manggarai
Sabtu, 02 November 2024 21:27 WIB
Penulis:redaksi
Oleh: Maxi Ali Perajaka
SABTU, akhir pekan kelima Oktober lalu, ‘saudara saya’ Sirilus Wali dari Kupang menelepon.
Seperti biasa kami mengobrol dalam bahasa ‘Nga’o’ -salah satu jenis bahasa yang dipakai oleh warga di wilayah Flores tengah, tepatnya di jalur perbatasan Kabupaten Nagekeo dan Ende.
Meski sudah lama merantau sekitar 30 tahun, saya di Jakarta dan Sirilus di Kupang, kami tetap merasa memiliki identitas budaya yang sama. Alat permersatu utamanya adalah Bahasa Nga’o itu.
Biasanya dari percakapan menggunakan bahasa lokal tu, kami mudah tergelincir untuk membahas kembali (bhawa wado) kisah ‘rekaman’ pengalaman masa kecil dan remaja ketika masih di kampung halaman.
Saya dan Sirilus memang tidak dari kampung yang sama. Saya dari Madasela di wilayah Kabupaten Nagekeo (sebelumnya, Ngada), sementara Sirilus dari Kampung Ndangakapa di wilayah Kabupaten Ende.
Namun, kedua kampung itu sangat rapat dan hanya dibatasi sungai yang pada masa lalu banyak ikan dan udangnya.
Kami memang merasa seakan ‘satu kampung’ dengan identitas budaya yang sama. Pasalnya, warga kedua kampung itu menghidupi budaya dan tradisi yang persis sama, mulai dari bahasa, keseniaan tradisional mulai dari adat ‘pasa fai – tu ngawo’ ‘puse bedhi, ‘ngoa ngi’i, ‘Cenda-Gore’ (menyanyi sembari bekerja di ladang) ‘teke se’, ( menari dan bersyair mengelilingi anp unggu semalam suntuk), bermain ‘tudhu adu’ (saling mendorong alu), ‘gewu’ (makan nasi baru -dari hasil panen baru) sampai ke ritual berburu Ndai dan tane mata le’e’.
Apalagi, setiap hari kami belajar dan bermain di sekolah yang sama, SDK Kojamata (kini: SDK Malasera), dan pada hari Minggu kami beribadat di Kapela yang sama, Kapela Stasi St Martinus, Madasela.
Singkat cerita, secara budaya kami memiliki ‘identitas’ atau ‘jati diri’ yang sama.
Meskipun, kalau mau dilihat secara lebih detil, wilayah ini termasuk wilayah budaya yang sudah lama kehilangan sehingga memiliki ‘identitas budaya’ yang ‘banci’. Mengapa disebut ‘banci’? ya, karena pada setiap upacara adat, warga di wilayah ini ‘bingung’ hendak mengenakan pakaian tradisional apa?
Akibatnya, kaum wanita memilih mengenakan busana tradisional Lio (lawo-lambu), sementara kaum pria ‘suka-suka’ saja. Kalau punya Rag atau Duka Tonggo, mereka akan mengenakan. Kalau kedua jenis tenunan itu tidak mereka miliki, mereka akan mengenai, tenunan Lio pula, biasanya Duka Wolotopo – karena kebanyakannya penjualnya papalele dari Lio Selatan, Wolotopo.
Selain itu, banyak dongeng (nunange) lokal yang diceritakan bukan dalam bahasa Nga’o, tetapi dalam bahasa Ende.
Kenangan akan masa silam itulah yang secara alam bawa sadar memotivasi dan memampukan Sirilus menggubah sejumlah lagu litrugis dengan motif lagu-lagu tradisional dari wilayah ini.
***
Kembali ke percakapan Sabtu lalu. Dari seberang, terdengar Sirilus berbicara dengan hati kesal. Betapa tidak, beberapa waktu sebelumnya, ia mendapat cerita dari Gani -salah satu warga Ndangakapa- yang mengisahkan suatu kejadian aneh di kampungnya.
Dikisahkan saat acara penutupan masa KKN para mahasiswa Undana di Desa Tenda Ondo, Kecamatanan Nangapanda, Kabupaten Ende, warga Kampung Ndangakapa dan Koporombo melakukan acara ramah-tamah perpisahan.
Seperti biasa, dalam acara itu ada sambutan-sambutan dan makan besar bersama.
Usai ‘makan besar’ ada acara lanjutan yaitu menari. Sebetulnya, menari bukan hal baru bagi warga di Desa Tenda Ondo.
Menurut cerita kaum tua-tua, sudah sejak tahun Kampung ini sudah punya Band Kampung, namanya ‘Masa Muda’.
Pemain band kala itu menyanyikan lagu berirama Coutry, Walz dan Keroncong. Para muda-mudinya sudah piawai menari Pakarena. Memasuki akhir 1970-an ketika masukalat musik Radio Cassete, ada yang memperkenalkan dansa juga.
Namun dansa kalah pamor dengan tarian Pakarena dan Rokatenda serta goyang Dangdut. Belakangan, semua jenis tarian itu digusur oleh tarian populer Ja’i dan Gawi.
Mengutip Gani, Sirilus mengisahkan bahwa pada malam perpisahan itu, terjadi hal yang luar biasa. Warga lokal yang sudah begitu akrab dengan Ja’i dan Gawi, dibuat terperangah oleh para mahasiswa yang membawakan sebuah dansa jenis langka, yaitu Kizomba.
Bagi kebanyakan warga yang hadir pada malam itu, gerakan Dansa Kizomba ibarat petir di siang bolong.
Betapa tidak, saat berdansa Kizomba, mahassiswa dan mahasiswi itu saling berpelukan begitu erat, sehingga sebagian dari bagian-bagian tertentu dari tubuh mereka saling menempel dengan ketat.
Kata Gani, “kami warga kampung, baik yang tua maupun anak-anak hanya bengong. Ada yang menggeleng-gelengkan kepala saat melihat dua anak manusi berlawan jenis itu bisa berpelukan begitu rapat di muka umum, tanpa merasa rish sedikit pun.”
Saking ‘kaget’nya menyaksikan ‘pertunjukan Kizomba’ para mahasiswa malam itu, tak ada satu pun orang tua-tua, termasuk Kepala Desa Petrus Ta pun sempat buka suara untuk menegur.
Ibarat Bunda Maria dalam kisah Kitab Suci, mereka “menyaksikan dan menyimpan semuanya dalam hati dan ingatan”.
***
‘Begitu sekilas cerita miris dari Ndangakapa, sana,” kata Sirilus.
“Kalau di Kupang, di Timor sini, keadaan sudah sangat parah. Dansa Kizomba sudah menjadi semacam ‘wabah’ di Kota Kupang dan hampir seluruh desa di daratan Timor.”
Tarian itu muncul beberapa tahun lalu. Sekarang, sudah menjadi ‘tarian wajib’ dalam setiap acara pesta.
“Pada setiap pesta, para remaja dan kaum muda hanya menunggu momen mencari pasangan lalu menggoyangkan tubuh dalam irama Kizomba,” cerita Sirilus.
Orang-orang tua di sini, kata Sirilus, tak bisa berkomentar banyak. Walaupun di antara mereka, sering terlontar ungkapan kesal, dan kalimat tidak setuju dengan dansa model baru tersebut.
“Bagaimana orang-orang tua tidak merasa prihatin, ketika melihat putri atau keponakan mereka dipeluk rapat-rapat di hadapan banyak orang oleh pria yang baru dijumpai di tempat pesta? Sirilus bertanya.
‘Bukan hanya memeluk erat. Maaf, dada wanita menempel erat di dada pria. Lalu, paha mereka saling menyeruak masuk ke celah paha lawan jenis,” Sirilus menmbahkan.
“Bagi anak-anak gadis yang datang ke pesta bersama orangtua, tentu keadaan masih bisa dikontrol. Tapi, bagaimana dengan anak-anak gadis seperti anak-anak kos. Siapa yang akan mengontrol mereka setelah berpelukan rapat di tempat pesta?,” ujar Sirilus menirukan komentar orang tua-tua yang biasa ia dengar.
***
Bermula dari Angola
Menurut asal-usulnya, Kizomba adalah aliran tari dan musik yang berasal dari Angola.
Kizomba muncul di Angola pada akhir tahun 1970-an hingga awal tahun 1980-a. dipengaruhi oleh ritme Afrika dan compa Haiti.
Kizomba dicirikan oleh ritme yang lebih lambat, romantis, dan lebih sensual daripada musik Semba tradisional Angola.
Musik Semba sendiri, yang berarti "sentuhan perut", menjadi bagian yang memberi warna khas pada Dansa Kizomba.
Semba menjadi populer di Angola pada tahun 1950-an tetapi mulai berubah selama tahun 1980-an ketika irama Karibia seperti zouk kembali ke pantai Barat Afrika.
Irama yang lebih lambat dan lebih tenang bergabung dengan semba untuk menciptakan Kizomba, dan tarian tersebut memiliki nuansa yang berbeda, menjadi "lebih intim, sensual, dan lebih lambat" (Oyebade 2007, 156).
Jasi, musik dan Dansa Kizomba bertumbuh sebagai perpaduan dari Semba, Angola Merengue, Kilapanga, dan pengaruh musik Angola lainnya.
Eduardo Paím yang dikenal secara internasional sebagai "bapak atau pencipta musik Kizomba menjelaskan bahwa Kizombai adalah warisan nasional Angola dan berarti "pesta" dalam bahasa Kimbundu.
Secara tradisional, Dansa Kizomba ditarikan bersama keluarga, teman, dan kenalan dalam suasana sosial seperti pesta dan pernikahan.
Pada mulanya lagu Kizomba dinyanyikan dalam bahasa Portugis/Portugis Angola. Namun, kini dapat dinyanyikan dalam bahasa lain, karena Kizomba populer di banyak negara, terutama di negara-negara berbahasa Portugis, seperti Angola, Tanjung Verde, Guinea-Bissau, Mozambik, Guinea Khatulistiwa, São Tomé dan Príncipe, Timor Leste, Brasil, dan Makau.
Di dunia Barat, Kizomba juga diminati oleh kaum muda Portugal, Inggris, Prancis, Belgia, Spanyol, Belanda, Luksemburg, AS, dan beberapa negara Eropa Timur.
Budaya Populer Global vs Budaya Populer Lokal
Secara kebudayaan, tren merebaknya Dansa Kizomba di NTT adalah fenomena ‘kompetisi kebudayaaan’.
Sebagai elemen budaya populer global, Danza Kizomba, masuk ke NTT entah lewat jalur mana, ‘bersaing’ dan merebut hati warga muda NTT yang dalam beberapa tahun belakangan ini sangat menggandrungi Tarian Bonet, Tarian Ja’i, Tarian Gawi sebagai representasi budaya populer lokal.
Tarian Bonet misalnya adalah tarian tradisional masyarakat Atoni Pah Meto di Pulau Timor, yang mengandung nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong.
Tarian Ja’i berasal dari suku Ngadha yang dibawakan untuk menyatakan rasa syukur dan kegembiraan.
Sementara itu, tarian Gawi (Lio), -juga Teke (Nagekeo) dan Dolo-dolo (Flotim) - yang menyatakan rasa kekeluargaan, kebersamaan dan syukur.
Lalu, nilai-nilai apakah yang ditawarkan oleh Dansa Kizomba?
“Saat melihat orang berdansa Kizoma saya melihat mereka seperti sedang berciuman dan bercumbu mengikuti irama musik,” kata Luis Ramirez, seorang pengamat Kizomba dari Portugal.
Kesan seperti ini pula yang berkembang di benak banyak orang di NTT, mulai dari Kampung Ndangakapa hingg ke Kota Kupang sekarang ini.
Kesan seperti itu barangkali menjadi semakin liar ketika Anda membaca kesaksian seorang penari perempuan Kizomba asal Kanada sebagai berikut:
“Sentuhan lembut, gerakan tangan lelaki yang menekan secara berirama ke punggung bawahku, membuat darah di sekujur tubuhku mengalir lebih deras. Ada suatu sensasi aneh yang merasuki jiwaku.
Saat saya menghentak-hentakan kakik mengikuti irama musik,, paru-paruku seperti ikut mengembang untuk menghirup napas pasanganku karena napas kami berhembus selaras dengan irama.
Otot perutku berkontraksi di bawah kulit. Dan, aku menunggu pahanya bergesekan dengan pahaku untuk mengarahkanku ke mana aku harus bergerak.
Aku merasakan energi kam tersalurkan melalui koneksi di dada, tangan, dan pelipis kami.
Kami terus berupaya untuk memindahkan berat badan kami dengan koneksi kulit-ke-kulit yang tak pernah berhenti,.
Aku bisa merasakan kami jatuh lebih dalam. Energi yang lebih kuat datang dari tubuhnya saat lengannya mengencang pelukannya di punggungku.
Tubuhku menegang saat ia mencengkeramku, lalu ia menggerakkanku tiga langkah cepat ke belakang. Berhenti sebentar.
Kemudian ia meletakkan kakiku di antara kakinya, mengisolasi pinggulku dan memutar tubuh bagian bawah kami ke kanan. Berhenti sebentar.
Kami menunggu. Ia melingkarkan lenganku di lehernya, menelusuri konturnya dan meluncur sampai ke titik itu di punggung bawahku.
Semburan sensasi kecil pun menyusul. Hanya gerakan terkecil yang membuat kami terus menari dalam dekapan erat, serasa enggan untuk dilepaskan. Begitulah sesansiku saat memaikan Dansa Kizomba dengan pria yang baru aku kenal dalam pesta itu.”
***
“Mengingat sentimen-sentimen dan gaya tariannya, setap penari baru dan mereka yang bukan penari, sering menafsirkan Kizomba sebagai sesuatu yang seksual atau seksi,” kata Jonas de Matos, guru Dansa Kizomba di Luansa, ibukota Angola.
Tetapi, de Matos menegaskan, bahwa "bukan itu maksudnya." Tarian Kizomba dalah tentang menghubungkan pikiran, tubuh, dan jiwa: bergerak sebagai satu"
Nilai dan identitas budaya
Sosiolog Polandia Antonina Kłoskowska (1919-2001) mendefinisikan kebudayaan sebagai kumpulan nilai-nilai, norma-norma, keyakinan, tradisi, dan praktik-praktik yang membentuk identitas suatu kelompok masyarakat.
Sementara itu ahli kebudayaan, Theodore M. Steeman (1874-1946) mengartikan nilai sebagai sesuatu sesuatu yang memberi makna dalam hidup, yang memberi acuan, titik tolak dan tujuan hidup.
Nilai menjadi sesuatu yang dijunjung tinggi, yang dapat mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang. Nilai tidak hanya dipandang sekadar keyakinan, nilai selalu menyangkut pola pikir dan tindakan, sehingga ada hubungan yang amat erat antara nilai dan etika.
Dari uraian di atas cukup nyata bahwa budaya pupoler NTT (seperti tercermin pada tarian-tarian populer) dbentuk oleh nilai-nilai yang khas orang NTT seperti gotong royong, kebersamaan/kekeluaraan, rasa syukur dan kegembiraan. Nilai-nilai tersebut menjadi penanda identitas orang NTT.
Sementara, budaya populer global (sebagaimana tercermin pada Dansa Kizomba) terbentuk oleh nilai-nilai kesatuan karena menghubungkan pikiran, tubuh dan jiwa.
Nilai-nilai tersebut dianut sekaligus menjadi penanda identitas orang Angola dan bangsa-bangsa yang lain merasa dekat/sama dengan orang Angola misalnya karena menggunakan bahasa yang sama, Portugis.
Lalu, bolehkan orang-orang NTT menarikan Dansa Kizomba? Tentu saja boleh! Tapi, yang menjadi soal, apakah orang NTT akan memperkuat identitas (menjadi semakin NTT) dengan fasih membawakan Dansa Kizomba? Jawaban tentu saja tidak!
Malah, sebaliknya yang terjadi, dengan menjiwai Dansa Kizomba orang NTT akan kehilangan identitas budayanya sendiri.
Mengapa? Sebab, nilai-nilai yang diusung oleh Danza Kizomba adalah kesatuan: pikiran, tubuh dan jiwa.
Nilai ‘kesatuan’ ini berbeda makna dengan nilai ‘persaudaraan’ yang menjadi cirikhas atau penanda identitas orang NTT.
Bagi orang NTT ‘nilai persaudaraan’ berarti ikatan batin antara manusia yang tidak bisa dipisahkan, dan tercermin dalam semangat gotong royong. Nilai persaudaraan juga dapat diartikan sebagai: Menjadi "sesama" bagi orang lain; Membangun hubungan baik dalam keluarga, komunitas, dan masyarakat; Memiliki rasa tanggung jawab, kepedulian, dan solidaritas untuk membantu; Memiliki rasa empati dan kasih sayang yang mendalam; Saling memahami kelebihan dan kekurangan masing-masing; Menjadi manusia yang mau hadir bagi sesamanya; dan Berbagi dalam suka dan duka. Pengertian ini selaras dengan nilai Injili seperti Matius 22:39 dan Lukas 10:27.
Nilai persaudaraan itu tentu sangat berbeda maknaya ndengan dengan nilai kesatuan pikiran, jiwa dan tubuh. Kesatuan pikiran, jiwa dan tubuh yang lebih selaras dengan pesan dari Kejadian 2:24; Matius 19:5; Markus 10:8; dan 1 Kor. 6:16.
Jadi, cukup jelas bahwa nilai yang diusung oleh Dansa Kizomba mengarahkan ke perkawinan sesuatu yang bersifat seksualitas, bukan sekadar sensualitas atau menyenangkan secara fisik, atau berkaitan dengan pemuasan indera atau selera. Meski tidak selalu bermakna seksual, kata sensual pun sering digunakan dalam konteks seksual.
Kiranya, para penyuka dan pelaku Dansa Kizomba di NTT, berpikir ulang soal keterlibatannya akan tarian asal Angola itu. Pertama, karena tarian itu mengaburkan ‘identitasmu’ selaku pengusung budaya NTT.
Kedua, Dansa Kizomba menggiring Anda dan warga NTT yang lain bukan ke nilai ‘persaudaraan dan gotong royong’ tetapi ke hal-hal sensual yang mengarah ke perilaku seksual yang nyeleneh. ***
sebulan yang lalu