Penuntasan Agenda Reforma Agraria Butuh Komitmen dan Terobosan Politik Menteri Baru

Kamis, 24 Oktober 2024 16:31 WIB

Penulis:redaksi

kpar.jpeg
Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal, Konsorsium Pembaruan Agraria (Istimewa)

Catatan KPA untuk Menteri dan Wakil Menteri ATR/BPN Periode 2024-2029

JAKARTA (Floresku.com) - Setelah dilantik oleh Presiden Prabowo pada Senin, 21 Oktober 2024, Menteri ATR/BPN yang baru, yakni Nusron Wahid langsung menggelar Rapim I bersama jajaran di Kementerian.

Dalam pertemuan tersebut, ia menyampaikan arahan Presiden Prabowo kepada seluruh jajaran di Kementerian ATR/BPN mengenai agenda reforma agraria, yakni: 1) diantaranya terkait penataan kembali penguasaan, kepemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan; 2) pemanfaatan tanah negara yang terlantar; dan 3) penyelesaian sengketa. Menteri ATR/BPN Nusron Wahid, nantinya akan dibantu oleh Ossy Dermawan sebagai Wakil Menteri.

Sebagai Menteri dan Wakil Menteri yang baru, Nusron Wahid dan Ossy Dermawan harus peka terhadap pekerjaan rumah yang belum tuntas di pemerintahan sebelumnya, terutama terkait penuntasan konflik agraria. Termasuk mengantisipasi warisan buruk Pemerintahan Jokowi yang akan menjadi bom waktu jika tidak segera diurai secara cepat dan tepat.

Catatan KPA selama 10 tahun terakhir, Pemerintahan Jokowi telah gagal menunaikan janji politiknya melaksanakan land reform 9 (sembilan) juta hektar. KPA mencatat dari 851 Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) seluas 1,6 juta hektar, hanya 2,46 persen yang berhasil diselesaikan dan diredistribusikan kepada petani. 

Redistribusi itu pun hanya berjalan di wilayah konflik agraria eks HGU swasta. Sementara capaian LPRA untuk tipologi BUMN (PTPN, Perhutani/Inhutani), HTI dan klaim-klaim kawasan hutan tidak satu pun yang berhasil. 

Sementara laporan Kementerian ATR/BPN, Presiden Joko Widodo hanya mampu menertibkan tanah terlantar dari bekas HGU dan HGB seluas 77 ribu hektar dari 7,24 juta hektar tanah yang terindikasi terlantar.

Bukannya melakukan evaluasi secara menyeluruh, Pemerintahan Jokowi justru membohongi publik dengan memanipulasi angka capaian reforma agraria dengan capaian-capaian sertifikasi atau Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). 

Padahal sertifikasi adalah tugas harian Kementerian ATR/BPN, tidak menyelesaian konflik agraria dan mengurai ketimpangan penguasaan tanah. Kegagalan ini sebenarnya sangat ironis, sebab pemerintah sendiri telah mengatakan bahwa ada 7,24 juta hektar tanah (HGU dan HGB) terindikasi terlantar.

Celakanya, kemandegan penyelesaian konflik agraria di atas berjalan seiring dengan naiknya letusan konflik agraria akibat ragam investasi dan pembangunan yang lapar tanah di bidang agraria, PSN, Bank Tanah dan Food Estate. 

Hasilnya konflik agraria semakin menumpuk. Periode 2015-2023, KPA mencatat sedikitnya terjadi 2.939 letusan konflik agraria seluas 6,3 juta hektar yang berdampak pada 1,75 juta rumah tangga petani. Penanganan-penangan yang represif di wilayah konflik menambah deret panjang korban, di mana terdapat 2.442 orang mengalami kriminalisasi, 905 orang mengalami kekerasan, 84 orang tertembak dan 72 tewas di wilayah konflik agraria.

Kegagalan pelaksanaan reforma agraria juga semakin memperlebar ketimpangan penguasaan tanah. Saat ini lebih dari 25 juta hektar tanah dikuasai oleh pengusaha sawit, 10 juta hektar pengusaha tambang dan 11,3 juta hektar tanah dikuasai oleh korporasi kehutanan dalam bentuk HTI. 

Berbanding terbalik dengan penguasaan petani Berbanding terbalik dengan jumlah penguasaan tanah oleh petani Indonesia yang semakin gurem dengan penguasaan tanah rata-rata 0,1 - 0,3 hektar. Menurut catatan BPS, dalam 10 tahun terakhir, jumlah petani gurem ini bertambah 2,62 juta.

Salah satu penyebab mandeknya realisasi reforma agraria adalah kinerja buruk Tim Nasional Reforma Agraria dan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA). Termasuk pendekatan Kementerian ATR/BPN yang selama ini masih terjebak pada konsepsi clean dan clear. Artinya hanya menyasar wilayah-wilayah yang sudah tidak terjadi lagi konflik agraria yang eksisting di lapangan.

Perlu diingat pula, Para Menteri ATR/BPN pada periode sebelumnya telah mengendorse beberapa kebijakan yang kontra reforma agraria dan bertentangan dengan konstitusi dan UUPA 1960. 

Beberapa diantaranya adalah Lembaga Bank Tanah, HPL sebagai hak baru, HGU dan HGB selama 190 dan 160 tahun di IKN. Termasuk kebijakan-kebijakan anti-RA yang terus memperluas ekspansi perampasan tanah melalui kemudahan tanah bagi investasi perkebunan dan PSN yang semakin memperparah ledakan konflik agraria. 

Apalagi Presiden Prabowo telah mencanangkan Bank Tanah dan Food Estate sebagai program prioritasnya. Hal ini tentunya akan menjadi jebakan bagi terobosan Menteri ATR/BPN yang baru.

Agar tidak terjebak dan mengulang cara rezim pemerintahan yang lama, KPA memberikan catatan krisis kepada Menteri ATR/BPN yang baru untuk melakukan beberapa langkah dalam upaya menjalankan agenda reforma agraria sejati, menuntaskan penyelesaian konflik agraria dan ketimpangan penguasaan tanah.

  1. Membangun sistem pendaftaran tanah secara nasional, sistemik, partisipatif, pro-aktif, transparan dan akuntabel, menghentikan pendekatan-pendekatan clear dan clean, legalistik dan mekanisme top-down dalam menjalankan RA
  2. Membangun sistem keterbukaan informasi atas hak atas tanah seperti HGU, HGB, Hak Pakai dan Hak Milik); serta hak pengelolaan (HPL).
  3. Mengevaluasi dan mencabut HGU, HGB, Hak Pakai atau pun bentuk baru seperti hak pengelolaan (HPL), yang terbukti menjadi penyebab konflik agraria, ketimpangan, penggusuran, dan perampasan tanah masyarakat.
  4. Mengkoreksi dan menghentikan kebijakan pemberian tanah-tanah baru kepada perusahaan, begitupun dengan program Kementerian ATR/BPN yang kontra dengan agenda reforma agraria.
  5. Menertibkan praktik-praktik korupsi agraria dan mafia tanah yang selama ini bersemayam di lingkungan Kementerian ATR/BPN. Penyebab utama konflik agraria yang terjadi selama ini akibat kekeliruan dan penyalahgunaan wewenang pejabat ATR/BPN dalam pengadaan tanah dan mengeluarkan konsesi.
  6. Memprioritaskan pelaksanaan agenda reforma agraria dengan menyasar wilayah-wilayah konflik agraria dan titik ketimpangan agraria yang selama ini menjadi kantong-kantong kemiskinan.
  7. Memprioritaskan redistribusi tanah kepada petani gurem, buruh tani, petani tidak bertanah dan masyarakat pedesaan yang selama ini menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian.
  8. Bersama Gerakan Reforma Agraria mendorong pembahasan dan pengesahan RUU Reforma Agraria, sebagai penerjemahan UUPA 1960.

Langkah-langkah ini hanya dapat berjalan jika Menteri ATR/BPN yang baru mempunyai komitmen politik dan terobosan hukum yang kuat. 

Selain itu Menteri ATR baru perlu bijak memilih sekutu politik dalam pelaksanaan tugasnya ke depan. Sebagai langkah awal, Menteri ATR/BPN yang baru dapat menggunakan data indikasi tanah terlantar yang diklaim mencapai 7,24 hektar. Termasuk data Lokasi Prioritas Reforma Agraria yang selama ini telah diusulkan Gerakan Reforma Agraria. (Sandra/SP). ***