikan dalam ritual adat, cerita lisan, dan upacara ka sa’o (pembersihan rumah adat).
Meskipun belum diakui dalam sejarah nasional atau dicatat secara resmi oleh pemerintah, Tegu Lise adalah representasi dari perlawanan dari pinggiran, dari daerah yang jauh dari pusat kolonial Batavia, namun memiliki semangat perlawanan yang sama dengan pahlawan nasional lainnya.
Lokasi Perlawanan | Tokoh Utama | Catatan Penting |
---|---|---|
Soa | Tegu Lise | Pemimpin adat dan militer, melancarkan perlawanan dengan taktik gerilya lokal |
Rowa & Sarasedu | Dama Sedu, pemuka adat dan warga setempat | Pasukan “Dama Seku” melakukan perlawan sengit terhadap pasukan Marsose Belanda |
Wogo | Ringho Lejo, pemuka adat dan warga Kampung Wogo | Melakukan perlawan keras terhadap pasukan Belanda. |
Mangulewa & Rakalaba | Mosa/pemimpin kampung | Perlawanan sporadis, budaya solidaritas komunitas dipertahankan |
Sumber:
sebulan yang lalu
2 tahun yang lalu