Tuhan
Rabu, 18 Oktober 2023 20:42 WIB
Penulis:redaksi
Oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil.*
ORANG yang mengambil satu potong kejadian dan menjadikannya sebagai standar kebenaran bahkan mampu melihat kenyataan secara keseluruhan.
Menjadikan potongan kejadian seolah batu pijakan, melihat kenyataan dengan sedikit ketinggian. Selain lebih jelas bukankah ini sedikit menantang?
Kemampuan menerjemahkan keseluruhan kejadian secara hakikat adalah kelak, namun jika sudah di akhirat sejatinya juga ada kenikmatan, atau siksaan bagi orang jahat, pokoknya berbeda dengan kenyataan bagaimanapun selama di dunia.
Ambil lah contoh seorang perantau, sebab istilah pengembara biasa dikaitkan seringnya hanya dengan perjalanan tanpa tujuan.
Meski sejatinya mengembara dapat dimaksudkan punya tujuan yaitu perjalanan berupa jalan-jalan atau pengembaraan itu sendiri.
Adapun perantau adalah perjalanan dengan tujuan tertentu, seperti bekerja (ekonomi), belajar (ilmu).
Namun disadari atau tidak, perjalanan dalam pengertian merantau di atas sejatinya tidak semata adalah tujuan. Merantau pada tataran ideologis, justru menjelma alasan dari suatu kenyataan atau persoalan yang dihadapi dalam suatu kenyataan.
Semisal anak muda yang tidak memiliki aktivitas positif yang menghasilkan di kampung halamannya.
Pemuda tersebut sering kali melakukan kegiatan yang cenderung terkategori buang-buang waktu, maka pada saat itu dapat menjadi masa rusaknya dalam kehidupannya secara keseluruhan.
Maka dia memilih merantau ke tempat lain semisal kota untuk mencari kegiatan atau pekerjaan yang menjadi sumber peningkatan pada sisi ekonomi misalnya.
Contoh lainnya adalah seseorang yang sedang mengalami ketidaknyamanan (“unconfinence”) atau suatu persoalan, dengan pertimbangan menghindari besarnya atau timbul persoalan baru maka dia memilih untuk merantau dan mencari penghidupan meski itu di tanah orang.
Beramal berbeda dengan berdiam diri tanpa tujuan. Orang yang beramal dalam arti melakukan amal salih sejatinya meliputi berbagai aspek kehidupan manusia.
Seorang Muslim dapat beramal dengan berpikir (“tafakkur”) dalam kebenaran dan kesabaran, atau dzikir sebagai amalan lisan, atau berjihad sebagai amalan perbuatan.
Asal suatu perbuatan dilakukan karena dan dengan bimbingan Allah, maka menjadi keutamaan seorang yang beragama Islam, di mana setiap perbuatannya dihitung bahkan tidak melakukan atau menghindari sesuatu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang kamu dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami akan memasukkanmu ke tempat yang mulia (surga) (Qur’an Surat an-Nisaa’: 31)”
“(juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halamannya dan harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridloan-(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar” (Qur’an Surat al-Hasyr: 08).
“maka tuhan mereka memperkenankan dari mereka (dan Tuhan mereka berkata) “sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amalan dari kalian baik dari laki-laki atau pun perempuan sebagian dari sebagian lain. Maka barang siapa yang berhijrah dan yang dikeluarkan dari kampung halamannya, dan tersakiti di jalanKu, dan yang berperang dan yang terbunuh maka sungguh akan aku hapuskan dari mereka kesalahan mereka dan sungguh akan aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai sebagai balasan dari Allah, dan di sisi Allah sebaik-baik balasan” (Qur’an Surat Aali Imraan: 194).
Dalam pembelajaran terhadap amalan penting untuk ditinjau adalah pada porsi pembahasaan mutiara hikmah-hikmah. Urgensi poin ini adalah pada kebijaksanaan dalam menyikapi suatu amalan atau terhadap amalan seseorang.
Segala sesuatu di dunia ini sejatinya Allah jadikan seimbang antara kebaikan dengan keburukan atau antara kezaliman saling berkelindan (dalam istilah Filsafat disebut dialektika) sehingga tidak ada yang sia-sia dari segala sesuatunya.
Bahkan dikabarkan, dari orang-orang kafir sejatinya merupakan pengikut orang salih (lihat kisah pengikut Isa ‘alaihi salam dalam Ali Imran: 55).
Maka sudah sepantasnya orang yang berilmu pada derajat melebihi yang lain. Hal ini tercermin pada sikap yang disempurnakan dalam Islam dengan akhlak.
Seperti perbuatan yang identik dengan menyakiti, seperti melukai, bukankah Nabi Ibrahim melakukan penyembilihan bahkan ia niatkan terhadap anak kesayangannya?
Artinya tidak semua perilaku dalam konsepsi manusia adalah sejatinya adalah terbaik pula, terutama di hadapan Allah.
Yang terpenting adalah sebagaimana disampaikan dibatas yaitu dilakukan karena dan dengan bimbingan Allah dengan kitab sucinya serta melalui sebaik petunjuk berupa percontohan Rasul Muhammad Shallahu ‘alaihi wa sallam, “Allahu a’lam.”
*Penulis Lepas Yogyakarta