btn
Jumat, 18 November 2022 18:55 WIB
Penulis:Redaksi
JAKARTA- Staf khusus Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Arya Mahendra Sinulingga, menilai rights issue PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN) akan sangat berbeda.
Arya mengatakan, right issue ini tergolong langka karena BBTN sebelumnya melakukan aksi korporasi pada 2012 lalu sebagai institusi perbankan dengan fokus bisnis yang spesifik karena menjalankan penugasan negara.
Selain itu, kata Arya, ada tiga fakta menarik lain yang mesti dicermati investor terkait rights issue ini. Fakta pertama, efek dilusi.
Keputusan Kementerian BUMN yang mengizinkan BBTN melakukan rights issue adalah bentuk apresiasi pemegang saham pengendali terhadap investor publik untuk meningkatkan atau mempertahankan porsi kepemilikan di bank ini.
“Jika opsinya private placement (tanpa HMETD), investor publik justru kehilangan haknya untuk mempertahankan prosentase kepemilikan. Kami tidak memilih opsi ini sebagai bentuk terima kasih atas dukungan investor publik selama ini,” kata Arya.
Mengacu ke prospektus awal, investor yang tidak melaksanakan (exercise) haknya dalam rights issue ini akan terkena efek dilusi. “Jadi, akan rugi kalau investor tidak eksekusi rights,” tegas Arya.
Mengapa investor rugi kalau tidak exercise? Ini terkait dengan fakta kedua. “BBTN itu sahamnya murah, tapi tidak murahan. Kinerja keuangannya bagus dan terus bertumbuh,” ungkap Arya.
Yang terjadi saat ini, saham BBTN undervalued dan sama sekali tidak mencerminkan fundamental kinerjanya. Intinya, performa harga saham belum sejalan dengan kinerja keuangannya.
“PBV Bank Himbara lain sudah di atas 2x, BBTN baru 0,76x. Hanya soal waktu, PBV BBTN akan sejajar dengan para sejawatnya, apalagi perolehan laba bersih terus meningkat dari waktu ke waktu dan fokus perusahaan di KPR bersubsidi,” papar Arya.
Fakta ketiga adalah prospek bisnis BBTN. Arya menjelaskan, banyak yang mengkhawatirkan kredit properti akan melambat imbas kenaikan inflasi dan suku bunga tinggi.
“Soal inflasi dan suku bunga, memang demikian faktanya. Tapi. dampak ke setiap bank, belum tentu sama apalagi urusan kredit perumahan. Tidak bisa digeneralisasi karena kondisi masing masing bank sangat berbeda,” jelasnya.
Contohnya produk KPR. Arya optimistis permintaan KPR BTN akan tetap tumbuh karena target pasarnya adalah pemilik rumah pertama dan untuk ditinggali.
Mereka bukan tipe konsumen yang membeli rumah untuk investasi ataupun spekulasi. Jumlah calon pemilik rumah pertama itu berlimpah karena angka backlog masih sangat tinggi di mana sebagian besar adalah golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
“BBTN merupakan tulang punggung pemerintah dalam menyalurkan kredit bersubsidi ke segmen MBR,” katanya.
Berdasarkan tiga faktor tersebut, wajar jika banyak sekuritas yang merekomendasikan buy untuk saham BBTN.
Salah satunya RHB Sekuritas yang mempertahankan rekomendasi beli saham BBTN dengan target harga Rp 2.450 perlembar saham.
Target tersebut merefleksikan kian pesatnya peningkatan laba bersih perseroan setelah rights issue dan penjualan aset tuntas tahun ini.
Analis RHB Sekuritas Indonesia Ryan Santoso dan Andrey Wijaya mengatakan, masuknya dana segar baru dari pelaksanaan rights issue bakal mengerek capital adequacy ratio (CAR) BTN menjadi sekitar 19%-20%, dibandingkan catatan September 2022 sebesar 17,3%.
“Kami memperkirakan masuknya dana segara baru tersebut akan memperkuat kemampuan perseroan untuk mendongkrak pertumbuhan kredit ke depan, apalagi pemerintah merencanakan peningkatan pemberian subsidi pembelian rumah bagi 200 ribu unit tahun 2023 dibandingkan target tahun 2022 sekitar 168 ribu,” terang RHB Sekuritas dalam risetnya.
Sementara itu, Analis MNC Sekuritas Tirta Widi Gilang Citradi menilai saat ini harga saham BBTN yang berada di level Rp1.530 jauh dibawah nilai fundamentalnya. “Saham BBTN merupakan saham bagus tetapi salah harga,” katanya.
Menurut dia, label ‘salah harga’ ini mengacu kepada kinerja Bank BTN yang terus melesat dengan sejumlah indikator keuangan yang terus membaik.
Bank BTN membukukan peningkatan laba bersih sebesar 50,1% dari Rp 1,51 triliun hingga kuartal III-2021 menjadi Rp2,27 triliun sampai September 2022.
Begitu juga dengan PPOP melesat dari Rp4,1 triliun menjadi Rp5,54 triliun. Pendapatan bunga bersih meningkat 31,8% dari Rp8,75 triliun menjadi Rp11,54 triliun.
“Beberapa pekerjaan rumah BBTN sudah berhasil diatasi dengan baik, seperti rasio likuiditas (LDR), pembiayaan bermasalah (NPL) dan peningkatan porsi dana murah (CASA) sehingga mampu menekan cost of fund. Dengan fundamental yang kokoh dan indikator yang membaik, kami tetapkan target price Rp2.200,” pungkasnya.