Menunda Pemilu Dinilai Jadi Bentuk Kemunduran Demokrasi

Rabu, 09 Maret 2022 09:11 WIB

Penulis:MAR

Editor:MAR

15797--730x420px.jpg
(null)

YOGYA, (Floresku.com) - Usulan menunda pelaksanaan Pemilu 2024 oleh para elit dan kalangan partai politik menuai protes sejumlah pihak. Apapun alasan yang disampaikan elit dan kalangan partai dinilai tidak masuk akal.

Pengamat Politik dan Pemilu UGM, Wawan Mas'udi, S.IP., M.P.A., Ph.D menilai usulan menunda pelaksanaan Pemilu tidak masuk akal dan kontra produktif terhadap perkembangan dan sistem demokrasi yang telah dibangun selama ini. Pemilu dan sirkulasi kekuasaan yang bersifat rutin sesungguhnya menjadi momentum rakyat atau masyarakat sebagai pemilik kedaulatan dalam sistem demokrasi untuk melakukan koreksi.

“Pemilu itu alat mengontrol jalannya pemerintahan, baik di eksekutif maupun di legislatif. Artinya pemilu yang rutin itu merupakan fondasi bagi demokrasi elektoral yang kita punya, kalau fondasinya saja di persoalkan maka perkembangan demokrasi kita jelas akan mengarah pada kemunduran”, ujarnya di Fisipol UGM.

Menurut Wawan harus dipahami bahwa pemilu dan pergantian kekuasaan yang bersifat rutin itu merupakan ukuran paling dasar sehingga jangan sampai diganggu. Jika diganggu tentu akan membuat kemunduran, dan terbukti selama 20 tahun lebih berjalan Pemilu bisa berlangsung secara rutin dan masyarakat atau publik menaruh kepercayaan yang besar untuk sistem yang dibangun.

“Meski harus diakui pula setiap kali pelaksanaan pemilu selalu ada konflik, tapi selalu bisa diatasi. Artinya ada proses pendewasaan politik yang berlangsung pada level masyarakat, dan ini berarti pula perkembangan demokrasi di Indonesia sangat bagus”, terangnya.

Ia menuturkan dalam sejarah politik Indonesia pasca demokrasi belum pernah ada penundaan pelaksanaan pemilu karena memang tidak ada situasi yang memaksa untuk menunda. Hanya saja oleh sebab situasi pandemi sempat menunda jadwal untuk pemilu lokal (pilkada).

Meski begitu, sambungnya, tetap harus diingat kalau menunda pemilu lokal (pilkada) ada mekanisme penunjukan pejabat pelaksana (Plt) dan lain-lain. Sementara pemilu lokal untuk memilih kepala daerah ini  berbeda dengan pemilu yang bersifat umum atau nasional.

“Dan kita tahu hampir semua negara ketika pandemi menghebat banyak yang menjadwal ulang. Kalau kemudian pemilu 2024 ditunda dengan alasan yang tidak jelas bisa berbahaya, bisa-bisa masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap sistem demokrasi yang telah terbangun”, ucap Dekan Fisipol UGM.

Wawan berpendapat menunda pelaksanaan pemilu merupakan proses yang berat. Apalagi dalam konteks Indonesia dimana UUD 1945 mengamanatkan 5 tahun sekali harus dilakukan pemilihan umum.

Dengan menunda berarti harus ada perubahan pada konstitusi, dan untuk merubah konstitusi tidak semudah yang dibayangkan. Bisa saja pemilu ditunda jika ditemukan alasan yang memaksa, misal Indonesia mengalami situasi krisis atau sedang menghadapi pandemi.

“Kita kan tidak sedang dalam situasi krisis. Betul kita sedang menghadapi pandemi, betul bangsa sedang struggle menghadapi banyak hal tapi tidak sedang dalam krisis. Pandemi memang masih ada tetapi sudah bisa kita kelola, sehingga alasan penundaan itu menjadi susah pondasinya untuk saat ini”, paparnya.

Apalagi masyarakat selama dua tahun pandemi cukup mendapat edukasi, dan sudah bisa berinvestasi dalam cara hidup yang baru. Masyarakat dinilai sudah resilien terhadap pandemi, dan cakupan vaksin sudah cukup tinggi.

Wawan menilai masyarakat nampaknya siap untuk perhelatan pemilu tahun 2024. Pilkada langsung yang seharusnya dilaksanakan 2019 dan diundur 2020 karena pandemi menjadi cukup modal pengalaman untuk itu.

“Meski ditunda dan masih pandemi, pilkada yang berlangsung cukup menarik karena tingkat partisipasinya cukup tinggi dan tidak terbukti ada penyebaran atau menjadi klaster. Kita harus hargai pengalaman itu  dan masyarakat cukup kuat terhadap situasi-situasi semacam itu”, ungkapnya.

Kalaupun sejumlah elit dan partai politik masih terus ngotot menunda, kata Wawan,  melanggengkan kekuasaan dinilai sebagai motif kuat dibalik keinginan tersebut.  Mereka ingin melanggengkan kekuasaan yang dimiliki saat ini tanpa harus repot-repot mempersiapkan pemilu.

Bahkan hal inipun menimbulkan kecurigaan soal ketidaksiapan partai politik untuk bertarung dalam pemilu. Terutama para elite yang  mengusulkan karena mereka tidak siap dan tidak mampu meyakinkan pada publik sehingga survei elektabilitasnya tidak terdongkrak.

“Dengan ditunda kan akan panjang posisi dan kekuasaan mereka, baik itu di parlemen atau dimanapun. Jadi lebih kesitu, motif-motif lain saya kira susah untuk dicari. Kita tahu situasi pandemi menjadikan kita struggle tetapi kita kan tidak sedang dalam situasi krisis, tidak ada krisis politik dan tidak ada krisis ekonomi”, urainya.

Oleh karena itu, sarannya, partai politik yang memiliki fungsi agregasi dengan segala artikulasi kepentingan, saat ini justru menjadi momentum untuk mempersiapkan diri dan menunjukkan kinerja terbaik di depan publik.

Bagaimana mereka bisa berkontribusi melalui anggotanya yang ada di DPR, melalui para kepala daerah atau kadernya yang menjadi kepala daerah untuk membuktikan diri kepada masyarakat bahwa mereka bisa mengatasi dan bisa membantu bangsa ini keluar dari pandemi yang ada sekarang.

“Justru bagi partai politik saat ini mempersiapkan diri untuk proses Pemilu, kan dijadwal tahun 2024. Masih dua tahun masih bisa mempersiapkan kesitu, mempersiapkan kader guna mempersiapkan program kampanye yang baik, melakukan edukasi pada masyarakat tentang bagaimana Pemilu bisa dilakukan”, imbuhnya.

Wawan menandaskan bagi partai politik waktu dua tahun menjadi momentum yang bagus untuk mempersiapkan diri. Partai diharapkan harus bersiap untuk pemilu kedepan dan sudah semestinya berpikir kesitu.

Sekali lagi penundaan ini, menurutnya, tidak bisa dilakukan oleh elite tetapi  menjadi diskursus publik. Situasi ini dipastikan akan ramai dan kalau dilakukan justru akan melahirkan kegaduhan politik baru yang justru kontraproduktif terhadap perkembangan demokrasi.

Wawan meyakini jika isu ini terus dibawa akan memunculkan perdebatan publik yang sangat luas. Banyak elemen-elemen masyarakat, tokoh akademisi, masyarakat sipil, kekuatan-kekuatan masyarakat diluar parlemen, elite politik yang tentunya akan memberikan perspektif yang mencerahkan mengapa demokrasi perlu dijaga dengan cara pemilu.

“Saya kira perdebatannya akan kesitu. Akan banyak perdebatan dan saya yakin masyarakat kita kalangan civil society dan para akademisi akan sepenuhnya setuju. Bahkan akan tidak setuju dengan penundaan pemilu ini karena diyakini pandangannya akan cenderung sama penundaan pemilu tanpa ada alasan yang sangat mendesak itu, hanya akan menjadi pintu masuk bagi kemunduran demokrasi yang kita punya”, sebutnya. (*)

Tulisan ini telah tayang di jogjaaja.com oleh Ties pada 09 Mar 2022