jokowi
Kamis, 07 Desember 2023 07:14 WIB
Penulis:redaksi
Editor:MAR
P. Kons Beo, SVD
“Dengar aku yang bernyanyi, pasti bagi kamu. Ikhrarkan kita tak lagi bertengkar. Pegang erat tanganku dan jangan lepaskan. Ikatkan benang Kasih Sayang…..”
(Ebiet G Ade, dalam Puisi – Tembang: Nyanyian Cinta Satu Ketika)
Mari menjemput asa
Nanti, yakinlah, bakal muncul banyak penyair. Nasihat saleh, kata bijak, puisi dan bait-bait syair indah yang terkonek dengan sang waktu bakal deras mengalir. Sebab Tahun Lama, 2023 ini, tak bisa tidak, mesti terbenam. Dan 2024, Tahu Baru itu, mesti segera terbit. Tak ada yang ‘luar biasa.’ Tetapi akhir tahun dan awal tahun selalu saja dijembatani oleh kata-kata penuh petuah. Arahnya?
Itu semua demi membunuh lupa. Biarlah semua ‘kisah dan peristiwa’ tetap terkenang. Iya, sekedar ‘putar ulang’ dalam kaleodoskop pikiran dan hati. Dan itu semua mesti dibatinkan. Dari situ ada harapan, kiranya ada pelajaran bermakna dalam hidup yang terus mengalir. “Internalisasi nilai itu krusial,” kata bapa-bapa rohani yang soleha.
Kita tak ingin terhanyut dalam panta rhei kehidupan hampa makna dan benar-benar kosong. Sebab itulah, iya itu tadi, karoseri kata-kata bermakna jadi satu pilihan demi orientasi hidup. Tak boleh dilupa, bahwa semuanya demi sebuah awal yang baik di tahun berikutnya.
Meniti di atas ‘yang sudah-sudah’
Katanya, yang terbaik adalah belajar dari varian pengalaman dan pelajaran ‘sebelum-sebelumnya.’ Itu titik tolak yang elegan. Jangan buru-buru petakan mimpi-mimpi ini dan itu yang harus ditapaki di hari-hari esok. Jika tidak, ini tak ubah bagai orang yang sudah ‘siapkan bahan-bahan untuk atap rumah, sementara dasar rumahnya sedikitpun ‘belum direnungkan dan bagaimana harus mulai.’
Apa yang baru, yang harus segera diawali, memang bukanlah perkara nan mudah. Menjemput kepemimpinan (pemimpin baru) sering jadi alam prahara yang tak terhindarkan. Segala rasa dan alam yang sudah terasa damai, sejuk, karib, akrab, polos, dengan segala keceriahannya, untuk sementara, harus digadaikan. Entah untuk durasi berapa lama?
Genjatan damai dan kebenaran?
‘Genjatan damai dan teduh’ memang jadi ironi keseharian dalam relasi kompetitif. Sebab genderang perang telah ditabuh. Kompetisi sudah dimulai. Segala ‘senjata’ tak punya lintasan genjatan untuk dibikin diam. Semuanya harus dimaksimalkan. Dipakai se-efektif mungkin. Demi jalan kemenangan menggapai takhta,kuasa dan posisi, damai disingkirkan. Sedih memang… Dan ada hal lain lagi.
Hari-hari ini nampaknya ‘kebenaran dibikin mainan ayunan.’ Ditolak-tarik ke sana-ke mari suka-sukanya.’ Daya akal sehat pun meredup. Seperti tak bertaji lagi. Tapi sebaliknya? Sepertinya arus emosilah yang menderas tak terbendung. Dunia rasa itu sudah membelah langit kebenaran. Dan menguasanya mutlak.
Genderang perang sudah ditabuh
Beda dengan peralihan tahun yang sarat kata-kata berdaya pikat, alih kepemimpinan punya perang kata-kata yang sering terdengar dan terbaca sangar atau halus tapi mengiris tajam. Dan semuanya mesti dibikin gencar. Di situ, bukan akal, tetapi emosi lah yang mesti dibakar agar membara. Dan persis di situlah ‘politik buka-bukaan’ menjurus ‘gila-gilaan’ dipentaskan.
Untuk calon kita, tidak ada pilihan lain selain nada-nada glorifikasi yang mesti dilambungkan. Pun segala cara mesti dilicinkan, ditabrak dan dikaroseri baru agar calon kita enteng melangkah. Segala perangkat krusial mesti dioptimalkan agar calon kita ‘merakyat dan terkesan sudah kuasai lapangan.’ Dan itulah yang terjadi dan memang sudah dimulai.
Tetapi terhadap pihak kompetitor, lawan tanding, stategi hadangan mesti digalakkan. Jika calon kita ada di jalur ‘kanonisasi jadi orang kudus karena saleh, lurus dan benar,’ maka calon lawan mesti dilaknatkan. Dibikin sebagai manusia bejat yang punya banyak sikap tak senonohnya. Dan di situlah kampanye hitam berbau amis pembunuhan karakter mengalir deras bagai banjir badang.
Adu tangkas dan adu lihai
Tim sukses, entah di institusi ‘jasmani pun rohani,’ punya tugas ganda sebagai panggilan tugas: “Demi sukseskan calon kita dan serentak aktif tak jemuh siang maupun malam untuk tenggelamkan calon lawan. Apapun caranya.” Di hari-hari ini, alam Negeri dijejali segala kisah yang sudah-sudah. Yang bernada positif itu ‘calon milik kita.’ Dan tentu sudah jelaslah bahwa yang suram-suram, yang jelek-jelek itu ‘kandidat punya mereka.’
Maka, seperti biasa, gorengan yang sudah lama bahkan basi, mulai ‘dipanaskan kembali.’ Muncul semisal ‘HOT ISU HARI INI’ yang bicara sengit tentang yang silam-silam, yang tengah terjadi, dan segala rencana elok ke depan. Sebab itu, segala kata dan gerak-gerik Paslon berikut dengan segala armada pendukungnya sungguh direkam teliti, dan lalu ditafsir-dikomen-dianalisis sesuai kebutuhan. Iya, maksudnya sesuai kepentingan!
Publik mesti dibikin terperangah, kaget, kecewa, amarah, sakit hati dan juga harapan. Dan semuanya mesti dipompa sejadi-jadinya. Intinya, mesti bermuara pada “pilihlah kami, dan jangan dia-mereka!”
Tak lagi samar atau sekedar bocor halus
Pemilihan kepemimpinan ternyata bukan sekedar demi kokohnya badan eksekutif negara atau di daerah. Tapi di area praktis Pilpres, Pilgup, Pilkada, atau Pilwalkot itu sebenarnya ‘teater yudikatif’ sudah tak samar-samat lagi. Orang sudah tampil ‘buka-bukaan’ untuk keluar dari sekedar ‘bungkus-bungkus dalam sindiran.’ Atau saja boleh disebut ‘bocor halus’ tapi tekanan gas beraroma politik nyatanya tak halus-halus tempiasnya.
Ada sikap dan tindak bagai ‘jaksa penuntut umum dan saksi memberatkan’ terhadap kubu lawan; tetapi mesti tampil bagai ‘saksi meringankan dan pengacara’ demi calon atau junjungan sendiri.’ Intinya, siapakah yang unggul nantinya dalam merebut kepala dan kuasai hati publik: Harus yang ‘punya kita.’
Itulah dinamika konstruksi politik kita! Karena semuanya ini, Negeri sudah tampak gemerlap. Ada tanda meyakinkan ke arah masa depan. Bagaimana pun tetap dicemaskan sekiranya konstruksi fisik – infrastruktur itu, misalnya, tak diimbangi oleh konstruksi demokrasi atau entitas yuridis yang mesti diperkokoh dan bermarwah.
Akhirnya…
Ini hanyalah senggolan yang tipis-tipis saja.
Bagaimanapun tetap tak pupus rindu dalam doa penuh harap, “Kiranya, bapa-bapa dan ibu-ibu serta para pegiat elitis Politik Negeri, janganlah masukan kami anak-anak negeri ini dalam pencobaan. Tetapi bebaskan kami dari segala yang ‘‘bikin hati tidak baku enak satu terhadap yang lain.”
Kita memang mesti “ikrarkan kita tak lagi bertengkar…” seperti kata Bang Ebiet.
Amin
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro - Roma
sebulan yang lalu