flores
Kamis, 17 Juni 2021 18:20 WIB
Penulis:redaksi
SUATU ketika dalam masa pengasingan, Sukarno terkena penyakit malaria. Selama beberapa hari, ia dirawat seorang dokter berkebangsaan asing hingga sembuh. Pada masa itu, malaria merupakan penyakit yang menakutkan, apalagi waktu itu Ende tak memiliki fasilitas kesehatan memadai.
"Setelah (Sukarno) sembuh, salah satu lukisannya digunakan sebagai pengganti ongkos dokter," demikian kisah yang dituturkan kurator pameran Seni Rupa Koleksi Istana Kepresidenan, Mikke Susanto, kepada media, Kamis, 28 Juli. 2017 silam. Sayangnya, Mikke tak mengetahui judul lukisan tersebut.
Pengasingan itu, Mikke melanjutkan, awalnya membuat Sukarno tertekan. Namun, tak berlangsung lama, Sukarno membentuk kelompok sandiwara yang dinamakan Kelimutu. Sepanjang pengasingannya selama empat tahun itu, Sukarno dan Kelimutu berhasil mementaskan 12 naskah drama.
Bukan hanya seni pertunjukan, Sukarno pun mendapatkan kesempatan melanjutkan hobi melukisnya. "Selama di Ende, diperkirakan Sukarno menghasilkan 10 lukisan," kata Mikke.
Tentu saja, di sela-sela berbagai kesibukannya, Bung Karno meluangkan waktu untuk mendalami Islam melalui bacaan, permenungan dan korespondensi dengan ‘guru agama'nya yang berada nun jauh d pulau Jawa. Berikut cuplikan surat Islam ke-8 yang oleh ditulis Bung Karno dari Ende.
Ende, 22 Februari 1836.
Assalamu’alaikum,
Belum juga saya bisa tulis artikel tentang nomor ekstra taqlid sebagaimana saya janjikan, karena repot “mereportir” sekolahnya saya punya anak, dan karena - … di Ende ada datang seorang guru pesantren dari Jakarta golongan kolot, dan - kebetulan juga – seorang lagi golongan muda dari Banyuwangi, sehingga, walaupun mereka itu dua – duanya datang di Ende buat dagang, toh saban malam bertamu di rumah saya. Sampai jauh – jauh malam mereka soal – bersoal satu sama lain dan kadang – kadang udara Ende menjadi naik temperature hingga hampir 100 derajat! Saya tertawa saja, - senang dapat melihat orang dari “dunia ramai” ! - hanya menjaga jangan sampai udara itu terbakar sama sekali. Dan selamanya saya diminta menjadi hakim. Tak usah saya katakana kepada tuan bahwa kehakiman saya itu, sering membikin tercengangnya itu guru-pesantren, padahal seadil-adilnya menurut hukum!
Karena rupanya berhadapan dengan orang interniran politik, maka kawan muda itu bertanya: bagaimanakah siasatnya, supaya zaman kemegahan Islam yang dulu – dulu itu bisa kembali? Saya punya jawab ada singkat: “Islam harus berani mengejar zaman.” Bukan seratus tahun, tetapi seribu tahun Islam ketinggalan zaman. Kalau Islam tidak cukup kemampuan buat “mengejar” seribu tahun itu, niscaya ia akan tetap hina dan mesum. Bukan kembali kepada Islam – glory (kemegahan Islam) yang dulu, bukan kembali kepada “ zaman chalifah”, tetapi lari ke muka, lari mengejar zaman, - itulah satu-satunya jalan buat menjadi gilang – gemilang kembali. Kenapa toh kita selamanya dapat ajaran, bahwa kita harus mengkopi “zaman chalifah” yang dulu – dulu? Sekarang toh tahun 1936, dan bukan tahun 700 atau 800 atau 900? Masyarakat toh bukan satu gerobak yang boleh kita “kembalikan” semau – mau kita? Masyarakat minta maju, maju ke depan, maju ke muka, maju ke tingkat yang “kemudian”, dan tak mau disuruh “kembali”!
Kenapa kita musti kembali ke zaman “kebasaran Islam” yang dulu – dulu? Hukum syari’at? Lupakah kita, bahwa hukum syari”at itu bukan hanya haram, makruh, sunnah, dan fardlu saja? Lupakah kita, bahwa masih ada juga barang “mubah” atau “jaiz” ? Alangkah baiknya, kalau umat Islam lebih ingat pula kepada apa yang mubah atau jaiz ini! Alangkah baiknya, kalau ia ingat, bahwa di dalam urusan dunia, di dalam urusan statesmanship, “boleh berqias, boleh berbid’ah, boleh membuang cara-cara dulu, boleh mengambil cara-cara baru, boleh ber-radio, boleh berkapal-udara, boleh berlistrik, boleh bermodern, boleh berhyper – hyper - modern, asal tidak nyata dihukum haram atau makruh oleh Allah dan Rassul! Adalah satu perjuangan yang paling berfaedah bagi umat Islam, yakni perjuangan menentang k e k o l o t a n. Kalau Islam sudah bisa berjuang mengalahkan kekolotan itu, barulah ia bisa lari-secepat-kilat mengejar zaman yang seribu tahun jaraknya kemuka itu. Perjuangan menghantam orthodoxie ke belakang, mengejar zaman ke muka, - perjuangan inilah yang Kemal Atartuk maksudkan, tatkala ia berkata, bahwa “Islam tidak menyuruh orang duduk termenung sehari-hari di dalam masjid memutarkan tashbih, tetapi Islam ialah pe r j u a ng a n”. Islam is progress: Islam itu kemajuan!
Tindakan –tindakan ulilamri – ulilamri di zaman Islam – glory itu tidaklah , dan tidak bolehlah, mejadi hukum bagi umat Islam yang tak boleh diubah atau ditambah lagi, tetapi hanyalah boleh kita pandang sebagai tingkat – tingkat perjalanannya sejarah, - merely as historic degrees ( melulu sebagai tingkat – tingkat perjalanan sejarah).
Bilakah kita punya penganjur – penganjur Islam mengerti falsafatnya historic degrees ini, - membangunkan kecintaan membunuh segala “ semangat – kurma” dan “semangat – sorban” yang mau mengikat Islam kepada zaman kuno ratusan tahun yang lalu, kecintaan berjuang mengejar zaman, kecintaan berqias dan berbid’ah di lapangan dunia sampai ke puncak – puncaknya kemodernan, kecintaan berjuang melawan segala sesuatu yang mau menekan umat Islam ke dalam kenistaan dan kehinaan?
Kabar Ende: Sehat – wal’fiat. Bagaimana di sini?
Wassalam,
SUKARNO