Abraham
Sabtu, 27 Januari 2024 12:04 WIB
Penulis:redaksi
“Seseorang yang merenungkan dan merancangkan balas dendam, sebenarnya tetap menjaga agar lukanya tetap segar (tak tersembuhkan)”
(Francis Bacon, filsuf-politikus Inggris, 1561 – 1626)
P. Kons Beo, SVD
Di mata dunia yang kabur dan hati manusia yang suram, sikap Daud sungguh adalah satu kebodohan! Betapa tidak? Saul, Raja Israel, yang sungguh mengancam hidupnya itu, tetap dibiarkan hidup.
Padahal di dalam gua persembunyiannya itu, Saul, yang sedang buang hajat, jelas-jelas tak jauh di depan mata Daud. Mari kita susuri kisah mendebarkan ini dari Kitab Pertama Samuel 24:3-21.
Sejak kepulangan Daud dari medan peperangan, rasa irihati di dada Saul semakin menggumpal dan membeku. Alkisah, Daud dan pasukan yang dipimpinnya berhasil hempaskan pasukan Filistin.
Tak hanya itu! Bahkan Si Goliat kekar perkasa komandan pasukan Filistin itu pun terjungkal mengenaskan di tangan Daud. Akhirnya, Daud dan pasukannya mesti pulang ke tanah Israel, negeri tercinta. Ingin kisahkan kabar suka cita itu.
Di ambang kota, kedatangan Daud disambut meriah. Musik gemerincing dan liukan tarian indah tak terelakan. Telah kembali para pahlawan Israel.
Namun, Raja Saul jadi tak karuan hati. Ia sungguh tak nyaman bahwa kemeriahan itu difokuskan pada Daud dan pasukan Israel yang telah berjaya.
Rasa penuh gusarnya tak tersembunyikan. Apalagi saat harus dengarkan nyanyian para perempuan Israel. Syair nyanyian terdengar jelas:
“Saul mengalahkan beribu-ribu musuh, tetapi Daud berlaksa-laksa” (1Sam 18:7). Jeritan hati Saul sungguh mengiris: “Aku seorang Raja yang ditakar hanya sebatas beribu-ribu? Namun Daud, anak muda itu, dimuliakan berlaksa-laksa?” Tetapi, bagaimanapun itulah kenyataannya.
Maka sejak itu itulah “Saul selalu menaruh dendam kepada Daud” (1Sam 18:8). Tetapi bila disimak lebih dalam, ingin habisi Daud sesungguhnya berakar pada kegelisahan Saul akan nasib kuasa dan kedudukannya sebagai Raja. Jangan-jangan pada “akhir-akhirnya jabatan raja itupun akan jatuh ke tangannya” (1Sam 18:8). Saul tak nyaman hati karena genggaman kekuasaan yang bisa saja terlepas.
Hidup ini penuh guncangan dan cakar-cakaran dalam kompetisi. Saling terjang dalam persaingan itu sudah dianggap wajar. Memang, akal sehat bisa mengerti pada fakta. Tetapi ‘dunia rasa hati terkadang sulit berdamai.’
Sebetulnya Raja Saul mesti bersyukur. Bahwa karena Daud dan pasukan Israel lah, Goliat dan pasukan Filistin akhirnya jadi lumpuh tak berdaya. Dan karenanya Israel jadi aman tanpa tekanan bangsa asing.
Masuk dan bergembira serta terlibat dalam ‘kemenangan bersama’ sering jadi beban di hati. Tetangga bersukacita, ada anggota (anak-anak) dalam keluarga (besar) sendiri berprestasi, rasa tak nyaman mulai ‘bikin sarang di hati.’
Karena itulah ‘syndrom Saul’ yang terungkap dalam kecemburuan sosial tak lagi menjadi samar. Sudah jadi terang-terangan dan jelas.
Di kecemasan seputar kuasa, jabatan, kedudukan, atau posisi, tertangkap kegelisahan hati yang termuncrat bagai lava erupsi gunung api yang membakar dan menghanguskan. “Daud harus dibunuh” begitu simpul akhir suara maut milik Raja Saul.
‘Obsesi akan takhta dan kuasa atau posisi’ yang dikotori oleh ‘hanya rasa takut’ sering diteruskan dengan rencana dan aksi maut.
Tidak kah hujat, hoaks, propaganda hitam, penyesatan publik dan segala strategi hantu penuh tekanan sering digencarkan? Tetapi itulah keadaan buram penuh licik yang terjadi di panggung teater seputar ‘ganti pemimpin dan orang-orang di lingkaran kekuasaan.’
Ingin hancurkan siapapun lawan atau pesaing dengan cara apapun. Dan itulah keharusannya.
Saul, sang Raja, sebetulnya telah dengarkan suara lembut Yonatan, putranya, agar ia “tidak berbuat dosa dengan orang tidak bersalah, dengan membunuh Daud tanpa alasan…” (cf 1Sam 18:5). Saul, memang sadari niat kejinya itu terhadap Daud.
Ia berikhtiar “Demi Tuhan yang hidup, ia tidak akan dibunuh” (1Sam 18:6). Sayangnya, semuanya jadi runtuh. Daya hasut dari orang-orang di sekitarnya membius Saul untuk kembali ke niat keji. Dan karena itulah Saul bersama 3000 orang pilihan dari Israel mesti ‘berburu’ Daud di gunung batu.
Satu niat mulia bisa saja tetap dikitari getaran maut solidaritas negatif. Di baliknya tetap terhembus hasutan demi hasutan. Dan karena itulah Saul jadi berubah. Ia kalut akan kuasanya yang bakal terhenti dan mesti jatuh ke tangan Daud. Bagaimanapun, di akhir kisah ‘perburuan’ itu, Saul lah yang sebenarnya tak berdaya di tangan Daud.
Kata-kata Daud menyentak, “Tuanku cepat termakan oleh kata-kata penghasut: bahwa aku, Daud, rencanakan kebinasaan tuan?” (cf 1Sam 24:10). Sementara Daud sendiri tetap bertahan pada kehormatan nilai dan kemuliaan akhlak.
Walau dihasut orang-orangnya, Daud tak lakukan kekerasan pada Saul, Raja yang diurapi. Daud bahkan ‘mencegah orang-orangnya; ia tidak mengijinkan mereka bangkit menyerang saul” (1Sam 24:8).
Namun, Sebatas punca jubah Saul yang dipotong sudah miliki arti nan dalam bagi Saul sebagai Raja.
Kemuliaan Saul sebagai Raja telah dikotori oleh ‘dendam, amarah, kebencian bahkan rencana untuk membunuh Daud.’ Nafsu akan kelanggengan kekuasaan, kedudukan, posisi dan pengaruh sungguh membutakan hati Saul.
Ia telah terperosok dalam etika hati nurani yang pengap sebagai pemimpin Israel yang disimbolkan pada punca (ujung) jubah yang telah terpotong itu.
Daud, sungguh tak hendak menjadi raja Israel, jika seandainya ia memulainya dari ‘kisah berdarah habisi Saul dan 3000 orang-orang pilihan Israel yang mencarinya itu. Jika kelak Daud diurapi menjadi Raja israel, ia tak hendak punya catatan hitam karena ‘pernah membantai Saul dan kaum pilihan Israel itu.’ Daud tak ingin punya catatan hitam pembantian atas kaumnya sendiri.
Menjadi Raja, Penguasa dan Pemimpin Israel yang bermartabat setidaknya harus dipilari, sekali lagi, oleh rekam jejak tanpa darah dan kekerasan terhadap ‘kaum sebangsa sendiri.’ Dan itulah yang telah dibuktikan Daud.
Di kisah ‘hanya’ punca jubahnya yang terpotong itu, Saul pada akhirnya mesti ‘berserah pada Daud.’ Dalam penyesalan, tangisan Saul sungguh tak terbendung:
“Engkau lebih besar daripadaku, sebab engkau melakukan yang baik kepadaku, padahal aku melakukan yang jahat kepadamu........
Dari ini semua, sesungguhnya aku tahu, bahwa engkau pasti menjadi raja dan jabatan raja Israel akan tetap kokoh dalam tanganmu” (1Sam 24:18.21).
Saul, Daud, kuasa, kedudukan, posisi, jabatan, pengaruh, dendam, irihati, penuh benci, tak nyaman hati, hasutan, rencana jahat akan kematian pun termasuk pembunuhan karakter, tak membalas, tak gunakan kesempatan demi kekerasan, serta kesadaran diri untuk satu pengakuan yang tulus, tentu bisa, tengah dan telah menjadi kisah-kisah di keseharian kita.
Sungguh, ‘dunia ini benar-benar panggung sandiwara mahaluas. Terkadang kita getol jalani peran yang pasti, namun ia bisa saja terpelosok pada peran dan aksi yang tak terbayangkan. Selalu ada peran wajar, namun ada banyak pula peran yang penuh pura-puranya....
Dalam Tuhan, bagaimanapun, setiap kita tetap punya harapan selama kisah ‘tarik dan hembuskan’ nafas masih menjadi kisah hidup setiap kita (dum spiro spero).
Verbo Dei Amorem Spiranti. ***