Kita Memang Mesti Bersabar dalam Iman yang Teguh

Kamis, 02 Mei 2024 19:04 WIB

Penulis:redaksi

A KONS BERO.jpg
Pater Kons Beo SVD, Roma (Dpkpri)

“Aku hanya memiliki tiga hal untuk diajarkan: Kesederhanaan, Kesabaran, dan Kasih Sayang”
(Lao Tzu, Filsuf China, 571)

P. Kons Beo, SVD

Dibutuhkan bertahun-tahun, bahkan berabad-abad lamanya, bahwa narasi itu akhirnya tiba pada kepastian. Iya, hadir dalam kebenarannya. Penceritaan atau tepatnya pewartaan tentang kebenaran datangnya Mesias melalui suara nabi yang satu ke nabi lainnya, sungguh kini telah hadir dalam diri Yesus, Sabda Kebenaran Yang Hidup.

Tentu tepat bila mesti mengutip Surat Ibrani, “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan  nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya” (Ibr 1:1-2).

Penantian panjang Israel akan Mesias, dalam bingkai Adventus, tidak hanya berorientasi pada lahirnya seorang Bayi suci dan Penyelamat. Tetapi bahwa penantian itu bisa dimaknai sebagai kisah menyongsong ‘lahirnya sebuah bahasa, kata, firman’ yang terinkarnasi dalam Sang Putra.

Bobot jumpa antara yang ilahi dan yang insani terenung dalam seruan, “Sabda Telah Menjadi Daging, dan Diam di tengah-tengah Kami...” Kita menyambut Sabda, Firman itu, tak sekedar memaknainya sebagai medium – sarana, dengannya Allah berbicara kepada kita. Tetapi Firman itu sendiri adalah Allah yang berbicara. Firman itu adalah Allah yang menyapa (cf Yoh 1:1).

Tetapi, hadirnya Firman yang telah menjadi daging (manusia), tak hanya ditangkap sebagai warta penggenapan  janji Allah. Pada perenungan di sisi lainnya, Firman yang telah jadi manusia sesungguhnya menata kembali  ‘kata, bahasa, seruan’ di antara manusia yang telah dirusakkandan menjadi amat suram maknanya.

Tuhan tak hanya hadir dalam tindakanNya yang kuat perkasa. Saat yang sakit disembuhkan, saat yang bisu tuli dibuatNya mendengar dan berbicara, saat yang timpang dibuatNya berjalan, saat yang lapar dan haus dibuatNya ‘sampai kenyang,’ atau bahkan ketika yang mati dihidupkan kembali.

Tuhan hadir pula dalam kekuatan kata-kata yang menyembuhkan, yang meneguhkan, yang mempertemukan dan mendamaikan, dalam kata-kata penuh maaf dan pengampunan, dalam kata-kata penuh sapaan yang menerima. Dan semuanya ditata dalam kata-kata penuh harapan.

Manusia tak hanya binasa karena sikap dan tindakan saling mencekal dan sungguh ‘bikin mati kutu’ satu terhadap yang lain. Manusia tak hanya bernasib konyol karena aneka tindakan penuh tekanan dan sarat kekerasan satu terhadap yang lain. 

Tak hanya itu. Dalam banyak geliat kontak di antara manusia, terhamburlah kata-kata yang mendera dan menderu bagai terjangan tsunami.  

Manusia bisa jadi tak elok, bahkan liar dalam bersuara dan berkata-kata. Alam penuh saing tak sehat yang dibantali dengan rasa penuh benci dan tak sukanya pada saatnya sungguh meracuni kata-kata yang terucapkan.

Kita mudah tersandra antara aura kata ucap dan kata batin yang kontradiktif nuansanya. Kita maklumkan ‘cinta Tuhan cemerlang hari ini, bagai mentari menyinari semesta...’ Namun sebenarnya pengapnya hati membenci itu tetap membekas yang terpantul dalam kata dan ujaran.

Teralami sebenarnya apa yang disebut sebagai lubang menganga dari ‘krisis kepercayaan.’ Kita jauh dari apa yang kita yakini dan wartakan. Kita suarakan kasih dan setia, namun kita sulit enyahkan ‘benci dan pengkhianatan.’ Kita nyaringkan kebenaran tetapi kita tetap berdansa rapat-rapat pada kebohongan dan kepalsuan.

Itulah mungkin yang dapat dikemas dari gagasan Voltaire. Sederhananya, sejauh kita dapat ungkapan sekian menderang kenyataan (kebenaran) melalui kata dan bahasa, toh sejauh itu pula kita sekian lincah dan trampil untuk ‘menyembunyikan apa sesungguhnya yang terjadi dan yang dirasakan’ (fakta). Dan sepatutnya, apakah yang mesti kita lakukan?

Goncangan pada nilai yang dilabrak oleh ‘prasangka dan kecurigaan’ kini mesti dihadapi oleh berbagai lapisan masyarakat dunia. Diyakini bahwa ‘tak cukuplah hanya dengan akurasi penggunaan kata-kata. 

Tak melulu hanya dengan uarkan data-data dan fakta sana-sini, yang sebenarnya bisa hadir sebatas  ‘kerangka-kerangka’ yang tinggal hanya dipompa dengan genjotan opini, asumsi atau tafsiran sendiri. Ketahulilah, “Makna (kebenaran) bukanlah sesuatu yang kita tetapkan sesuka hati kita.”

Kita hidup dalam alam ekspansi massif arus media. Inilah kharateristik arus info di zaman now. Ketika siapapun sengit memburu info, mengejar kebenaran, serta melitania segala kebobrokan dan kegagalan. Saat telah ditambah amunisi demi gempuran membabat kemunafikan serta telanjangi kepalsuan. 

Syukurlah, tetap ada alarm media yang menyentak agar siapapun terjaga dan segera bangun dari tidur. Dan tak selamanya tetap terlelap asyik dalam kepekatan kegelapan malam.

Kini,  suara profetik sudah dipersempit saat digencarkan hanya pada  kisah-kisah berbau tengik. Dan lebih dari itu, secara samar namun nyata dikaroserilah polarisasi masyarakat: kiri-kanan, kambing-domba, kafir-agamis, amoral-senonoh, dan seterusnya antara dua hal yang bertabrakan. Dan untuk semuanya, bukankah rangkaian kata dan kalimat yang dipakai? Entahlah kalimat-kalimat itu tunggal maknanya atau saja kalimat itu bersayap, dan bersayap pula maknanya.

Jika memang harus pulang kepada Alkitab (Kitab Suci), maka kita pasti dapati seikat kembang kebenaran yang pasti. Tertulis, “Konflik antara kebenaran dan kepalsuan di dalam Kitab Suci tidak hanya berkenaan dengan ketepatan atau akurasi penarasiannya, walaupun tentu hal itu penting.”

Kata-Kata dalam Sabda Tuhan itu selalu memberi hidup dan harapan serta memperlihatkan kepada kita jalan-jalan untuk kembali bertumbuh serta berkembang. Ini pasti amat bertentangan dengan kata-kata pendakwah murni  yang tetap gencar merendahkan, menghina, mendepak dan mengasingkan.

Dalam Yesus, “Jalan, Kebenaran dan Hidup” (Yoh 4:16), tetaplah Bapa ‘yang terbitkan matahari dan turunkan hujan baik bagi yang benar maupun yang tak benar’ dan justru pada aura inilah kita terpanggil menjadi anak-anak Bapa (cf Matius 5:45).

Sekiranya mesti mengintip kembali St Thomas Aquino, ‘memandang sesuatu (seseorang) sebagai ciptaan bukan sekadar melihat dia di depan mata kita saja, tetapi juga untuk melihat dia diciptakan untuk menjadi apa.’  Sebagai setiap anak manusia itu berziarah dalam kehidupan sepanjang itu pula ziarah doa dan pengharapan yang kita kalungkan di leher dan di hati kita.

Dunia jadi ‘maju, berkembang dan hidup’ sebab ada sekian banyak orang yang bertahan, yang bersabar di dalam doa dan harapan. Dunia dan sesama jadi berkembang sebab ada ‘kita yang tetap mempersiapkan ladang hati agar semuanya dapat bertumbuh.’

Semoga tak teramat spritualistik jika mesti membayangkan betapa bersabarlah Bunda St Monika dalam air mata doa penuh harapan bagi sang putra Agustinus untuk kembali. Di dalam keseharian, tidak kah terdapat sekian banyak orangtua yang sungguh bersabar, berkorban, dan tetap dalam kebesaran jiwa dan hati akan anak-anaknya yang tak indah dan tak beruntung jalan hidupnya?

Injil selalu punya nuansa dan kisah ‘mencari, bersabar, menanti, berpengharapan, mendoakan, memaafkan dan selalu memberkati. Jalan ini spiritual injili memang tak mudah. Sebab kita terkadang hanya sebatas lereng zona pendakwaan, penghakiman dan penghukuman. Kita masih tertati-tati untuk menggapai puncak pembebasan dalam kuasa Tuhan.

Di titik inilah, dalam setiap rel-rel kehidupan setiap kita, “cobalah bersujud. Mumpung kita masih diberi waktu….” Sebab bahkan di titik ini, di sini dan sekarang ini pun “Kita tidak dapat mengetahui sepenuhnya siapa kita ini. Kita diciptakan agar berkembang menjadi seseorang yang tidak dapat kita bayangkan. Tuhan melampaui segala kata kita, yang tidak dapat kita bayangkan…”

Apa yang dilihat hari-hari  ini pada sesama, bisa terjadi sebenarnya adalah kekaribanku di hari-hari silam. Dan bahkan bakal bisa menjadi keakrabanku di hari-hari mendatang. “Hanya Tuhan yang tahu pasti, apa gerangan yang bakal terjadi lagi,” kata Bang Ebiet G Ade.

Kita tetaplah umat dan masyarakat beriman yang percaya sungguh akan kekuatan dan kebesaran Kata-Kata Tuhan yang berkuasa. Yang sungguh mengasihi.....

Verbo Dei Amorem Spiranti

Collegio San Pietro - Roma