hentikan
Jumat, 11 Februari 2022 09:49 WIB
Penulis:redaksi
KUPANG (Floresku.com) - Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Forum Advokasi Mahasiswa Manggarai Barat (FADMMAB) – Kupang melakukan aksi demonstrasi damai, menolak proyek ekstraksi panas bumi (Geothermal) di Desa Wae Sano. Mereka berkumpul tepat di depan RS Pratama Undana, Naikoten lalu bergerak menuju Kantor DPRD Provinsi NTT.
Wae sano adalah salah satu titik dari 16 titik yang tersebar di pulau flores yang ditetapkan sebagai pulau panas bumi oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam surat keputusan Nomor 2268 K/30/MEM/2017. Setelah dilakukan tahapan survei lapangan (eksplorasi), Geothermal Wae Sano yang awalnya dikelola oleh PT. SMI (Sarana Multi Infrastruktur) kemudian dialihkan ke PT. Geo Dipa Energi, terus mendapatkan perlawananan dari masyarakat setempat.
Dalam aksi tersebut, Weli Waldus sebagai Koordinator Lapangan (KORLAP) menyampaikan bahwa, aksi mereka merupakan bentuk keberpihakan seluruh mahasiswa Manggarai Barat yang ada di Kota Kupang untuk tetap menolak proyek ekstraksi panas bumi (geothermal) yang terjadi di Desa Wae Sano.
Waldus juga menyinggung Bupati Mangarai Barat selaku pimpinan wilayah Super Premium untuk berani, bersikap jujur dan berdiri sebagai media agar menjadi jembatan untuk kepentingan banyak orang,
“Pemerintah daerah harus berani dan jujur, karena pemerintah sebagai media yang menjembatani kepentingan semua pihak, baik itu masyarakat Wae Sano yang ada di lokasi pengeboran maupun pihak ketiga yang akan melakukan investasi di ruang hidup warga Wae Sano”.
Menurut Waldus juga mengecam Pemda Mabar yang mengintervensi bahkan memaksa kehendak kepada masyarakat melalui forum lonto leok.
Ia menilai bahwa lonto leok yang telah dilaksanakan itu adalah bentuk perampasan kemerdekaan masyarakat yang berbudaya.
"Dengan alasan itu, apapun yang telah disimpulkan oleh Pemerintah Daerah bahwa masyarakat telah setuju merupakan sebuah kebohongan besar. Fakta di lapangan bahwa masyakat masih banyak yang menolak”, tutupnya.
Sementara itu Oan Putra, sebagai Koordinator Umum (Kordum) menyampaikan, sudah kurang lebih lima tahun masyarakat Wae Sano hidup dalam ketidakpastian, cemas dan tak menentu.
"Namun, ditengah gelombang penolakan yang cukup masif, justru lembaga DPRD pun kian pasif dalam menunaikan tugansya. Kami menduga bahwa DPRD terkontaminasi dengan segelintir kepentingan yang terselip dalam setiap rutinitas agenda kerjanya”, tegasnya.
Oleh karena itu, kata Oan, kartu merah pantas diberikan kepada DPRD Mabar yang sudah tidak berfungsi secara total dalam tupoksinya menyikapi persoalan ini.
"Sedangkan kartu kuning utnuk DPRD provinsi yang selama ini terbuka tapi belum dapat memberikan kejelasan dan kepastian terhadap tuntutan mahasiswa mengenai pesoalan ini.”
Menurut dia substansi penolakan warga mesti diperjuangkan oleh DPRD sebagai pemaknaan terhadap tugas representatif.
“Mereka seharusnya meneruskan aspirasi penolakan warga kepada stakekholder terkait bukan merupakan suatu bentuk intervensi kebijakan, melainkan simbol keberpihakan terhadap keberadaan masyarakat,” ujarnya.
Menolak proyek geothermal Wae Sano
Dalam aksidemonstrasi itu, FADMMAB) – Kupang menyebutkan proyek geothermal di Wae Sano harus ditilak karena dapat membahayakan keutuhan ruang hidup masyarakat Desa Wae Sano, karena titik pemboran menyebar di seluruh wilayah desa dan dekat dengan pemukiman warga.
Berdasarkan data berupa peta Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Wae Sano, ada lima (5) sumur pengeboran yang tersebar di 3 kampung yakni Nunang, Lempe, dan Dasak.
Di Kampung Nunang, lokasi pengeboran berjarak 15 meter dari rumah warga, dan berjarak 30 meter dari rumah adat (Compang).
Di Kampung Lempe, titik pengeboran berjarak 10-300 meter dari rumah warga dan berjarak 20 meter dari mata air. Di Kampung Dasak, lokasi pengeboran berjarak 5-50 meter dari rumah warga.
Sumur-sumur panas bumi ini berpotensi menghancurkan semua tatanan sosial, ekonomi, dan spiritual yang mereka jalani turun temurun.
Masyarakat Desa Wae Sano percaya, hidup mereka, baik sebagai individu maupun masyarakat, merupakan satu kesatuan yang utuh antara golo lonto, mbaru kaeng, natas labar (perkampungan adat), uma duat (lahan pertanian/perkebunan), wae teku (sumber mata air), compang takung, lepah boa (tempat-tempat adat), puar (hutan) dan sano (danau).
Dengan mempertimbangkan dasar penolakan di atas, FADMMAB) – Kupangmenyatakan sikap sebagai berikut :
3 bulan yang lalu
setahun yang lalu