Nagekeo
Selasa, 07 Mei 2024 11:59 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
Oleh: Maxi Ali*
POPULATIRAS kain tenun yang kian menanjak menimbulkan ‘rasa bangga’ yang luar biasa di kalangan orang Nagekeo atas seni tenun dan budaya Nagekeo.
Rasa bangga tercermin nyata dalam aneka unggahan perihal kain tenun di berbagai laman media online dan media sosial seperti Facebook, Instagram, Youtube dan TitTok. Tentu saja unggahan berita dan foto serta video tentang kain tenun Nagekeo dilakukan dengan tujuan yang beragam.
Ada unggahan berupa tautan Uniform Resource Locator (URL) berita media online tentang kain tenun untuk memperkenalkan seluk-beluk tradisi menenun dan produk kain tenun Nagekeo yang beraneka jenis.
Ada pula unggahan di media sosial untuk mempromosikan fashion dan asesoris kekinian seperti kemeja, jas, blazer, jaket, blus, celana, songkok, masket, tas, sandal, jok mobil, sprei, penutup sofa yang memakai kain tenun Nagekeo sebagai bahan bakunya.
Aksi-aksi kreatif seperti tentu saja semakin melambungkan popularitas kain tenun Nagekeo, baik di lingkup nasional, maupun internasional.
Semenjak awal dekade 2010-an, bertumbuh semacam ‘euforia’ atau perasaan bangga dan gembira yang berlebihan atas kain tenun Nagekeo.
Kebanggaan atau kecintaan berlebihan itu menggoda kalangan pelaku usaha mencomot sejumlah motif kain tenun Nagekeo kemudian membawanya ke mesin dengan teknik cetak saring (sablon).
Mereka kemudian mencetak motif-motif tenun Nagekeo pada kaus oblong (T-shirt) dan lembaran tekstil lainnya yang fashionable.
Pada fase selanjutnya, bermunculanlah berbagai profuk fashion kekinian yang dibuat dari tekstil bermotif kain tenun tradisional Nagekeo.
Produk (kain tenun) palsu (fake products) tersebut memiliki segmen pasar tersendiri. Yaitu kelompok orang yang punya selera fashion kekinian, tetapi juga memiliki rasa cinta dan bangga akan kain tenun tradisional Nagekeo.
Tidak semua kalangan menyambut baik kehadiran ‘kain tenun palsu’ Nagekeo. Kalangan yang menolak ‘kain tenun palsu’ itu tida semua warga senior atau generasi X dan generasi Babyboomer, melainkan juga dari kalangan muda: generasi milenial dan generasi Z.
Salah satu figur milenial yang memprotes keras kehadiran ‘kain tenun palsu Nagekeo’, adalah George Soge So’o.
Pria muda asal Nangaroro, Nagekeo yang berkiprah di bisnis sablon dan fashion itu menyatakan sangat prihatin dengan berkembangnya ‘kain tenun cetakan’ yang banyak digandrungi lantaran harganya terjangkau dan bahannya yang fashionable.
Ia pun mengajak publik Nagekeo untuk selalu mencintai dan merasa bangga dengan ‘kain tenun asli’, dan menolak ‘kain tenun palsu’ yang menjiplak motif-motif kain tenun Nagekeo. (Hans Obor, Nagekeopos. blogspot.com/November 15, 2016).
Akan Berdampak Begatif
Sikap penolakan yang diajukan George Soge So’o semestinya terus dikampanyekan secara luas, baik oleh pemerintah daerah, akademisi, media massa, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan para pemangku adat Nagekeo.
Betapa tidak, sejumlah hasil penelitian di beberapa masyarakat adat seperti di Persia-Iran dan di Cordillera-Baguio-Flipina, membuktikan bahwa kehadiran ‘produk kain tenun palsu’ berdampkt negatif: merusak warisan budaya masyarakat adat, dan kearifan lokal. (Bdk.Sahar, 2018; Hent, 2021).
Para peneniti mengemukakan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan motif pada produk kain tenun etnik selama beberapa dekade dan abad, seperti iklim, budaya, adat-istiaadat, dan nilai-nilai masyarakat, suku, dan keluarga dari para wanita penenun sendiri.
Kehadiran ‘kain tenun palsu’ membuat apa yang dibangun selama berabad-abad lamanya, sirna seketika. Nilai-nilai yang dikandungnya pun lenyap dalam sekejap.
Dampak negatif serupa berpeluang besar terjadi di masayakat adat Nagekeo juga.
Seperti diketahui umum, tradisi menenun dan produk kain tenun Nagekeo, selalu terpaut dengan warisan nilai-nilai filosofis, spiritual, sosial dan kultural yang diwariskan oleh para nenek moyang. Itu sebabnya maka kain tenun Nagekeo selalu dipandang sebagai ‘produk yang sakral’.
Namun, melalui ‘kain tenun palsu’, pihak yang ‘memalsukan’, dan pihak yang mempromosikan serta memanfaatkannya ikut ambil bagian dalam ‘gerakan’ melunturkan nilai-nilai luhur atau kearifan lokal yang diwariskan para nenek moyang itu.
Memalsukan dengan cara mencetak atau menyablon motif kain tenun Nagekeo yang rumit pada kain sintetis dapat disebut sebagai aksi ‘pemerkosaan’ adat dan budaya.
Hal itu juga dapat dikategorikan sebagai sebuah aksi kriminal: pelanggaran hak cipta dan perampasan kekayaan intelektual (Bdk. Undang-Undang RI No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta).
Sebagai sebuah aksi kriminal, semestinya segala upaya dan promosi ‘kain tenun palsu’ harus dilawan dan dicegah sedapat mungkin.
Sertifikat Indikasi Geografis
Upaya perlawanan dan pencegahan hanya bisa terjadi apabila warga masyarakat adat diberi pemahaman bahwa kerajinan tangan merajut kain tenun dan pembuatan motif-motif kain tenun adalah sesuatu yang mengandung hak citpta dan hak kekayaan intelektual..
Dalam bimbingan Dekranasda dan Diskoperindag, warga Nagekeo semestinya menghargai dan melindungi hak cipta dan kekayaan intelektuatersebut.
Berkenaan dengan itu mereka wajib mendaftarkan kain tenun Nagekeo di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk mendapatkan Sertifikat Indikasi Geografis (SIG).
Menurut situs resmi Dirjen Kekayaan Intelektual Indikasi Kemenkumham, ‘Indikasi Geografis’adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan.
Tanda yang digunakan sebagai Indikasi Geografis dapat berupa etiket atau label yang dilekatkan pada barang yang dihasilkan. Tanda tersebut dapat berupa nama tempat, daerah, atau wilayah, kata, gambar, huruf, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut. (Bdk. www.dgip.go.id).
Sayangnya, hingga saat ini motif-motif kain tenun Nagekeo belum didaftarkan di Kemenkumham sehingga belum mengantongi SID dari Kemenkumham. (Bdk.-ntt.kemenkumham.go.id).
Makanya, tak mengherankan apabila siapa pun yang berminat, tak merasa risih dan bersalah sedikit pun untuk menjiplak motif-motif kain tenun tradisional Nagekeo.
Jadi, SIG atau tanpa pengakuan dan pendaftaran hak cipta dan kekayaan intelektual atas motif-motif kain tenun Nagekeo, maka kita hanya bisa mengurut dada menyaksikan ‘kain tenun palsu Nagekeo’ beredar di mana-mana.
Apabila hal itu dibiarkan terus berlanjut, maka kita tak usah lagi bermimpi, bahwa generasi muda Nagekeo masa depan akan termotivasi melestarikan tradisi menenun kain tradisional. Mereka juga tak akan punya ‘rasa memiliki’ , apalagi ‘rasa bangga’ atas kain tenun.
Sebab, kain jenis itu sudah menjadi ‘produk palsu' yang anonim, bukan lagi artefak penanda identitas sosial-budaya, dan kearifan lokal yang diwariskan oleh para nenek moyang. (Bersambung).
*Maxi Ali, pemimpin redaksi Floresku.com. Tulisan ini disarikan dari buku 'Pesona Seni Tenun dan Budaya Nagekeo, (2023), yang ditulis atas prakarsa Yayasan Alsemat Jakarta dan Dinas P dan K Nagekeo. ***
16 hari yang lalu