Padre Benito SVD: Kebahagiaan Itu Bernama Piscina

Minggu, 04 September 2022 12:14 WIB

Penulis:redaksi

Editor:redaksi

PADRE BENITO DI LA HABANA.JPG
Padre Benito SVD (kiri) dan Kota La Habana, Kuba (Kanan). (Dokpri/Google.com)

LA HABANA (Katolikku.com) - Di lantai dua pastoran Paroki Santa Lucia, La Habana, tempat di mana saya menetap untuk sementara waktu menunggu urusan dokumen Carnet de Identidad (kartu identitas) yang masih dalam proses, saya biasanya duduk di salah satu sudut jendela memandang keluar sambil menyeruput secangkir kopi atau menghisap mate, minuman sejenis teh khas dari Argentina, ditemani list lagu Jesse y Joy bergenre pop rock yang cukup populer di Mexico hingga saat ini.

Ritual duduk-duduk itu saya lakukan beberapa menit di pagi hari setelah sarapan, siang hari kalau sempat, dan sore hari sebelum mandi jika tidak ada kegiatan penting lainnya.

Senior dan rekan kerja Padre Benito SVD, Padre Amans Laka SVD (tengah) bersama staf KBRI, Kuba

Kalau lagi ingin, saya mengambil waktu sedikit di malam hari ketika bintang-bintang mulai berhamburan di langit Kuba yang mulai gelap.

Kebetulan pastoran terletak di samping sebuah jalan beraspal yang sudah sedikit tak terawat. Jalan tersebut selalu ramai oleh aktivitas manusia dari pagi hingga malam.

Ada yang berjalan kaki menenteng plastik atau keranjang berisi sesuatu, ada pula yang melintas dengan mobil antik keluaran tahun 60 atau 70-an yang dimodifisaki seadanya, yang lain dengan motor bertenaga listrik tanpa suara seperti hantu yang datang tiba-tiba dari belakang.

Yang lainnya lagi para penjaja dengan gerobak sederhana meneriakkan suara khasnya dengan keras, dan juga anak-anak kecil yang mondar mandir, entah apa yang mereka cari.

Itu hanya beberapa lakon dari beribu-ribu lainnya yang datang silih berganti setiap harinya. 

Sejujurnya pemandangan yang demikian tidak pernah membosankan sebab sebagian besar dari para pengguna jalan itu tidak selalu orang dan-atau kendaraan yang sama. Mereka juga muncul dengan gaya dan gestur yang berbeda-beda.

Karena itu, jalan tersebut terlihat seperti sebuah panggung di mana adegan tentang kehidupan dengan berbagai tetek bengeknya ditampilkan sebegitu variatifnya.

Namun dari sekian banyak pemandangan menarik tersebut, ada sebuah pemandangan yang cukup menyita perhatian.

Padre Benito SVD (kanan) bersama staf KBRI Kuba di La Habana,  Kuba 

Di sebelah jalan, berjejer beberapa rumah yang saling menempel satu sama lain. Salah satu dari rumah-rumah tersebut, yang berada persis di depan jendela pastoran, memiliki sebuah beranda beratapkan seng dengan sejumlah kursi terbuat dari besi yang berderet rapi, dan di sebelahnya terdapat sebuah piscina (kolam renang) mini dari fiber berukuran sekitar 4×4 meter dengan kedalaman selutut orang dewasa. Warnanya hijau.

Piscina itu sejatinya bukanlah sebuah kolam renang “normal” yang biasa kita tahu dan lihat di mana-mana. Ia lebih seperti sebuah bak besar yang diletakkan di atas tanah untuk menampung air ketika hujan turun. Sangat sederhana.

Rumah dengan beranda dan piscina mini itu selalu ramai, sebab hampir setiap hari ada segerombolan anak kecil berusia antara tujuh sampai duabelas tahun yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang berkumpul dan bermain di situ.

Satu dari antara mereka tentu pemilik rumah itu, sedangkan yang lainnya datang dari rumah-rumah sekitar.

Beberapa dari mereka berkulit putih, rambut lurus dengan warna kuning keemasan mendominasi. Sepertinya mereka keturunan Spanyol, negara yang menjajah Cuba dahulu.

Lalu sisanya memiliki karakter fisik menjurus ke afrika; kulit gelap dan rambut keriting berwarna hitam pekat.

Mungkin mereka adalah turunan dari orang-orang afrika yang dibawa oleh orang-orang Spanyol sebagai budak ratusan tahun lalu.

Beranda dan tentu saja piscina adalah tempat favorit mereka setiap kali berkumpul dan bermain bersama di rumah itu.

Di beranda mereka duduk dan bercerita. Kadang mereka tertawa terbahak-bahak seolah sedang menonton sebuah drama komedi yang lucunya minta ampun, tetapi di momen lainnya mereka serius mendengarkan salah satu teman yang berbicara seperti seorang pastor berkhotbah di gereja, lalu sesekali mereka hanya duduk diam tak bersuara memandang ke arah yang tak menentu memikirkan masa depan yang masih tanda tanya.

Padre Benito SVD (kanan) bersama staf KBRI Kuba di kebun Pastoran Paroki St Lucia, La Habana, Kuba

Ketika hari mulai siang, mereka beranjak ke piscina. Mereka menceburkan diri ke dalam kolam yang sempit dan tak terlalu besar itu.

Laki-laki bertelanjang dada sedangkan perempuan berpakaian lengkap.

Mereka berenang, berendam, bercerita, tertawa, lompat, saling siram, bersantai seolah kebahagian yang paling mereka rindukan di dunia ini ditemukan di situ, di piscina. Benar adanya.

Mereka bisa berlama-lama di piscina sampai gelap dengan aksi-aksi yang sama.

Bahkan mereka lupa bahwa dalam hidup ada yang namanya makan siang, minum air, dan istirahat.

Mungkin bagi mereka, bahagia di dalam piscina itu lebih nikmat dari pada paha ayam goreng di dapur mama, lebih segar dari air es di kulkas, dan lebih nyaman dari tempat tidur spon di rumah.

Mereka bertahan untuk kebahagiaan yang mereka temukan sendiri dan kebahagiaan itu bernama piscina.

Bulan berganti ke September. Anak-anak itu tak berkumpul dan bermain lagi seintens bulan sebelumnya. Mereka sudah kembali ke rutinitas sekolah.

Waktu yang mereka punya saat ini hanya sore hari. Sedangkan saya masih setia dengan rutinitas duduk-duduk seraya berdoa agar urusan Carnet de identidad secepatnya kelar dan bisa segera pergi ke provinsi Holguìn tepatnya Mayarì, tempat tugas yang sebenarnya, yang jaraknya duabelas jam dengan mobil dari kota Habana.

Berharap bahwa di Mayarì nanti, saya bisa bertemu dengan anak-anak manusia yang tak pernah berhenti mencari kebahagiaannya sendiri di tengah perjalanan hidup yang semakin hari semakin dekat kepada keabadian. *

Kiriman Padre Benito (Benny Raydais, SVD), Paroki Santa Lucia, La Habana-Cuba. ***