Cinta
Sabtu, 02 November 2024 15:41 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
Penginjil Markus mencatat tentang tiga soal besar yang dihadapi Yesus ketika berada di Yerusalem. Kelompok Herodian bertanya tentang soal membayar pajak kepada Kaisar (Mrk 12:13-17). Kelompok Saduki bertanya tentang soal kebangkitan orang mati (12: 18-27).
Sedangkan para ahli Taurat bertanya tentang hukum yang paling utama.
Pertanyaan pertama dan kedua mau menjebak Yesus untuk mencari kesalahan-Nya. Tetapi, Yesus memberikan jawaban tepat yang membuat kaum Herodian dan Saduki tidak berkutik.
Dengan demikian, para ahli Taurat yakin bahwa Yesus mengajarkan kebenaran.
Karena itu, salah seorang ahli Taurat bertanya untuk mencari kebenaran sejati berkaitan dengan hukum manakah yang paling utama.
Yesus menjawab pertanyaan itu dengan mengutip doa Shema yang diucapkan dua kali sehari oleh seorang Israel sejati.
“Dengarlah hai orang Israel, Tuhan Allah kita itu Tuhan yang esa! Kasihanilah Tuhan Allahmu dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap akal budi, dan dengan segenap kekuatanmu”, (bdk Mrk 12:29-30).
Lalu Yesus menambahkan lagi. “Dan hukum yang kedua ialah kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari kedua hukum ini”, (Mrk 12: 31).
Dengan penegasan ini Yesus membuat kedua hukum di atas menjadi sama penting: mengashi Allah dan mengasihi sesama.
Saya yakin kita semua setuju bahwa ajaran cinta kepada Allah dan kepada sesama merupakan sebuah kebenaran iman yang memberikan jaminan kebahagiaan kepada setiap orang yang mentaati dan melaksanakannya.
Tetapi, kita bertanya, mengapa manusia mesti mencintai Allah dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan dengan segenap kekuatannya? Lalu, mengapa manusia mesti mencintai sesamanya seperti dirinya sendiri?
Pertama, cinta kepada Allah terutama merupakan ucapan syukur dan pujian atas segala kebaikan dan kasih Allah yang tak terbatas kepada manusia.
Allah telah lebih dahulu mencintai manusia secara total dan tanpa syarat. Maka pantaslah kita yang adalah ciptaan-Nya yang istimewa mengasihi dan mengabdi kepada-Nya tanpa batas dan tanpa syarat pula.
Sebab hanya orang yang dengan tulus ikhlas mengasihi Allah dan setia mentaati firman-Nya, dialah yang paling berbahagia. Baginya Allah sesungguhnya merupakan pelindung dan pembela dalam situasi apa pun.
Kedua, cinta kepada Allah harus nyata dalam cinta kepada sesama. Kedua ungkapan cinta ini tidak boleh dipisahkan. Kita ungkapkan cinta kepada Allah lewat doa, ibadah, mendengarkan Sabda-Nya dan mentaati perintah-perintah -Nya. Kita berikan yang terindah kepada Allah sebagai ungkapan kasih dan iman.
Tetapi, semua ungkapan itu akan menjadi sia-sia jika kita mengabaikan orang-orang di sekitar kita. Atau, jika kita tidak memberikan perhatian secukupnya kepada orang miskin dan terlantar, orang sakit, kelompok lanjut usia dan anak-anak yatim-piatu.
Kita ingat diri dan mau enak sendiri. Kita mengabaikan keamanan, ketenangan, kedamaian dan kesejahteraan mereka.
Sebab tidak mungkin kita mencintai Allah dengan tulus ikhlas dan pada saat yang sama, kita membenci, menaruh dendam, dan berpikir negatif terhadap sesama serta merencanakan sesuatu buruk dan jahat bagi mereka.
Dan, kita bertanya lagi. Siapakah sesama kita? Mungkin dialah pasangan kita, suami, isteri dan anak; adik atau kakak; saudara atau saudari sekomunitas biara atau paroki; kerabat kerja; pimpinan atau bawahan; majikan atau pekerja; atau tetangga-tetangga kita.
Atau, sesama kita adalah dia yang pernah menyakiti hati kita; dia yang berbeda suku, agama, partai dan pilihan politik, ideologi dan pandangan dengan kita, dan lain-lain.
Bila dalam ziarah hidup ini kita berhasil menyatukan cinta kepada Allah dan sesama, maka yakinlah kita akan merasakan betapa bahagia, aman, tenteram dan damainya kehidupan kita. Dan, pada akhir zaman kita akan menikmati kehidupan kekal.
Semoga Tuhan membimbing dan memberkati kita agar mampu menghayati cinta yang tulus baik kepada Allah maupun kepada sesama.
Kewapante, 03 Novembwe 2024. ***