BP3MI
Sabtu, 15 Maret 2025 14:44 WIB
Penulis:redaksi
Oleh: Maxi Ali Perajaka
PRAKTIK tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang dibalut dalam aksi perekrutan pekerja, untuk displai baik sebagai ‘pekerja rumah tangga’ (PRT) ke kota-kota besar di Jawa dan Bali, maupun sebagai pekerja migran ke negei jiran Malaysia dan beberapa negara lain, terus berlangsung.
Meski pemerintah berupaya melakukan ‘pengiriman tenaga kerja’ melalui jalur resmi setelah menjalani pelatihan di Balai Latihan Kerja, pratik perekrutan tenaga kerja secara ilegal terus berlanjut.
Para pegiat anti-perdagangan orang dan penegak hukum mensinyalir bahwa praktik TPPO berbalut ‘perekrutan tenaga kerja’ dilakukan oleh sindikat mafia yang "berlapis dan terputus" seperti jaringan peredaran narkoba.
Dalam menjerat korbannya, mereka tidak hanya menggunakan iming-iming gaji besar, proses dokumen mudah, cepat dan gratis, tapi juga menggunakan "kesucian lembaga agama" untuk menipu masyarakat desa NTT yang menjunjung tinggi agama sebagai jalan hidup.
Kasus Meriance Kabu
Awal Maret 2023 lalu, jurnalis BBC News Indonesia Raja Eben Lumbanrau, mengangkat kasus yang dialami Meriance Kabu, penyintas TPPO yang mengaku direkrut dengan bujukan kelompok doa dari satu desa terpencil di NTT.
Akibat persuasi kelompok doa itu, pada 2014 lalu Meriance Kabu bekerja sebagai PRT nonprosedural di Malaysia.
Selama delapan bulan bekerja di Malaysia, Meriance mengalami "siksaan hingga menyebabkan luka-luka". Kondisi ini terungkap berdasarkan dokumen pengadilan Indonesia dan kesaksian petugas KBRI Malaysia yang membesuknya di rumah sakit.
Dokumen pengadilan itu juga merekam putusan terhadap dua perekrut tenaga kerja di NTT, yang kemudian dijebloskan ke penjara.
"Mengapa saudara saya sendiri, orang NTT, tega menipu dan bawa-bawa nama Tuhan, sampai saya harus disiksa sekejam itu di Malaysia?" kata Meriance seperti dikutip BBC News 2 Maret 2023.
Tentu saja nasib buruk’ tidak menimpa Meriance seorang diri. Sejak beberapa dekade terakhir, diperkirakan ada ribuan orang muda, terutama wanita’ NTT yang mengalami nasib buruk seperti Meriance.
Rumah penampungan Koja
Tahun 2004 silam, sebagai jurnalis, saya diikutsertakan dalam upaya penelusuran rumah penampungan pekerja migran di daerah Koja, Jakarta Utara.
Upaya itu dilakukan berdasarkan informasi seorang gadis asal Maluku -sebut saja Diana- yang berhasil kabur dari rumah penampungan itu. Menurut dia, ada 60-an wanita ‘disekap’ di sebuah rumah penampungan di daerah Koja, Jakarta Utara.
Ketika kami tiba di rumah itu, gerbang rumah itu tertutup rapat. Namun, dari celah-celah pagar, tampak sejumlah besar wanita muda duduk dengan wajah gelisah di teras rumah. Melihat kami, ada beberapa dari mereka mendekati pagar.
Dari balik pagar besi seorang wanita berbisik dia dari daerah Detusoko, Lio.
Seorang yang lain mengaku dari Manggarai. Wanita yang lain lagi mengaku berasal dari dan Sumba.
Temuan’ itu kemudian disampaikan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) untuk ditindaklajuti.
Namun, cerita miris tidak berhenti di sini. Dari kisah ‘rumah penampungan’ di Koja itu, terungkap aib yang mungkin tak pernah dibayangkan oleh banyak orang Flobamora.
Diana mengisahkan, tak sedikit rekan-rekan PRT yang bekerja di luar negeri, hamil. “Ketika ada teman-teman kecelakaan atau hamil, agen segera menarik pulang lalu menempatkannya di rumah penampungan ke Jakarta. Setelah melahirkan, mereka kemudian dikirim kembali ke luar negeri.
Pertanyaannya, di mana atau kemana bayi mereka? Diana sendiri mengaku bahwa dia tan teman-temannya pun tak mengetahui.
Apakah bayi-bayi dikirim ke panti asuhan? Ataukah mereka ‘dijual’ ke pihak yang membutuhkan? Entalah!
Modus keluarga kaya ‘Katolik’
Antara 2010-2013, penulis sendiri berhadapan tiga kasus PRT. Secara kebetulan mereka bertiga adalah kerabat penulis sendiri.
Mereka mengaku datang ke Jakarta karena dikirim oleh oknum pastor dan suster yang memiliki relasi dengan keluarga Katolik ‘kaya’ di Jakarta.
Konon, keluarga kaya itu meminta bantuan pastor dan suster untuk merekrut OMK yang bersedia menjadi PRT, tentu saja dengan iming-iming gaji tinggi.
Ternyata, ketika tiba di Jakarta, mereka tidak bekerja di rumah keluarga kaya yang Katolik itu, tetapi ‘dipekerjakan’ ke keluarga lain yang non-Katolik. Mereka sok dan tertekan, karena suasana kerja tidak seperti dibayangkan. Mereka mengaku tidak diberi kesempatan untuk Misa pada hari Minggu.
Merasa ditipu, ketiganya -dalam waktu yang berbeda- meminta supaya dijemput’ dari keluarga yang mempekerjakannya.
Pada akhir Juni 2013, dalam penerbangan dari Denpasar -Ende, saya melihat ada Uskup Agung Ende Mgr Sensi.
Saat transit di Bandara Labuan Bajo pesawat pada akhir Juni 2013, saya memberanikan diri mendekati Bapa Uskup dan minta ijin ‘sharing’ mengenai kasus perekrutan tenaga kerja oleh oknum pastor dan suster. Mgr Sensi kaget kalau ada oknum imam dan suster terlalu mudah percaya pada ‘kemurahan hati orang kaya’ di Jakarta.
Rutin menerima ‘kado peti mati’ PMI
Kisah miris yang lain terkait pekerja migran adalah meninggal di perantauan. Flobamora atau NTT adalah provinsi di Indonesia yang rutin menerima ‘kado peti mati’ jenazah Pekerja Migran Indonesia (PMI).
Menurut catatan Kompas antara awal 2018 hingga Maret 2023 ada 657 PMI asal NTT pulang dalam keadaan tak bernyata.
Sementara itu, Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) NTT mencatat sebanyak 125 jenazah PMI dipulangkan ke tanah air sepanjang Januari hingga Desember 2024.
Dari jumlah tersebut, hanya lima jenazah merupakan pekerja yang berangkat secara legal, sementara 120 lainnya merupakan PMI non-prosedural (Bdk.rctiplus.com Minggu, 2 Februari 2025).
Menurut Kompas.id, (Jumat, 03 Mar 2025), selama Januari hingga awal Maret 2025, terdapat 24 peti mati PMI dikembalikan ke bumi Flobamora. Sedangkan, menurut Pos Kupang.com (Minggu, 8 Maret 2025) jumlahnya mencapi 29 peti mati.
Mirisnya lagi, dalam beberapa kasus, jenazah pekerja migran yang dipulangkan ke kampung halamanya itu, tidak dalam keadaan. Diduga, sebelum dipaketkan ke kaum keluargannya, pihak rumah sakit telah mengambil organ tertentu untuk didonorkan ke pasien yang membutuhkan.
Jadi, isu pekerjaan migran menjadi pelik tak hanya karena ada dugaan ‘perdagangan orang’, tetapi ada dugaan perdagangan ‘organ tubuh’ pula. (Bdk. Kompas.id. Minggu, 3 Sep 2023).
Terkait ini, pada April tahun 2024 lalu, seorang wanita 30 tahunan di Desa Nata Ute mengisahkan ‘perjuangangan kerasnya’ menolak tawaran pihak rumah sakit di Malaysia untuk mengambil organ tubuh suaminya yang meninggal akibat sebuah ‘kecelakaan kerja’.
“Selama menunggui proses pengurusan pemulangan jenazah suami, saya terus ditekan oleh piah rumah sakit agar memberi izin agar organ tertentu dari jasad suami diambil. Uangnya bisa meringankan biaya pemulangan jenazah, kata mereka.".
Namun, dia melanjutkan, “saya bersikeras menolak. Mau dibayar berapa pun saya tak mau ada organ dari jasad suami saya diambil. ”
"Saya bilang ke pihak rumah sakit, bahwa saya ada uang untuk memulangkan jasad suami saya secara utuh untuk dimakamkan di kampung halaman,” kata wanita itu dengan mata berkaca, menahan rasa duka yang masih mendera, meski kejadian itu telah berlalu dua tahun sebelumnya.
Duka itu rupanya sulit hilang dari ingatan. Soalnya sebagai istri dia memiliki firasat kuat kalau suaminya tidak meninggal karena kecelakaan kerja biasa, tetapi karena faktor lain.
“Saya hanya berpasrah kepada Tuhan. Saya selalumendoakan agar almarhum suami dianugerahi hidup kekal bersama Tuhan Yesus di surga,” ujarnya dengan mata yang berkaca krena genangan airmata. (Bersambung). ***
8 bulan yang lalu