Kelimutu
Jumat, 25 Juni 2021 22:57 WIB
Penulis:redaksi
SELAMA berada di Ende (1934-138) Bung Karno bersahabat dengan warga masyarakat dari segala kalangan, mulai dari pastor, ustad, petani, pedagang sayuran, pemetik buah kelapa, sopir, bujang yang tidak bekerja, hingga para nelayan. Salah satu yang paling berkesan, saat dirinya mulai berkenalan dengan seorang nelayan bernama Kota.
Kepada Kota, Bung Karno membuka gerbang pintu rumahnya lebar-lebar. Setelahnya, keduanya aktif saling berkunjung satu sama lain. Lebih lagi, dalam kunjungan itu Bung Karno begitu menikmati aktivitas bersantai di tepi pantai.
Kadang Bung Karno mengajak istrinya. Kadang pula mengajak anak angkatnya, Ratna Djoeami dan Kartika. Mereka menikmati pesona Pantai Ende, dari semerbak indah purnama di pantai hingga debur ombak yang gemuruh. Di tengah aktivitas itu, Bung Karno melihat langsung kesibukan nelayan Ende yang baru turun ke laut.
Nelayan adalah manusia yang paling kaya, tapi juga paling miskin. Merekalah manusia yang paling sabar menanti datangnya ikan ke kail. Mereka kaya dengan ikan, tapi sangat miskin dengan uang," cerita Bung Karno kepada Omi (Ratna Djoeami) dan Kartika dikutip Lily Martin dalam buku Kisah Cinta Inggit dan Bung Karno (1992).
Dalam keprihatinan terhadap nelayan, Bung karno belajar banyak hal. Terutama, terkait kepekaan terhadap masalah kaum tak berpunya. Pengalamannya bercengkrama dengan nelayan, petani, dan sopir itu jadi penggerak bagi Bung karno memperjuangkan nasib rakyat miskin. Kemiskinan jadi dasar Bung Karno untuk melawan, membela, dan membawa segenap rakyat Indoensia lebih dari belenggu penjajahan Belanda.
“Aku merindukan pulau Jawa, aku merindukan kawan‐kawan untuk mencintaiku. Merindukan hidup dan segala sesuatu yang dirampas dariku. Selagi duduk di sana aku melihat seorang lelaki lewat. Seorang diri. Dan basah‐kuyup. Tiba‐tiba ia menggigil. Kukira belas kasihku meliputi seluruh bangsa manusia, karena melihat orang itu menggigil, akupun menggigil. Sungguh pun badanku kering, aku serta‐merta merasa basah kuyup. Tentu, perasaan ini dapat diterangkan dengan pertimbangan akal, akan tetapi ia lebih daripada itu. Aku sangat perasa terhadap orang yang miskin — baik dia miskin harta maupun miskin dalam jiwanya,” ungkap Bung karno dikutip Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).
Nah,kerinduannya akan para sahabatnya di pulau Jawa, merupakan salah satu alasan mengapa Bung Karno kadang-kadang meluangkan waktu untuk menulis surat-surat Islam. Simaklah surat Islam Bung Karno yang ke-10 berikut ini!
Ende , 12 Juni 1936.
Assalamu’alaikum,
Saudara! Saudara punya kartupos sudah saya terima dengan girang. Syukur kepada Allah Ta’ala saya punya usul tuan terima!
Buat mengganjel saya punya rumah tangga yang kini kesempitan, - saya punya onderstand dikurangi, padahal tadinyapun sudah sesak sekali buat membelanjai – segala saya punya keperluan -, maka saya sekarang lagi asyik mengerjakan terjemahan sebuah buku Inggris yang mentarichkan Ibnu Saud. Bukan main hebatnya ini biography! Saya jarang menjumpai biography yang begitu menarik hati. Tebalnya buku Inggris itu, - format tuan punya “Al-lisaan”-, adalah 300 muka, terjemahan Indonesia akan jadi 400 muka. Saya minta saudara tolong carikan orang yang mau beli copy itu, - atau barang kali saudara sendiri ada uang buat membelinya? Tolonglah melonggarkan saya punya rumah tangga yang disempitkan karting itu.
Bagi saya pribadi buku ini bukan saja ikhtiar ekonomi, tetapi adalah pula satu pengakuan, satu confession. Ia adalah menggambarkan kebesaran Ibnu Saud dan Wahhabism begitu rupa, mengkobar-kobarkan elemen amal, perbuatan begitu rupa, hingga banyak kaum “tafakur” dan kaum pengeramat Husain c.s. akan kehilangan akal nanti sama sekali.Dengan menyalin buku ini, adalah satu confession bagi saya bahwa , saya, walaupun tidak mufakati semua sistem Saudisme yang masih banyak feudal itu, toh menghormati kaum kepada pribadinya itu laki-laki yang “towering above all Moslems of this time; an immense man, tremendous, vital, dominant. A giant thrown up out of the chaos and agony of desert, - to rule, following the example of his Greate teacher, Mohammad” (artinya: ialah bahwa Ibnu Saud itu seorang laki-laki yangmelebihi semua orang Muslim zaman sekarang, seorang raksasa yang mengikuti teladannya Nabi Muhammad s.a.w.) Selagi menggoyangkan saya punya pena menterjemahkan biography ini, ikutlah saya punya jiwa bergetar karena kagum kepada pribadinya orang yang digambarkan. What a man! Mudah-mudahan saya mendapat taufik menyelesaikan terjemahan ini dengan cara yang bagus dan tak kecewa. Dan mudah-mudahan nanti ini buku dibaca oleh banyak orang Indonesia, agar bisa mendapat inspirasi. Inspirasi bagi kita punya bangsa yang begitu muram dan kelam-hati, inspirasi bagi kaum Muslimin yang belum mengerti betul-betul artinya perkataan :”Sunnah Nabi”, - yang mengira, bahwa sunnah Nabi s.a.w. itu hanya makan korma, please tolonglah. Terima kasih lahir-bathin, dunia akhirat.
Wassalam,
SUKARNO
sebulan yang lalu
6 bulan yang lalu