NTT
Kamis, 05 Agustus 2021 12:51 WIB
Penulis:redaksi
Editor:MAR
MAUMERE (Floresku.com) – Saat kecil, ketika mendengar tentang Rokatenda, bayangan saya, yang mungkin mewakili isi kepala sebagian besar masyarakat Flores, atau NTT, itu tarian. Tarian Rokatenda. Tentu saja benar.
Gerakan dan barisan yang melingkar pada tarian itu mengambil bentuk tandak, tarian dan seni asli masyarakat Flobamora.
Sebelum Gawi, Dolo, Tebe atau mungkin Ndanding menjadi menu dalam pesta-pesta masyarakat, Rokatenda sudah duluan hadir dan poluler di sana.
Saking asyik menari, kadang saya lupa, apa dan dari mana itu Rokatenda. Itu nama Gunung Api di Pulau Pulue, di sebelah utara Flores, berjarak kira-kira 52,5 km dari Kota Maumere.
Sekadar mengingatkan kita, gunung api berada di wilayah administrasi Kecamatan Uwa, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Pulau Palue sendiri memiliki luas 41 km persegi atau 2,37 persen dari luas wilayah Kabupaten Sikka. Populasi penduduk saat ini ditaksir berjumlah sekitar 10,000 jiwa yang tersebar di 8 desa.
Rokatenda dan Palue tak bisa dipisahkan dalam hal apa pun. Pulau itu bahkan menjadi tubuh bagi gunung Rokatenda.
Itu sebabnya, para penghuni pulau sangat berkepentingan dengan Rokatenda. Ratusan tahun, orang Palue seperti sangat bergantung pada gunung ini.
Sebagai gunung api, tentu saja kondisi vulkaniknya, itulah yang menentukan. Maka berita tentang Palue, adalah berita tentang Rokatenda.
Rokatenda menentukan mati hidup, kuat lemah dan maju mundurnya orang Palue. Jangan heran misalnya, alam Palue dengan Rokatenda itu membuat orang-orangnya bertumbuh kuat, ulet dan kekar.
Maka ketika Tasuku Sato dalam buku I Remember Flores ( 1957) berada di Maumere dan menemui orang-orang Palue yang sedang asyik dengan perahunya di pinggir pantai, dia bersaksi kalau orang Palue memiliki tubuh yang lebih besar dan kekar daripada orang-orang Flores pada umumnya.
Tak bisa dipungkiri, letusan demi letusan Rokatenda juga mempengaruhi fisik penduduk yang mendiami pulau itu.
Menarik disimak bahwa kemarin, Rabu (4/8/2021), Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) secara khusus memberi peringatan tentang letusan Rokatenda yang terjadi 93 tahun sialm
Plt. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi BNPB Abdul Muhari, berdasarkan dokumentasi sejarah membeberkan letusan eksplosif Gunung Rokatenda, Pulau Palue, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 93 tahun lalu menyebabkan dampak sangat hebat.
Menurut dia, erupsi saat itu mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan kerugian harta benda. Sebagian besar warga tewas terhempas oleh gelombang pasang laut yang dipicu aktivitas vulkanik.
Letusan dahsyat itu berlangsung selama beberapa hari, tepatnya pada 4 Agustus hingga 25 September 1928. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mencatat kekuatan erupsi hingga VEI 3.
Melalui indikator volcanic explosivity index atau VEI 3 tersebut, kekuatan erupsi menghasilkan perubahan lava dome dan bekas letusan hingga empat buah kawah terbentuk.
"Catatan sejarah menyebutkan bahwa letusan selama beberapa hari tersebut telah menyebabkan 266 warga menjadi korban. Katastrofe atau malapetaka besar terjadi karena letusan tak hanya menyemburkan material vulkanik, tetapi juga gelombang pasang atau tsunami serta guncangan gempa," ujarnya dalam keterangan tulis, Rabu (4/8).
Namun, soal korban, dari penelusuran media massa, pada 10 Agustus 1928 New York Times mengabarkan bahwa estimasi ribuan orang meninggal dan 500 warga mengalami luka-luka oleh letusan hebat Gunung Rokatenda.
Dalam artikel dengan judul ‘Volcano Kills 1.000 in Dutch East Indies; Wipes Out Six Villages on Paloeweh Island’ juga menyebutkan bahwa sisi selatan Pulau Palue tempat enam desa dihancurkan oleh material vulkanik.
"Selanjutnya, gelombang pasang setinggi 4,6 meter yang dipicu aktivitas vulkanik menenggelamkan para warga yang tengah berada di laut saat evakuasi," ungkap Muhari.
Gunung Rokatenda memiliki ketinggian 875 meter di atas pemukaan laut. Namun berdasarkan Badan Geologi, kalau dihitung dari kedalaman laut, gunung tinggi berdiri dengan ketinggian 3000 meter.
Hampir dipastikan bahwa sebelum peristiwa besar 1928 itu, erupsi besar pernah terjadi. Berdasarkan catatan PVMBG, keterangan penduduk menyebutkan bahwa letusan itu terjadi 200 tahun lalu atau sekitar delapan generasi sebelum letusan 1928.
Kemudian, letusan Gunung Rokatenda yang pernah terekam berlangsung pada tahun 1928, 1972, 1973, 1985, 2012 dan 2013.
Dilihat dari sisi periode letusan, hal tersebut terjadi antara 1972 dan 1973 atau periode letusan terpendek. Kedua peristiwa pada tahun tersebut berupa letusan abu. Sedangkan periode letusan terpanjang, tercatat 35 tahun yaitu terjadi antara tahun 1928 dan 1963.
Mungkin kita pernah ingat kalau pada 2013 sempat muncul ggasan dari Kepala BNBB Propinsi NTT Tini Thadeus untuk merelokasi semua warga Palue ke pantai utara Pulau Flores. Tentu saja gagasan itu menimbuk pro korntra dan tidak berujung kesimpulan hingga saat ini.
Karakter Vuklanik Rokatenda
Lebih lanjut Muhari menjelaskan bahwa karakteristik aktivitas vulkanik Gunung Rokatenda bersifat efusif dan eksplosif.
Aktivitas tersebut, berpotensi menghasilkan lava dan piroklastik. PVMBG telah mengidentifikasi potensi bahaya dengan memetakan kawasan rawan bencana (KRB) Gunung Rokatenda.
KRB gunung api adalah kawasan yang pernah terlanda atau teridentifikasi berpotensi terancam bahaya erupsi gunung api baik secara langsung maupun tidak langsung.
"Misalnya, KRB III Gunung Rokatenda merupakan kawasan yang berpotensi terlanda awan panas, apabila gunung ini meletus kembali dengan jenis dan tipe erupsi yang relatif identik dengan erupsi-erupsi sebelumnya. Kawasan yang berpotensi terlanda yaitu mengarah ke bagian barat daya dan timur dengan jarak luncur maksimum hingga jarak 1,5 sampai dengan 1,75 km dari pusat erupsi," paparnya.
Selain itu, ada potensi adanya aliran dan guguran lava yang mengarah ke sekitar puncak atau di dalam kawah Rokatenda. Apabila erupsinya membesar, maka kemungkinan lava akan mengalir lebih jauh dari pusat erupsi dan cenderung akan mengalir ke sektor barat daya dan timur dengan jarak jangkau maksimum 1 sampai dengan 1,5 km dari pusat erupsi.
Terakhir, KRB III juga berpotensi terjadi material lontaran dan hujan abu lebat. Rekomendasi PVMBG apabila terjadi erupsi besar, radius sektoral sebaran material lontaran batu pijar berukuran lebih dari 6 cm, dan hujan abu lebat hingga radius 2 km dari pusat erupsi.
Gunung Rokatenda adalah satu gunung api dari total 127 gunung aktif yang berada di wilayah Indonesia. Terkait dengan risiko, BNPB mengidentifikasi sebanyak 3,9 juta populasi penduduk yang tersebar di 18 provinsi berpotensi terpapar bahaya erupsi gunung api.
Untuk itu, BNPB senentatiasi memberikan pemahaman terhadap kesiapsiagaan dan keselamatan menghadapi bahaya letusan gunung api dengan menerbitkan buku saku Tanggap, Tangkas, Tangguh. Pembaca bisa mengakses informasi itu pada tautan https://loker.bnpb.go.id/s/aerqq4dMPYe8ssn.
Sekarang bagaimana orang-orang Palue dan kemungkinan erupsi Rokatenda ke depan? Haruskah mereka direlokasi?
Saya membayangkan, semoga saja orang-orang Palue berlokasi direlokasi ke Flores, bisa ke wilayah Sikka saja, atau bisa juga menyebar hingga ke Ende, Nagekeo dan Ngada.
Namun, akses mereka ke kampung halaman nenek moyangnya dibangun secara optimal, untuk berkebun atau melakukan ritual adat.
Akan lebih hebat lagi, kalau Palue dan Rokatenda dijadikan semacam Museum dan Pusat Studi Vukkanologi, ya tentang erupsi dan tentang manusia yang bisa bertahan hidup di bawah gempuran eruposi vulkanik.
(MAR, dari Berbagai Sumber)
16 hari yang lalu