Doa
Sabtu, 30 September 2023 07:43 WIB
Penulis:redaksi
(Minggu Biasa XXVI A: Yeh 18:25-28; Flp 2:1-11; Mt 21:28-32)
Seorang wanita melihat seekor ular yang sedang terbakar memutuskan untuk mengeluarkannya dari api. Ketika sedang berusaha menyelamatkannya ular itu memagut tangan wanita itu.
Maka ia melepaskan ular itu sehingga jatuh kembali ke dalam api. Ia melihat sekeliling dan menemukan sepotong kayu untuk mengeluarkan ular itu dari api.
Seorang pemuda yang melihat kejadian itu mendekati wanita itu dan berkata,”Ular ini telah memagut dan melukaimu. Mengapa ibu masih mencoba untuk menyelamatkannya?”
Ia menjawab, “Sifat ular adalah memagut dan menyakiti yang lain. Tetapi itu tidak harus mengubah sifat kita yang suka menolong dan menyelamatkan yang lain”.
Pengalaman penindasan, ketidakadilan dan kerja paksa di Babilonia lama-kelamaan membuat bangsa Israel bingung dan putus asa.
Maka muncul pertanyaan yang sering mengusik pikiran mereka, “Betulkah dosa nenek moyang dan kesalahan di masa lampau mendatangkan hukuman bagi orang-orang Israel di masa kini?”
Mereka juga bertanya, “Jika Allah sungguh baik mengapa Ia membiarkan musuh-musuh menindas kami. Mengapa kejahatan terjadi dan merajalela di mana-mana?”
Berhadapan dengan semua ini nabi Yehezkiel coba menyadarkan orang-orang Israel akan ketidaksetiaan, dosa dan kejahatan mereka sendiri, bukan hanya dosa masa lalu, yang menjadi biang keladi semua cobaan, siksaan dan penderitaan.
Sang Nabi juga mengingatkan mereka akan Allah yang maharahim, sabar dan rela mengampuni, kendatipun mereka terus saja tidak setia dan berbuat dosa.
Allah tetap memberi kesempatan untuk mengubah pikiran dan cara hidup. Maka jalan satu-satunya yang mesti dipilih bangsa Israel adalah menginsyafi segala kedurhakaan serta bertekad membaharui hidup dan bertobat.
Injil juga mengisahkan tentang sikap anak bungsu yang bandel, keras kepala dan tidak setia. Ia menolak tegas permintaan ayahnya untuk bekerja di kebun anggur.
Terhadap permintaan ayah, ia berkata,“Tidak mau”. Sikap negatif ini tidak mendapat reaksi apa pun dari sang ayah. Itulah sebabnya kemudian ia menyesal lalu pergi bekerja di kebun anggur, (bdk. Mt 21:30).
Anak bungsu mewakili para pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal yang umumnya memiliki sikap dan perilaku yang bertentangan dengan perintah-perintah Allah.
Mereka dianggap sebagai orang-orang berdosa dan tidak punya hak atas janji keselamatan. Tetapi, justeru merekalah orang-orang pertama yang bertobat ketika mendengarkan pewartaan para nabi dan Yesus sendiri.
Yesus memuji keterbukaan dan kerendahan hati mereka untuk meninggalkan cara hidup lama dan mulai membangun hidup baru sebagai murid dan pengikut Yesus dengan segala tuntuan dan konsekuensinya.
Yesus menawarkan dan bahkan menjanjikan keselamatan kepada mereka, dan bukan kepada orang-orang Farisi, ahli Taurat dan tua-tua agama yang menganggap diri benar dan suci.
“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan para pelacur akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah”, Mt 21:31).
Apa pesan bacaan-bacaan suci hari ini untuk kita? Pertama, kita diajak untuk menyadari pentingnya sikap menginsyafi dosa dan bertobat sebagai jalan kepada keselamatan.
Kita juga diminta untuk membangun komitmen yang sungguh-sungguh guna menghayati iman dan tuntutan agama kita.
Kita tidak boleh hanya buat janji, lalu cepat lupa dan tidak lakukannya, sebagaimana anak sulung. Tanda bahwa kita adalah pengikut Kristus sejati apabila kata-kata yang kita ucapkan sungguh sejalan atau selaras dengan sikap dan perbuatan harian kita. Apa yang kita katakan, itulah yang mesti kita lakukan.
Jika kata-kata dan janji kita belum sungguh kita hayati dan praktekkan dalam hidup sehari-hari. Jika kita cenderung bicara lain dan buat lain. Maka kita mesti bertobat, artinya mengoyakkan hati dan membaharui hidup.
Kedua, santo Paulus mengingatkan supaya kita tidak hidup hanya untuk diri sendiri, melainkan saling menolong seorang kepada yang lain.
Bagi orang Kristen, ajaran dan hidup Kristus hendaknya menjadi model dan ciri khas hidup sehari-hari.
Di tengah dunia yang penuh dengan persaingan dan kecenderungan untuk mencari kepentingan sendiri kita diajak untuk mencontohi Yesus yang rela mengorbankan diri dan hidupNya untuk menyelamatkan semua umat manusia.
Ibu dalam ilustrasi di atas menyadarkan kita akan salah satu ciri khas manusia yakni suka menolong. Ibu itu berkata, “Sifat ular adalah suka memagut dan melukai. Tetapi itu tidak mesti mengubah sifat kita yang suka membantu dan menyelamatkan”.
Dalam hidup sehari-hari, sebagai orangtua dan guru di sekolah sering kita berhdapan dengan anak-anak yang nakal, kepala batu, bahkan bisa lakukan hal-hal yang tidak pantas atau kurang ajar. Meski demikian, mereka tetap menjadi anak-anak kita.
Kadang-kadang hubungan antara kakak-adik dan saudara/i menjadi kacau-balau, atau, sikap dan perilaku tetangga serta orang-orang di sekitar membuat kita sakit hati dan kesal.
Tetapi mereka tetap menjadi saudara-saudari, kakak-adik dan tetangga kita. Kita tidak mungkin buang atau lupakan mereka begitu saja.
Karena itu, kita diminta agar tidak mengubah hati, sifat dan karakter yang baik dan luhur yang Tuhan berikan hanya karena seseorang membuat kita kesal dan berbuat jahat terhadap kita.
Kita mesti menjaga agar hati kita tetap baik dan bersih kendatipun berhadapan dengan orang-orang yang hatinya busuk dan suka membuat onar.
Hendaknya kita bersikap bijaksana saat kebaikan kita difitnah, dikhianati dan atau dibalas dengan sikap dan tindakan yang tidak pantas.
Ingatlah, walau dunia dan orang-orang sekitar tidak melihat kebaikanmu. Tetapi, Tuhan melihat segalanya dan akan berkenan akan ketulusan hatimu. Amen.
Kewapante, Minggu 01 Oktober 2023
P. Gregorius Nule, SVD. ***