Kain Tenun Nagekeo di Tengah Arus Postmodernisme (Bagian 1)

Senin, 06 Mei 2024 13:52 WIB

Penulis:redaksi

Editor:redaksi

RD Florianus Ifan Dhendi.jpg
Saat Misa Perdana di Stasi Wodomia, Paroki St Martinus Nangaroro, tahun 2022, RD Florianus Ifan Dhendi mengenakan Kasula yang dibuat dari kain linen dipadu dengan kain tenun, Rhuka Tnggo/Duka Mau motif Ngi'i Rhako. (Floresku.com/Istimewa)

Oleh: Maxi Ali*

PAMOR kain tenun Nagekeo kian melambung belakangan ini. Aneka jenis kain, baik yang jenis Tenun Ikat seperti Hoba Nage dan Sada, jenisTenun Pakan  atau Songket (Wo’i) seperti Ragi Bay, Dhowik dan Rhuka Tonggo atau Duka Woi (Duka Mau), maupun yang  jenis  Bukan Tenun Ikat dan Bukan Songket seperti Oba Telopoi dan Oba Mite atau Ragi Mite (Yobha Mite, menurut Bahasa Nga'o dialek Toto) semakin digemari, baik oleh warga lokal, warga Nusantara, bahkan warga negara asing.

Intip saja halaman medsos. Di seputar Hardiknas, Kamis, 02 Mei 2024 misalnya,  para siswa sekolah, para guru, ASN dan warga masyarakat Nagekeo  ramai mengunggah foto-foto cantik, saat mereka mengenakan busana tradisional. Dalam foto-foto itu, raut wajah mereka dihiasi senyuman penuh rasa gembira dan bangga.

Namun,  bagi mereka yang peduli akan tradisi menenun kain tradisional,  semestinya mampu membaca bahwa di balik ‘keceriaan’ tersebut terpendam sebuah  ‘ancaman’ atau  suatu kekuatiran: bahwa masa depan kain tenun Nagekeo  tidak akan baik-baik saja, karena  budaya Postmodernisme, ibarat angin badai yang berhembus kian hebat.

Postmodernisme

Istilah ‘postmodernisme’ pertama kali digunakan oleh Frederico de Onis pada tahun 1930-an untuk menyebutkan gerakan kritik di bidang sastra, khususnya sastra Prancis dan Amerika Latin.

Kemudian sosilogi Inggris, Arnold Joseph Toynbee (18189-1975),  mengartikan 'postmodernme' sebagai masa yang ditandai perang, gejolak sosial, revolusi yang menimbulkan anarki, runtuhnya rasionalisme dan pencerahan.

Lalu sosiolog Amerika, Daniel Bell (1919-2011) mengartikan ‘postmodernisme’ sebagai kian berkembangnya kecenderungan-kecenderungan yang saling bertolak belakang, yang muncul bersamaan dengan semakin bebasnya daya instingual dan kian membubungnya kesenangan dan keinginan.

Sementara itu,  filsuf dan kritikus literasi berkebangsaan Amerika, Frederic Jameson, mengartikan ‘postmodernisme’ sebagai logika kultural yang membawa transformasi dalam suasana kebudayaan umumnya.  

Singkat kata, postmodernisme adalah sebuah revolusi kebudayaan yang ditengarai dapat membongkar tradisi filsafat, ilmu pengetahuan, kesenian dan kesusatraan, serta nilai-nilai tradisional.

Sebagaimana diketahui, banyak postmodernis menganut satu atau lebih pandangan berikut: (1) tidak mengakui adanya realitas objektif; (2) tidak menerima kebenaran ilmiah (kebenaran objektif); (3) memandang sains dan teknologi (dan bahkan nalar dan logika) bukanlah kendaraan kemajuan manusia, melainkan instrumen yang mencurigakan dari kekuasaan yang mapan; (4) menganggap nalar dan logika tidak valid secara universal; (5) menolak bahwa sifat manusia (perilaku dan psikologi manusia) ditentukan dan dibangun secara sosial; (6) bahasa tidak mengacu pada realitas di luar dirinya; (7) menolak  adanya kevalidan ilmu pengetahuan; dan (8) tidak mengakui kebradaan teori umum tentang alam dan dunia sosial yang valid, dan menganggap semuanya sebagai  “metanarasi” yang tidak sah. (Bdk.www.britannica.com).

Lebih daripada itu, masyarakat postmodernis cenderung menyingkirkan prinsip produksi informasi, dan menggantikannya dengan  prinsip reproduksi informasi.

Era postmodernisme pun ditandai oleh fenomena  unik,  dimana beragam media komunikasi dan teknologi informasi seperti radio,  televisi, kompiter, telepon, satelit, kabel, mesin fax, internet, dan bahkan mesin fotokopi  berbaur. Mereka kemudian menjalankan fungsi sebagai media komunikasi dan saluran informasi.

Namun ‘pembaruan’ fungsi itu tak hanya terjadi pada perangkat media dan teknologi informasi, tetapi juga berlaku di dalam otak manusia. Akibatnya interaksi antara sesama manusia berlangsung secara sangat ramai, kompleks, bahkan tumpang tindih.

Oleh karena itu, setiap orang tampil dengan cara berpikir berbeda, menyampaikan pendapat dengan cara yang berlainan bahkan berseberangan, sehingga  menimbulkan kebingungan, keragu-raguan dan rasa tidak saling percaya dalam masyarakat (Jenkins H., 2006: 3-6),

Dalam budaya baru postmodernis, identitas diri manusia tidak melulu dibentuk oleh elemen-elemen sosial-budaya seperti bahasa, kesenian dan artefak termasuk kain tenun, melainkan leih oleh pencitraan melalui perangkat ‘media konvergensial’ seperti media sosial. (Bdk.Giddens A. 1990).

Postmodernisme Menggegoti Seni Tenun

Arus postmodernisme pun  tak hanya merongrong pola pikir, pula interaksi sosial dan pembentukan identitas diri, tetapi juga menggerogoti dunia kesenian.

Jika kesenian modern tetap terhubung kuat dengan bentuk-bentunya yang  tradisional dan tetap setia pada media paling terkenal seperti lukisan, gambar,  patung, kesenian postmodern justru mengandalkan berbagai media baru, seperti instalasi, video, dan pertunjukan.

Bahkan, postmodernisme mendefinisikan kesenian sebagai perpaduan, bahkan percampuran tanpa standar, antara sesuatu yang klasik (asli, tradisional) dan sesuatu  yang modern.

Mereka tak lagi mengakui karya seni sebagai dunia kecil (mikrokosmos) yang merepresentasi  masyarakat dan dunia yang lebih luas (makrokosmos). (Bdk.Fanfan Giovanni. 2019), tetapi sebagai sesuatu yang merepresentasikan dirinya sendiri guna memenuhi selera pasar.

Efeknya adalah munculya keinginan yang sangat kuat di kalangan warga masyarakat untuk melakukan inovasi pada semua produk budaya tradisional, termasuk kain tenun,  supaya menjadi selaras dengan tren pasar atau selera konsumen.

Dari sini sering muncul kekuatiran bahwa produk kain tenun tradisional berikut kearifan lokal yang melekat padanya, bakal ‘tenggelam’, bahkan punah sama sekali.

Pemerhati dan pecinta kain tenun tradisional  Nagekeo, George Soge So’o dalam busana  bernuansa postmodernis: memadukan tekstil modern dan kain tenun tradisional Nagekeo (Foto: Istimewa)

Kain Tenun, Mikrokosmos dan Dahaga Pasar

Bicara mengenai masa depan kain tenun, titik pijaknya berada sangat jauh di masa lalu. 

Untuk memahami kain tenun sebagai sebagai sebuah karya seni yang diterjang arus deras postmodernisme, kita perlu merujuk ke gerakan Penelope Project yang fokus mengaitkan metode menenun kuno dan sejarah ilmu pengetahuan, termasuk dengan ilmu filsafat Yunani kuno.

Melalui artikel bertajuk “Ancient textile technology and the emergence of Greek philosophy” (2019) Giovanni Fanfani, anggota tim Pelope Project, mengungkapkan bahwa logika khas yang menghasilkan motif dalam menenun, khususnya pada alat tenun lusi telah  digunakan para wanita Yunani kuno sekitar abad ke-6 SM.

Menurut Giovani Fantani, struktur dan motif kain tenun tertnyata mewakili model berpikir tentang struktur dunia fisik yang lebih luas dan dunia kosmos. (Catatan: ‘Kosmos’, Bahasa  Yunani:  κόσμος, yang arti aslinya adalah 'struktur teratur', keteraturan).

Fantani juga mengungkapkan bahwa logika para wanita Yunani kuno saat menenun ternyata telah menginspirasi Phytagoras untuk membuat rumus matematika, dan mencerahkan filsuf Aristitoles untuk mencetuskan konsep filosofis bahwa ‘sebuah karya seni adalah perwakilan dari dunia luar (representasi)’.

Sejatinya, tulis  Giovani Fantani,  karya seni seperti seni tenun tradisonal adalah sebuah dunia kecil (mikrokosmos) yang mencerminkan dunia luar yang lebih besar (makrokosmos).

Namun, postmodernisme menggugat dan menggusur konsep "representasi" tersebut, dan menggantikannya dengan konsep ‘re-representasi’.

Melalui  konsep baru itu,  kain tenun tak lagi karya seni yang mewakili ‘mikrokosmos’, tetapi  menjadi  sebuah ‘karya seni daur ulang’ dengan memadukan unsur yang klasik (tradisional) dan unsur yang kontemporer. 

Dengan demikian, kain  tenun tak lagi menjadi  bentuk representasi dari ’sebuah dunia kecil yang teratur' yang mengandung makna sosial-kultural dan spiritual, tetapi menjadi  sebuah bentuk re-representasi atau produk daur ulang’, memadukan secara suka-suka (tanpa standar) antara aspek yang tradisional dan aspek yang kontemporer dengan tujuan utama memuaskan dahaga pasar semata.

Postmodern, Kain Tenun dan  Imam Katolik

Ketika mendengar istilah postmodernisme, kita sering tergoda untuk membayangkan ‘gerakan’ yang asing, dan terjadi di negara-negara yang sudah maju di benua Eropa dan Amerika.  Padahal, sebetulnya gerakan itu tidak selalu terjadi seperti begitu.

Dalam konteks kain tenun misalnya,  gerakan postmodernisme jutru muncul di tengah masyarakat Nagekeo (Flores) sendiri, dirintis oleh para imam Katolik. 

Gerakan tersebut timbul sebagai dampak lanjutan dari menguatnya gerakan inkulturasi liturgi yang dikampanyekan gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II.

Gerakan itu tercermin jelas pada pengadaan pakaian liturgis seperti  Kasula dan Stola yang dikenakan seorang imam Katolik saat merayakan Ekaristin atau Misa Kudus dan perayaan liturgis lainnya.

Sejak awal dekade 1980-an, secara tidak terduga imam-imam muda, lulusan Seminari Tinggi Santo Paulus Ledalero, dan Seminari Tinggi Santo Petrus Ritapiret, mulai memperkenalkan sebuah ‘produk postmodernis religius’ dengan cara memadukan kain tenun tradisional (Flores/Nageko) dengan tekstil modern seperti kain linen  yang  menjadi bahan utama pembuatan Kasula dan Stola.

Penulis masih ingat, ketika ditahbiskan menjadi imam oleh Mgr Donatus Djagom SVD pada 12 Juni 1984 di Nangaroro,  Pater Nikomedes Mere SVD (Pater Medes)  dan Romo Benediktus Daghi Pr (Romo Bene), mengenakan Kasula dan Stola yang dibuat dari kain tenun lokal, Duka (Rhuka) Tonggo.

Bahkan, ketika merayakan Misa Perdana di Stasi Wodomia  beberapa hari kemudian, imam muda Romo Bene justru tidak mengenakan jubah dan kasula, melainkan mengenakan pakaian tradisional Nagekeo dipadu dengan stola bermotif kain tenun Nagekeo.

Yang menarik, mengenakan pakaian liturgis dari kain tenun tradisional  tidak hanya dilakukan oleh Pater Medes dan Romo Bene saja.  Hampir semua imam muda kala itu, bahkan hingga sekarang ini, -baik yang dari Nagekeo maupun daerah lainnya di Pulau Flores,  gemar mengenakan pakaian liturgis dari bahan kain tenun tradisional.

Tidak diketahui apa landasan teologis atau pun pastoral, mereka melakukan hal tersebut. Namun, dalam perbincangan dengan beberapa imam Katolik, penulis menangkap pesan bahwa memasukan unsur kain tenun ke dalam pakaian liturgis seperti Kasula dan Stola, adalah tindakan yang memiliki makna yang sangat mulia.

Hal itu menjadi bukti bahwa gereja Katolik memberi perhatian khusus dan menghargai tinggi karya seni tenun para wanita. Bahkan, gereja  membawa kain tenun  ke dalam wilayah yang paling sakral dalam perayaan liturgis gereja Katolik, seperti perayaan Ekaristi Kudus dsn perayaan sakramental lainnya.  Dengan demikian,  gereja Katolik  mentrafosmasi  sakralitas kain tenun, dari ‘kain yang sakral secara adat”, menjadi ‘kain yang sakral  secara Katolik’.  

Yang menarik, tanpa banyak sosialisasi,  ‘gerakan' itu diterima oleh masyarakat (umat Katolik), termasuk oleh para wanita penenun  sendiri. Selaras dengan semakin marak kain tenun digunakan untuk pembuatan pakaian liturgis,  para wanita penenun seperti ‘berlomba-lomba’ menghasilkan kain tenun terbaik.

Tidak jarang mereka menenun kain ‘terbaik’  sebagai hadiah terindah untuk anggota keluarga atau kerabatnya yang menjadi imam Katolik. Bahkan, mereka juga menjadikan kain tenunnya  sebagai ‘persembahan’  kepada Tuhan.

Menjadi Bahan Baku (Asesoris) Fashion Sekuler

Kemudian, mulai awal tahun 2000-an,  kain tenun Nagekeo mulai digunakan secara luas sebagai bahan pakaian modern seperti kemeja, jas dan blus serta rok.

Awal dekade 2010-an, mulai muncul pula semacam ‘gerakan’  menciptakan fashion modern dari bahan kain tenun tradisonal yang dipadu dengan tekstil modern.

Asesoris fashion yang terbuat dari kain tenun tradisional Nagekeo (Foto: Istimewa).

Belakangan, kain tenun tradisonal ataupun kain tenun ‘palsu (yang diproduksi melalui teknologi sablon) makin lazim dipakai sebagai bahan pembuatan  asesoris fashion sepert tas, dompet,  songkok, masker, anting,  sepatu atau sandal. Bahkan, kain tenun dipakai untuk sofa, taplak meja, gorden, dan sprei.

Jadi, dalam dua dekade terakhir kita menyaksikan dua tren yang bertolak belakang. Pada satu sisi kain tenun Nagekeo seperti  ‘naik pamor’ atau semakin ‘berharga’ konteks  ekonomi-pasar atau ekonomi kreatif, tetapi dalam konteks sosio-budaya, kain tenun mulai berada dalam situasi ‘gamang': dihargai sebagai artefak sakral oleh adat dan dibawa masuk ke tempat sakral gereja Katolik, tapi juga perlakukan sebagai bahan asesoris fashion seperti alas kaki (sepatu, sendal). (Bersambung). ***

*Maxi Ali, pemimpin redaksi Floresku.com. Tulisan ini disarikan dari buku 'Pesona Seni Tenun dan Budaya Nagekeo, (2023), yang ditulis atas prakarsa Yayasan Alsemat Jakarta dan Dinas P dan K Nagekeo.  ***