Lembata
Sabtu, 26 April 2025 10:55 WIB
Penulis:redaksi
Oleh: Fileski Walidha Tanjung *
Di negeri yang menjunjung tinggi slogan "membaca adalah jendela dunia", kita seringkali lupa bahwa tak semua anak dilahirkan di rumah yang memiliki jendela.
Kita menyerukan agar generasi muda gemar membaca, sembari membiarkan perpustakaan sekolah tertutup debu dan distribusi buku-buku bacaan tak pernah merata.
Buku dipuja dalam wacana, tapi dipinggirkan dalam kenyataan. Kita mendamba anak-anak yang haus ilmu, namun hanya menyediakan padang gurun sebagai satu-satunya medan untuk tumbuhnya dahaga.
"Manusia tidak dilahirkan untuk menjadi pembaca," tulis Alberto Manguel dalam A History of Reading, "ia belajar untuk membaca melalui cinta dan dorongan."
Tapi bagaimana cinta bisa tumbuh jika ruang yang seharusnya mengasuhnya justru penuh dengan ketidakpedulian? Anak-anak kita bukan tidak ingin membaca.
Mereka hanya tak pernah diperkenalkan pada dunia di balik halaman-halaman imaji dalam sebuah buku. Mereka tak malas. Mereka hanya tak tahu pintu mana yang bisa diketuk.
Harga buku yang terus melonjak hanyalah satu dari sekian banyak pagar tak kasatmata yang kita bangun. Negara, dalam diamnya, bersikap seperti penjaga perpustakaan yang enggan membaca—hadir tanpa jiwa, hidup tanpa gairah. Ia tak melarang, tapi juga tak memudahkan.
Seperti kata Slavoj Zizek, "kekuasaan modern tidak melarangmu secara langsung; ia hanya membuat pilihan-pilihan penting semakin tidak bisa diakses."
Dan buku, pelan-pelan menjadi barang mewah. Membaca menjadi kegiatan elitis, seolah hanya diperuntukkan bagi mereka yang sudah kenyang dan tak dihantui oleh rasa lapar.
Kita menciptakan generasi yang nyaman dalam keheningan tanpa makna. Generasi yang tak diberi ruang untuk bertanya karena pertanyaan dianggap mengganggu tatanan.
Padahal, seperti diungkapkan Paulo Freire, pendidikan sejatinya adalah "praktik kebebasan", bukan penjinakan massal. Tapi hari ini, kita memilih sistem yang melahirkan murid yang patuh, bukan yang gelisah oleh pertanyaan. Sekolah menjadi tempat di mana suara individu dihapus agar tak mengganggu harmoni yang semu.
Yang lebih menyedihkan adalah bagaimana arus informasi kini menggilas perlahan-lahan kemampuan kita untuk menyimak dan merenung. Buku diganti oleh video yang berlalu dalam lima belas detik, diskusi diganti oleh amarah di kolom komentar, dan pemahaman diganti oleh keyakinan instan.
Hannah Arendt menyebutnya sebagai "kekosongan berpikir", kondisi di mana masyarakat tak lagi memiliki ruang untuk kontemplasi karena dibanjiri oleh distraksi.
Kita sedang mengalami krisis epistemologis yang mendalam. Membaca bukan lagi tentang mengolah informasi, tapi tentang keberanian untuk memahami dunia dan diri sendiri secara utuh.
Membaca berarti merawat kepekaan. Ia adalah tindakan radikal dalam masyarakat yang lebih menghargai konsumsi daripada refleksi. Dan lebih dari itu, membaca adalah wujud perlawanan terhadap sistem yang ingin menjadikan kita manusia tanpa kesadaran, robot yang hidup dalam rutinitas, yang bergerak tanpa bertanya ke mana.
Namun, harapan tidak pernah mati. Dalam satu anak yang diajari untuk bertanya, terdapat kemungkinan lahirnya generasi yang mampu melihat dunia bukan hanya dari apa yang dikatakan oleh buku, tetapi juga dari apa yang tak sempat dituliskan.
Simone Weil pernah menulis bahwa "perhatian yang tulus adalah bentuk tertinggi dari kemurahan hati." Mengajari anak bertanya adalah memberi perhatian pada masa depan yang lebih jujur dan berpikir.
Esai ini bukan hanya tentang membaca. Ia tentang sebuah ruang imajinasi yang terampas. Tentang tubuh-tubuh muda yang tumbuh tanpa cerita, tanpa pelita. Tentang sistem yang takut pada orang-orang yang berani berpikir.
Dan pertanyaannya kini bukan lagi sekadar bagaimana membuat anak-anak suka membaca. Tapi lebih dalam dari itu: sanggupkah kita menciptakan dunia di mana membaca adalah bentuk keberanian? Dapatkah kita membayangkan sebuah bangsa yang tak takut pada rakyatnya yang gemar bertanya?
Jika buku adalah artefak yang menyimpan kenangan panjang umat manusia, maka cara kita memperlakukan buku adalah refleksi dari bagaimana kita memperlakukan masa depan.
Maka sebelum bertanya pada anak, "mengapa kamu tak membaca?", lebih dulu kita harus bertanya pada diri sendiri, "apa yang sudah kita lakukan agar membaca bisa menjadi dampak nyata untuk kehidupan yang lebih baik”. (*)
*Fileski Walidha Tanjung adalah penulis kelahiran Madiun 1988. Aktif menulis esai, puisi, dan cerpen di berbagai media nasional. Buku terbarunya adalah Melukis Peristiwa. ***
6 hari yang lalu