NTT
Jumat, 08 September 2023 08:12 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
MAUMERE (Floresku.com) –Kasus Piti Rambang atau ‘Kawin Tangkap’ yang viral di media sosial, Kamis, 07 September 2023’ kemarin mengundang reaksi keras dari para aktivis perlindungan anak dan perempuan.
Sejumlah aktivis Gerakan Perlindungan Perempuan dan Anak (GEPPRAK) Maumere Kabupaten Sika melalui rilisnya menegaskan bahwa hendaknya ada gerakan dari semua pihak yang terkait untuk menyudahi praktik adat Piti Rambang atau ‘Kawin Tangkap’ yang merupakan tahap awal dari proses peminangan perempuan dalam adat masyarakat Sumba.
“Melihat postingan yang lagi viral di group wa dan beberapa medsos lainnya yang terlihat bukan saja mempelai laki-laki ya tetapi "rombongan" yang dengan sergap 'menangkap' calon mempelai perempuan dan pekikan kegembiraan setelah berhasil "menangkap",” tulis Silvia Sea mewakili rekan-rekannya dari GEPPRAK Maumere.
Menurut GEPPRAK Maumere, pratik Piti Rambang adalah pratik adat yang tak sesuai dengan jaman, dan tak sejalan dengan martabat manusia, khususnya perlindungan hak-hak perempuang.
“Praktik adat yang tidak bermartabat dan tak manusiawi tak layak dilestarikan, sebaliknya harus dihentikan. Karena pada prinsip sesuatu aksi budaya adalah aksi untuk memanusiakan atau membuatu manusia semakin bermartabat,” tandas GEPPRAK Maumere.
“Di manakah peran lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat dengan melihat realita dan kondisi ini?” Silvia mempertanyakan.
GEPRRAK Sikka menyayangkan dan mengutuk keras praktik Piti Rambang yang masih sering terjadi di Pulau Sumba.
“Apa yang terjadi di Sumba mencerminkan kondisi rentan Perlindungan Anak dan Perempuan di NTT secara keseluruhan. Sebab, data Badan Pemberdayaan Perempuan Provinsi NTT, menunjukan perlindungan anak dan perempuan NTT saat ini masih sangat rendah,” ungkap Silvia lagi.
Mayoritas perempuan NTT masih bekerja disektor domestik seperti ibu rumah tangga dan ruang publik informal seperti pembantu rumah tangga sering diperlakukan secara tak manusiawi.
“Angka Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan eksploitasi anak di NTT masih tinggi dan cenderung tidak berubah,” tandas GEPPRAK Maumere lagi.
GEPPRAK Maumere menyarankan, tingginya angka kekerasan ini, menurutnya perlu segera diatasi dengan berbagai program pendampingan dan penguatan peran baik perorangan maupun secara kelembagaan dimana kapasitas dan kompetensi perempuan diberdayakan dan ditingkatkan sehingga pengetahuan dan ketrampilannya makin memadai untuk lebih berperan aktif tidak saja diranah domestik tetapi juga di ruang publik.
Sebelumnya, sebagaimana dirilis INews (7/9) Yustin Dama, Direktur Lembaga Pemerhati Hak Perempuan dan Anak di Sumba yang berbasis di Kabupaten Sumba Tengah juga mengutuk pratik adar Piti Rambang.
Yustin menyatakan praktik Piti Rambang di Sumba, bukan menjadi hal yang baru terjadi.
Paling tidak, sebut dia, pada akhir Juni 2020 lalu, kasus serupa pernah terjadi dan bahkan mendapat perhatian pemerintah lewat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).
“Kami tegaskan bahwa kawin tangkap adalah pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia yang diakui secara internasional. Kawin paksa adalah pelanggaran serius terhadap HAM. Maka, perlu upaya yang kuat untuk melawan dan meniadakannya,” tegas Yustin. (SP)***
6 hari yang lalu