flores
Selasa, 07 Desember 2021 13:50 WIB
Penulis:redaksi
NYANYIAN tradisional Ute Toto dan Tana Jea, identik dengan Nyanyian Musik Liturgi. Yang dimaksudkan dengan istilah ‘identik’ di sini adalah nyanyian yang dilakukan pada ruang dan pada waktu/masa tertentu. Hal ini mungkin juga ada di daerah-daerah lain. Namun, berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya, nyanyian-nyanyian tradisional Ute Toto dan Tanah Jea seperti Gore Sae Sesa, Gore Cenda, Peo Cenda, Sotdo, Woi, Tekese, Ikimea dan Naro/ Gawi Naro sangat identik dengan nyanyai liturgis dalam gereja katolik.
Secara geografis Ute Toto dan Tana Jea terletak di bagian tengah Pulau Flores, persisnya berada di wilayah perbatasan antara Kabupaten Nagekeo dan Kabupaten Ende.
Wilayah ulayat Ute Toto sendiri berada di Kecamatan Nangaroro ( aslinya, Nanga Dodo) di wilayah Selatan, dan Kecamatan Wolowae di wilayah Utara, Kabupaten Nagekeo. Sedangkan wilayah ulayat Tana Jea ( Tana Dea) berada di Kecamatan Nangapanda di bagian Selatan, dan Kecamatan Maukaro di wilayah Uatara, Kabupaten Ende.
Penduduk di daerah-daerah tersebut menggunakan bahasa ‘Ngao’ dalam kesehariannya. Para ahli budaya menyebutnya sebagai ‘Ata Nga’o.
Nyanyian tradisional yang dinyanyikan pada masanya
Sejak zaman nenek moyang, orang Ute Toto dan Tana Jea mengenal dan mewarisi sejumlah nyanyian/lagu tradisional yang unik. Lagu-lagu tradisional ini sangat bermartabat dan punya nilai historis tersendiri.
Secara turun-temurun orang Ute Toto dan Tana Jea menyanyikan lagu-lagu sesuai dengan masa dan waktunya. Misalnya Gore Sae Sesa hanya boleh dinyanyikan pada masa dan waktu membuka hutan (Ponggo Bhelo) untuk dijadikan ladang.
Gore ba, Gore Ine Oe, dinyanyikan pada masa dan waktu menyiangi rumput (Ngema; Sewo). Peo Cenda, dinyanyikan pada masa dan waktu panen padi atau mengetam padi (Ngo).
Sotdo, dinyanyikan pada masa dan waktu injak padi (Modhi Etu). Woi dinyanyikan pada masa dan waktu tumpukan padi yang siap untuk dihempas ( bahasa setempat: Bhai=memisahkan butir padi yang tidak berisi/ lefa).
Nyanyian tunggal namanya Woi, sangat ritual dan sakral serta penuh kharisma. Woi hanya boleh dinyanyikan oleh orang-orang pilihan. Lagi pula tidak semua orang bisa karena memiliki irama dan syair adat yang rumit.
Dikatakan sakral dan berkharisma karena menurut kepercayaan masyarakat Ute Toto dan Tana Jea, karena dengan menyanyikan Woi, masyarakat Ute Toto dan Tanah Jea menelusuri kembali sejarah asal usul padi.
Menurut legenda yang diwarisakan nenek moyang, dikatakan padi berasal dari tubuh seorang gadis. Artinya, melalui nyanyian Woi, orang Ute Toto dan Tanah Jea meyakini bahwa roh (mae) dari ibu padi, hadir di dalam tumpukan padi itu.
Woi yang sakral ini dalam lantunan syair dan lagu yang begitu indah dan merdu. Lagu ini pun dibawakan dengan penuh rasa hormat dan syukur atas pengorbanan sang gadis yang mengorbankan tubuhnya menjadi padi.
Juga, syukur atas padi yang ada dipanen dari ladang melalui proses kerja keras mebuka hutan (Bhelo), menanam benih (Tendo), merawatan/menyiangi rumput hingga mengetam.
Melalui Woi masyarakat Ute Toto dan Tana Jea mengungkapkan kegembiraan dan rasa syukurnya karena memililiki tumpukan padi di pondok berkat doa dan kerja keras sebagaimana terungkap pada ungkapan “kema tei ghawo ngada, tii zia pati pawe”.
Woi dinyanyikan saat padi telah ditumpukkan di atas tikar di sebuah pondok, dan siap diisi ke dalam sokal (Ngendi ) atau Norha (sokal berukuran besar). Ngendi atau pun Norha adalah karung tradisional hasil anyaman para pengrajin lokal.
Selain menggambarkan sejarah dan syukur kepada ibu padi, Woi juga adalah doa syukur dan pujian kepada Tuhan Pencipta Langit dan Bumi ( Nggae rhade (zade) Dewa Zeta (rheta)) yang menciptakan manusia dan alam semesta, dan memberi kehidupan bagi manusia melalui tanah yang subur dan panen yang berlimpah.
Setelah Woi usai, dilakukan ritual penyambutan hasil panen (padi). Setelah itu baru baru padi tersebut dimasukkan ke dalam sokal (Ngendi/Norha),
Selama Woi dilantunkan, dan ritual penyambutan padi dilangsungkan semua orang yang hadir harus mengikuti dengan sikap penuh hormat: hening dan aktif terlibat dalam ritual tersebut. Ibaratnya merea sedang berada dekat dengan seorang bayi yang sedang tidur nyenyak, dan menjaga keheningan jaga agar si bayi tidak kaget dari tidurnya.
Apa yang menjadi sakral di sini? Suasana sakral tercipta karena orang Ute Toto dan Tana Jea percaya bahwa padi memiliki roh/jiwa (etu ne'e mae).
Ketika hasil panen padi ditumpukkan di podok, berari roh (ibu) padi hadir dalam pondok itu. Oleh karena itu semua orang yang berada di pondok dan di sekitarnya harus bersikap penuh hormat, agar roh (ibu) padi tidak pergi (mae etu ma'e kai), atau roh (ibu) padi tidak terbang (mae etu ma'e de ) meninggalkan pondok.
Setelah kegiatan memanen selesai, hasil panen diangkut ke kampung untuk disimpan di dalam sebuah lumbung yang dalam bahasa lokal disebut ‘Bho’.
Masa selanjutnya adalah masa syukur panen. Masa ini ditandai dengan Acara Makan Padi Baru yang disebut Gewu. Dalam acara Gewu ini masyarakat melantunkan nyanyian khusus berupa Tekese. Kedua nyanyian dinyanyikan dengan penuh suka cita.
Tekese dinyanyikan sembari menari mengelilingi api unggun. Nyanyian ini dibawakan usai makan padi baru (makan malam), dan berlangsung hingga pagi hari menjelang matahari terbit.
Pada masa ini, orang Ute Toto dan Tana Jea juta menyanyikan Iki Mea, sebuah lagu untuk mendaulatkan seseorang, termasuk tamu, untuk masuk ke halaman kampung dan menari bersama.
Pada musim ini, khusus pada malam hari saat bulan purnama, warga kampung mulai dari anak-anak hingga orang dewasa turun ke halaman dan membawakan berbagai permainan tradisional.
Teringat masa kecil, saya bersama teman-teman di kampung Ndangakapa, ikut dalam kemeriahaan di malam bulan purnama dengan memainkan sejumlah permainan tradisional seperti bermain Gasing (Koti), Lompat Alu (Podhi Adu}, Tolak Alu (Tudhu Adu), dan permainan lainnya.
Sembari bermain kami bisa merasakan aroma harumnya masakan padi baru dari dapur yang menebar seluruh wilayah kampung.
Memang ada nuansa unik dan suasana hari yang berbeda, mulai dari sore hari hingga malam pada acara pesta makan padi baru atau Gewu.
Identik dengan Nyanyian Liturgi
Lalu, apa kesamaan nyanyian tradisional Ute Toto dan Tanah Jea dengan Nyanyian Musik Liturgi dalam gereja Katolik?
Dari uraian singkat di atas dapat dilihat bahwa nyanyian treadisional orang Ute Toto dan Tata Jea memiliki warna dan pesannya yang khusus, dan hanya dinyanyikan pada waktu dan masa tertentu. Hal yang sama terjadi pada nyanyian musik Liturgi gereja Katolik.
Sebagaimana kita ketahui, dalam kalender Liturgis gereja Katolik terdapat sejumlah masa-masa khusus seperti masa Adven, masa Natal, masa Prapaskah, masa masa Paskah dan masa Biasa. Juga ada waktu atau bulan khusus yang didevosikan kepada Bunda Maria seperti Mei sebagai Bulan Maria dan Oktober sebagai Bulan Rosario.
Pada masa dan waktu khusus tersebut, gereja Katolik menyediakan lagu/nyanyian dengan warna musik dan pesan yang khusus. Semua lagu tersebut dinyanyikan harus sesuai dengan masa atau waktunya.
Lagau Adven misalnya tidak boleh dinyanyikan pada masa Natal, demikian juga sebaliknya. Begitu juga dengan lagu-lagu atau nyanyian tradisional Ute Toto dan Tana Jea harus dinyanyikan pada masa dan waktunya yang khusus.
Tekese misalnya hanya bolehdinyanyikan pada saat setelah Panen selesai, tidak boleh pada masa pembukaan ladang baru (Bhelo), atau masa menyiangi rumput (ngema atau sewo). Demikian pula sebaliknya, lagu Gore Ba, Gore Ine Oe tidak bisa dinyanyikan pada musim usai panen. Menyanyikan lagu pada masa yang tidak tepat dipandang sebagai pelanggaran atau yang dalam bahasa lokal disebut (Pile atau Pile Qole)
Mari lestarikan
Seriring dengan perjalanan waktu dan gerakan modernisasi, orang Ute Toto dan Tanah Jea semakin jarang mendendangkan nyanyian-nyanyian tradisional tersebut. Bahkan, banyak di antara mereka, terutama kaum muda, tak memahami latar belakang, konteks dan kapan sebuah nyanyian tradisional harus dinnyanyikan.
Keadaan semakin kacau, karena seringkali ata nama ‘upaya pelestarian budaya’, pemerintah daerah sering mengadakan perlombaan nyanyian tradisional tanpa membuat studi terlebih dahulu, latar berlakang historis, konteks dan makna/pesan dari sebuah nanyian tradisional.
Akibatnya, Tekese misalnya dilombakan dalam rangka perayaan Hari Peringatan Kemerdekaan, 17 Agustus, yang jatuh pada musim buka kebun baru.
Saya berharap Warga Ute Toto dan Tana Jea, juga warga daerah-daerah lain, kita harus segera sadar untuk terus mewarisi dan menjaga nyanyian tradisional agar tidak punah.
Juga agar generasi muda di era yang serba modern ini tidak melupakan warisan budaya, tetapi sebaliknya lebih mencintai budaya sendiri, termasuk nyanyian-nyanyia tradisional.
Untuk turut melestarikan musik dan nyanyian tradisional warisan nenek moyang tersebut, kita berharap pemerintah, dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta Dinas Parawisata, serta pemerintah daerah mulai dari Pemerintah Kabupaten, Kecamatan dan Desa turut andil di dalamnya.
Kita juga berharap lembaga pendidikan (sekolah, kampus), organisasi non pemerintah seperti LSM, gereja, dan OMK ikut berusaha ini melestarikan dan mengembangkannya secara holistik dengan melakukan pegelaran-pegelaran secara terencana dalam program tahunan dengan tidak boleh lupa akan masa dan waktunya.
Akhirnya, ijinkan saya mengutip sebuah pesan berlian dari Putra Sang Fajar alias Bungkarno Presiden Republik Indonesia Pertama, bahwa kita harus mencintai budaya kita dalam berbhineka Tunggal Ika yang melekat dalam agama dan budaya daerah dan Nusantara.
Bung Karno berpesan: “Kalau jadi Hindu jangan jadi orang India, kalau jadi orang Islam jangan jadi orang Arab, kalau Kristen jangan jadi orang Yahudi, tetaplah jadi orang Nusantara dengan adat-budaya Nusantara yang kaya raya ini”.
Oleh : Sirilus Wali, Seorang Guru dan Seniman, putra Ute Toto dan Tanah Jea tinggal di Kupang.***
7 hari yang lalu