Legenda 'Telo Poi' , Kain Tenun Lurik Asli Rendu, Nagekeo

Senin, 15 Mei 2023 13:38 WIB

Penulis:redaksi

Editor:redaksi

tasikapa.JPG
Pemuda dan Pemudi dari Kampung Dhozo Djo, Taikapa, Desa Tutu Bhada dalam balutan kain tenun ikat Rendu. Sang pemudi tampakmengenakan Roba Telepoi. (Dinas Kebudayaan, P dan K, Kabupaten Nagekeo)

NUNUNGONGO (Floresku.com) - Kain tenun dengan  pola bergaris yang dikenal dengan sebutan Lurik banyak ditemukan di Pulau Jawa. Namun, ternyata  di wilayah Rendu, Kecamatan Aesesa Selatan terdapat kainn tenu lurik yang dikenal dengan sebutan Roba Tele Poi. 

Tak banyak yang tahu kalau memiliki latar belakang sejarah yang panjang lagi unik.

Kepada Floresku.com,  Bernadus Geru (76), salah satu tokoh adat di Kampung Adat Nunungongo di wilayah Rendu mengatakan kebudayaan Rendu didukung oleh empat suku yaitu Suku Redu, Suku Isa, Suku Gaja dan Suku Malawawo. Kampung Adat Nunungogo didiami oleh Suku Redu dengan leluhur awalnya adalah Ebu Redu. 

Dari kiri ke kanan: Bapak Barnadus Geru (76), Bapak Aloysius Tipa (70) dan Mama Ester Dhajo (75). (Sumber: Ricky/Ani).

Menurut Geru, hikayat nenek moyang orang Redu secara ringkas tercermin dalam ungkapan adat, “Dodho zili mai jo, wa’u zili mai Wio’. Artinya, turun dari perahu layar, datang dari tanah Wio (Sumba). Itu tejadi sekitar abad ke-16 Masehi. 

Namun, dia menambahkan, ada pula cerita lisan versi kedua mengenai asal muasal Ebu Redu. Versi kedua itu menyebutkan bahwa leluhur Ebu Redu datang dari Toli-Toli, Tanah Toraja, Sulawesi Selatan. 

Mereka kemudian berpindah ke Sumba. Setelah menetap beberapa lama di sana (Sumba) dan kawin-mawin dengan orang dari Suku Goa dan Jawa, baru mereka berlayar menuju Flores.

Dari Sumba ke Tanah Rendu

Menurut Geru, rute pelayaran dan perjalanan nenek moyang orang Redu yaitu dari Sumba ke Labuan Bajo, lalu ke Watu Doa, selanjutnya ke Puta (Marapokot).

 Dari Puta mereka berpindah ke Tata Nara, lalu ke Wari Ke’o di sekitar Bo’anio. Selanjutnya mereka berpindah lagi ke Wolowea. 

Di sana mereka meminta kepada penduduk asli untuk menetap di Redu Wawo. Dari Wolowea mereka berpindah ke Redu Ola. Kemudian mereka berpindah lagi ke Wolo Luba. 

Dari sana mereka beralih ke Boa Ale. Setelah beberapa lama mereka berpindah lagi ke Jawa Kisa, lalu ke Kupe Bare. Dari sana mereka ke Nunungongo. Dari sini ada yang kemudian berpindah ke Tutu Bhada.

Setia menjaga tradisi, warisan nenek moyang

Geru mengatakan penetap pertama di Kampung Nunungongo adalah  Ebu Raja Gaja dan Ebu Mega Wea. Keturuan langsung dari Ebu Raja Gaja dan Ebu Mega Wea adalah Ebu Paso Mango yang kemudian melahirkan Aloysius Tipa (70), yang kini menjadi Ketua Adat Kampung Nunungongo.

Tipa mengatakan, keturunan Ebu Redu yang menetap di Kampung Nunungongo adalah orang-orang yang taat pada istiadat nenek moyang.

“Orang Rendu umumnya, termasuk yang tinggal di kampung ini (Nunungongoo, red) adalah orang-orang yang setia menjaga tradisi budaya warisan nenek moyang, salah satu di antaranya tradisi menenun Roba Tele Poi,” jelas Tipa. 

Legenda Roba Tele Poi 

Ester Dhajo (75), penenun senior dari Kampung Adat Nunungongo menuturkan, tradisi menenun sudah dikenal oleh orang Redu pada umumnya, dan orang Nunungongo khususnya, sejak zaman para nenek moyang. 

Menegaskan penuturan Dhajo, Geru mengatakan, menurut cerita yang dituturkan secara turun-temurun, saat berpindah dari Sumba ke tanah Redu, para nenek moyang membawa serta adat kebiasaan mereka, salah satunya kebiasaan menenun.

Pada awalnya, wanita Redu zaman dulu menenun kain tenun putin polos. Namun, suatu ketika, para wanita wanita berpikir untuk membuat kain tenun yang berbeda.  

Ilustrasi: Gambar kiri: Telur Belalang Penyembah (Sumber: IStock). Gambar kanan: Kain tenun Redu, Tele Poi. yang secara harafiah Telo Poi berarti ‘Telur Belalang’. (Sumber: istimewa).

Menurut Geru pula, pada zaman dahulu, para wanita Redu memodifikasi kain tenun putih yang diwariskan oleh nenek moyang mereka dari Sumba menjadi Roba Mite dengan dekorasi sederhana berupa garis-garis berwarna biru. 

Hal ittu dilakukan setelah mereka mewarnai benang-benang yang hendak ditenun dengan perwarna alamiah yaitu Tau. Roba Mite sederhana itu kemudian menjadi sarung umum dikenakan oleh kaum lelaki Redu. 

Namun, para wanita penenun itu belum merasa puas dengan kain tenun berwarna hitam tersebut. Mereka ingin memiliki kain tenun yang cantik. 

Menurut legenda,  dia melanjutnya, suatu  ketika seorang wanita penenun Redu secara kebetulan menemukan sebuah telur belalang sembah di atas ranting belukar.  Telur belalalang itu berwarna  kemerahan dengan pola bergaris-garis. 

“Pola bergaris pada telur belalang itulah yang kemudian mereka membuat kain tenun bergaris dengan paduan warna merah (toro), hitam (mite) dan biru (guza),”  kata Geru.

Sejak itu, orang Redu memiliki lurik atau kain tenun ikat yang coraknya berjalur-jalur yang disebut dengan nama Roba ‘Telo Poi’. Secara harafiah Telo Poi berarti ‘Telur Belalang’.

Perlu dilestarikan dan didukung

Ketua Rt Nunugungongo Jo mengemukakan, dalam beberapa tahun terakhir, Nunungongo semakin banyak dikunjungi oleh wisatawan, baik yang lokal, nasional, maupun internasional. 

Kampung Adat Nunungongo di Desa Tengatiba, Kecamatan Asesasa Selatan, Kabupaten Nagekeo (Sumber: Istimewa).

Oleh karena itu, warga sudah bersepakat untuk menata rumah adat agar tampilannya menjadi semakin menarik, sambil terus meningkatkan kebersihaan lingkungan, termasuk menyediakan toilet yang bersih.

Selain itu, warga juga bertekad untuk melestarikan seni-budaya yang diwarisakan para leluhur. Termasuk di antaranya, terus mengembangkan tradisi menenun, dengan membentuk Kelompok Tenun, GIGA, Gelu Ine, Gase Ame (Menggantikan (Peran) Ibu, Melanjutkan (Peran) ayah.” 

“Kami bercita-cita, suatu saat nanti bisa membangun Rumah Tenun untuk kelompok GIGA ini. Sehingga mereka tak lagi menenun di bawah kolong rumah seperti sekarang ini,” ujar Jo.

Niat Jo dan warga Kampung Nunungongo selayaknya didukung. Sebab, selain sebagai salah satu daya tarik wisata, Telo Poi juga adalah sumber pendapatan bagi warga.

Satu lembar kain Telo Poi dijual dengan harga antara rendah 500 ribu hingga satu juta rupiah. 

“Bahkan, ada turis asing yang bersedia membayar dengan harga mendekati dua juta rupiah,” ungka Maria Goreti Konga (40), anggota Kelompok Tenun GIGA dengan nada bangga.  (Maxi  Ali) ***