Maumere
Selasa, 06 Juni 2023 08:23 WIB
Penulis:redaksi
Oleh P. Kons Beo, SVD*
Sejak meninggalnya Pater Dr. George Kirchberger, SVD, Senin 5 Juni 2023, nyaris semua yang mengenalnya, sepertinya dipanggil pulang ke alam Seminari Tinggi St Paulus-Ledalero.
Yakinlah ada reuni angkatan ini dan itu. Pokoknya ‘ada gelombang mudik. Pulang ke Ledalero, baik sebagai ‘seminari tinggi’ maupun sebagai ‘kampus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik.’ Walau tentunya hanya lewat ‘WA Group’ atau jejaring sosial lainnya.
Di situ ada ungkapan kata-kalimat berjiwa dan penuh rasa hati. Ada ucapan rasa syukur dan terima kasih atas segala jasa saat para ‘murid ini’ jadi penghuni Ledalero.
Teman seangkatan kami seperti Yus Djogo Dja, Rofinus Jon, dan Yos Bala Makin menulis dalam nada yang sama, “Selamat jalan Pater Kirch. Teladan ketenangan, kesababaran dan kesederhanaan buat kami para muridmu.”
Eja Valens Daki Soo menulis dengan lugas, “Beliau seorang imam yang saleh, bijaksana, pendengar yang baik. Oh ya, bahasa Indonesianya sangat bagus. Saya selalu ingat, beliau yang kasih saya uang untuk beli tiket pesawat buat saya dan temanku Paskalis Saju (kemudian menjadi wartawan Kompas) dari Maumere ke Jakarta tahun 1992.”
Entahlah, ada beberapa sosok yang telah mengenal dan mengalami ‘Pater Kirch’ sejak ia menjadi penghuni Ledalero dari Agustus 1976 itu? Beliau mengampuh sekian banyak mata kuliah yang berkaitan dengan Teologi. Beliau mengajar dengan tenang, penuh kesabaran. Tentu juga dengan jalan pikiran yang runtut.
Suara baritonnya yang datar, dengan kalimat ‘berlatar Jerman’ yang panjang-panjang, memang memaksa kita untuk konsentrasi. Dan hal seperti ini tak mudah bagi teman angkatan kami seperti Anton Hibur, misalnya di dalam ruang kuliah. Tapi itulah gaya Pater Kirch mengajar.
Bagaimana pun di balik setiap kalimat Pater Kirch selalu ada getaran teologis yang menantang serentak menuntut daya reflektif yang tangguh. Bukan sekedar menginformasikan tentang Sakramen, Gereja, dogma ini itu. Tetapi di balik semuanya, bagi Pater Kirch seperti apakah kedaulatan kasih Allah yang mesti tetap menyata di dalam Sakramen, Gereja, dan dalam sekian banyak ajaran lainnya.
Mungkin tak berlebihan untuk dilukiskan, Pater Kirch sepertinya juga punya ‘kecemasan yang rasional-manusiawi.’ Ia cemas andaikan para muridnya gagal paham mengenai citra atau gambaran mengenai Allah sebagai Tuhan yang ‘kasar-kejam, penghakim-penghukum, yang mudah disogok, yang sungguh jauh, elitis-eksklusif, Tuhan yang gelisah dengan segala tuntutan ini itu, sebagai Tuhan yang lemah yang mesti dibentengi dengan segala daya upaya manusiawi yang keras dan kasar…..
Bagaimana pun teologi mesti ditangkap sebagai jembatan bagi manusia untuk mudah memahami dan mengalami Allah yan datang ‘menyapa manusia’ serentak demi terjalinnya relasi kasih dan relasi kemanusiaan di antara manusia itu sendiri.
Di WA Group kami NOVIS 86 dan TAHBISAN 94, teman moat Polce Aklong postingkan gambar buku karya Pater Kirch berjudul “Pandangan Kristen Tentang Dunia dan Manusia.” Kepada kami di group, Moat Lela ini beri komentar: “Pasti punya kalian uda ilang semua eh…”
Entah ilang atau ada yang masih menyimpannya, tetapi itulah bekal pengetahuan dan share iman Kristen yang diwariskan Pater Kirch. Allah tetap memeluk dunia dan mengasihi manusia. Tanpa syarat, dan selalu dalam Kasih Yesus Kristus. Bila ditafsir lain, Pater Kirch menjadi tak nyaman jika Sakramen, Gereja, berbagai ajaran justru menjadi kendala atau halangan ‘manusia berjumpa dengan TuhanNya’ atau ‘Tuhan dibikin penuh sulit dan angker (misteri) untuk menjumpai manusia. Bukankah hal seperti ini justru memaksa Allah untuk menggugat?
Teologi mesti secara sejuk namun pasti tampil untuk runtuhkan gambaran yang keliru mengenai Allah. Tidakkah gambaran mengenai Allah akan berpengaruh pada sikap dan tindak beragama atau sikap beriman? Bahkan berpengaruh pula pada tindakan dan praktek pastoral?
Saya yakin di ruang kuliah Ledalero, bersama Pater Kirch, ada banyak tesis dan keyakinan pribadi tentang Allah yang mesti gugur (digugurkan). Tetapi, yakinlah, beliau lalu kembali berjalan bersama para muridnya sebagai rekan dan saudara dalam iman.
Pater Kirch berjalan bersama murid-muridnya tak hanya sebagai dosen (pengajar), tetapi terutama sebagai formator. Yang dibawa dari Ledalero bersama Pater Kirch oleh para alumninya tidak hanya segudang pengetahuan dan refleksi teologisnya yang kokoh dan mendalam. Tetapi bahwa Pater Kirch membingkainya dalam alur hidup penuh ketekunan, disiplin, penuh ketenangan dan tak menyulitkan siapapun.
Saya membayangkan irama keseharian Pater Kirch (andai ia hingga akhir hayatnya masih berkamar di Wisma St. Agustinus Ledalero). Ia menuju puncak Ledalero untuk ‘mengajar di kampus dan rayakan ekaristi di Kapela Agung), tetapi ia memilih berdiam (berkamar) di bagian pinggiran Ledalero.
Entahkah Pater Kirch tak hendak ‘bertahan terus di alam puncak’ dan memilih alam pinggiran untuk bisa ‘melihat dan mengalami hidup umat Paroki Wairpelit? Pun agar ia lebih jelas mendengar dan mudah bersua dengan para mahasiswa eks-frater dalam segala suka duka dan perjuangan mereka?
Saya yakin Pater Kirch yang tenang ini tak hendak hayati cara hidup antitesis penuh berontak terhadap ‘keangkuhan Ledalero dalam alam menara gadingnya.’ Tidak! Dalam diri Pater Kirch, Ledalero justru tetap miliki ciri ‘pinggiran, apa adanya, yang sederhana.’
Pater Kirch tetap menjadi anggota dari komunitas Formasi Ledalero dengan cara dan irama hidupnya yang khas dan menyata.
Oh iya, saya sendiri memang bukan seorang muridnya yang gemilang. Termasuk kelompok ‘rata-rata atau rata net’ lah. Tak secemerlang Pater Eman Embu – Povinsial SVD Ende, atau Kraeng Rofinus Jon atau Pater Sius Sigho dan beberapa teman lainnya, misalnya. Setelah Kaul Kekal 15 Januari 1994, sebelum tahbisan diakon 20 Maret 1994, teringat di suatu sore, saya ke Pater Kirch. Ada hal sepele tapi rasanya penting buat saya.
“Pater, saya itu hari seminari menengah di Mataloko. Enam tahun. Terus jadi Frater TOP juga di Seminari Mataloko. Terus tempat perutusan saya nanti ke wilayah SVD Ruteng. Macam dekat-dekat semua. Pater, apa nanti saya bisa praktek diakonat yang jauhkah?”
Pater Kirch hanya menatap tajam. Tanpa suara. Mungkinkah dalam diamnya (waktu itu) Pater Kirch mau bilang, “Yaa, belum juga alami bagaimana sebenarnya di satu tempat perutusan, sudah mulai tak nyaman tentang jarak.”
Mungkin karena kegelisahan yang polos untuk mau ‘jalan jauh,’ saya jadinya berangkat ke Paroki Poka, Keuskupan Amboina. Iya, sebagai diakon dan imam baru yang ditahbiskan tahun 1994 itu.
Ketika mendengar hikayat ini, seorang teman lantas bilang, “Syukur kau omong begitu dengan Pater Kirch. Kalau kau berani omong begitu dengan Pater Lipus Tule, biar kau anak Ende yang banyak gara-gara, kau pasti sudah kena usir keluar dari kamar…”
Pater George Kirchberger: Selamat beristirahat dalam Rumah Abadi. Amin.
Verbo Dei Amorem Spiranti
*Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma